Dalam laporan yang dirilis oleh Deep Knowledge Group, Indonesia diketahui berada pada posisi 97 dari 100 negara teraman di dunia dari virus Corona (Covid-19). Lantas, dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah, mengapa Indonesia berada di posisi buncit dalam daftar tersebut?
PinterPolitik.com
Sejak pertama kali konsep negara mulai ditemukan oleh umat manusia, jaminan atas keamanan menjadi suatu keharusan yang mesti dijamin sebagai kompensasi atas penyerahan kebebasan warga negara. Atas pemahaman tersebut, setiap ketidakmampuan negara dalam menghadirkan rasa aman selalu menjadi celah kritik yang berdengung di sekat-sekat diskursus publik.
Kini, kritik tua ini kembali mengemuka di Indonesia karena negara dinilai tidak mampu menghadirkan rasa aman yang mencukupi terkait pandemi virus Corona (Covid-19) yang tengah menggerogoti sejak awal Maret lalu. Terlebih lagi, dengan adanya rilis dari Deep Knowledge Group yang menempatkan Indonesia pada posisi 97 dari 100 negara teraman di dunia dari Covid-19, kritik tersebut semakin keras menggema dan terasa.
Ini misalnya terlihat jelas dengan cuitan “Indonesia Urutan 97” menjadi trending di Twitter setelah rilis tersebut menyebar luas di tanah air. Tidak hanya itu, rilis ini juga seolah kontradiktif dengan klaim juru bicara (jubir) presiden Fadjroel Rachman sebelumnya, yang menyebutkan bahwa pemerintah telah menunjukkan kinerja yang baik dalam merespon pandemi Covid-19.
Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono bahkan menyebutkan bahwa peringkat tersebut merupakan hal yang wajar bagi Indonesia menimbang pada respon pemerintah yang terkesan tidak serius dalam menanggulangi pandemi Covid-19.
Tentu menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa dengan segala sumber daya dan kemampuan yang ada, narasi pemerintah tidak mampu menghadirkan rasa aman kepada rakyatnya terus menggema sedari dulu hingga kini? Apa sebenarnya akar dari masalah ini?
Indonesia jadi negara ke-97 dan jadi salah satu negara paling tak aman #COVID19. Duh. #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/QxnLpkh1SW pic.twitter.com/lUF5J6ZxUG
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 12, 2020
Utopia Common Good?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut secara mendalam, kita perlu menengok pemikiran filsuf Jean-Jacques Rousseau yang membedakan antara the will of all dengan general will. Dalam penjelasan Rousseau, the will of all adalah kumpulan dari keinginan pribadi atau individu. Sementara, general will atau yang juga dikenal sebagai common good merupakan suatu hal yang terbaik bagi semua orang – kebaikan bersama.
Untuk memahami perbedaan keduanya, kita dapat membayangkan contoh kasus sebagai berikut. Dalam suatu komunitas masyarakat, terdapat perdebatan untuk menentukan apakah hutan yang ada di pinggir desa harus diganti menjadi lahan perkebunan atau tidak. Untuk menyelesaikan perdebatan ini, pengambilan suara atau voting kemudian ditempuh.
Hasilnya, 66 dari 100 orang penduduk setuju untuk membuka lahan. Alhasil, traktor kemudian didatangkan untuk menebang ratusan pepohonan di pinggir desa. Dalam kacamata Rousseau, keputusan untuk membuka lahan adalah apa yang disebut sebagai the will of all, karena itu adalah keinginan mayoritas. Atau singkatnya, kolektivitas keinginan individu yang berada dalam komunitas tersebut menginginkan demikian.
Namun, seperti halnya yang ditanyakan oleh Rousseau, apakah keputusan tersebut merupakan general will atau common good? Secara voting, tentu mudah menyimpulkan bahwa membuka lahan itu terbenarkan. Akan tetapi, bagaimana jika keputusan tersebut justru mendatangkan bencana? Misalnya, karena ketiadaan pepohonan, bencana seperti longsor, banjir, kemarau, hingga berkurangnya sumber mata air. Bukankah itu justru tidak baik bagi semua?
Perbedaan tersebut kemudian melahirkan perdebatan filosofis yang sampai sekarang masih eksis, yakni pada titik apa suatu kebijakan disebut sebagai general will? Getirnya, tidak sedikit pembaca menyebutkan bahwa Rousseau sendiri sebenarnya juga tidak mampu menghadirkan jawaban atas masalah yang dimunculkannya tersebut.
WHO emang suka bikin pernyataan yang aneh. Lembaga kesehatan global, tapi kok kayak gini sih? #infografis #politik #pinterpolitikhttps://t.co/QxnLpkh1SW pic.twitter.com/ktiaaKnO29
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 14, 2020
Runtuhnya Asumsi Makhluk Rasional
Setelah memahami perihal perbedaan general will dengan the will of all, sekarang kita harus menjawab mengapa pencarian jawaban atas hal tersebut seolah menemui jalan buntu – setidaknya sampai saat ini.
Untuk menjawabnya, di sini kita perlu menyelam dalam perdebatan filsafat ekonomi perihal kritik atas kepercayaan pada dapat terciptanya pasar sempurna karena mengasumsikan manusia sebagai homo economicus. Dalam homo economicus atau makhluk ekonomi, manusia diasumsikan sebagai makhluk rasional. Atas asumsi ini, kalkulasi ekonomi, seperti menentukan strategi pasar kemudian disebut dapat dilakukan karena mengandaikan manusia mestilah berlaku demikian.
Untuk mempermudah, perhatikan contoh berikut. Katakanlah Andi memiliki uang sebesar Rp 5 ribu untuk membeli donat di warung. Setelah di warung, Andi menemukan dua pilihan donat, yakni yang berharga Rp 7 ribu dan yang berharga Rp 4 ribu. Menggunakan asumsi manusia adalah makhluk rasional, yakni manusia tidak mungkin ingin rugi, mudah untuk menyimpulkan bahwa Andi akan mengambil donat seharga 4 ribu.
Akan tetapi, dalam realita ekonomi, manusia ternyata kerap kali mengambil putusan yang tidak rasional, misalnya dengan mengambil donat seharga Rp 7 ribu dengan berutang Rp 2 ribu kepada pemilik warung. Atas temuan tersebut, khususnya dalam psikologi kognitif yang menemukan kognisi manusia ternyata mengandung bias, asumsi manusia sebagai makhluk rasional kemudian dinilai runtuh.
Sebastian Dullien, Hansjorg Herr, dan Christian Kellermann dalam buku Decent Capitalism menyebutkan bahwa runtuhnya asumsi manusia sebagai makhluk rasional merupakan jawaban atas mengapa pasar begitu fluktuatif, sulit diprediksi, atau tidak pasti. Ini karena individu atau agen ekonomi (mikro) yang menjadi basis terbentuknya pasar (makro) merupakan agen yang sulit diprediksi, sehingga pasar yang tercipta juga turut demikian.
Mengadopsi temuan dalam perdebatan filsafat ekonomi ini, kita mungkin dapat menjawab mengapa sistem politik, seperti birokrasi begitu sulit diprediksi atau selalu mengalami turbulensi. Hal ini karena agen politik (mikro) yang menciptakan sistem tersebut (makro) merupakan individu-individu yang sukar diprediksi serta tidak rasional, sehingga itu berimbas pada tatanan yang terbentuk.
Menjawab perdebatan mengenai general will dan the will of all, kita mungkin dapat memahami mengapa begitu sulit terbentuk general will atau common good karena agen sosial yang tidak bertindak rasional.
Konteks tersebut misalnya terlihat jelas dengan contoh kasus pembukaan lahan sebelumnya. Jika berpikir secara rasional, dengan mempertimbangkan keberlangsungan kehidupan, bukankah memelihara lahan hijau sudah semestinya dilakukan? Akan tetapi, karena adanya agen-agen yang tidak rasional, pilihan seperti merusak alam justru teraktualisasi ke dalam kebijakan publik.
Ini #GakSengaja bikin cuitan ya. #infografis #politik #NovelBaswedan https://t.co/Pjp4S2CuFO pic.twitter.com/poq2Aec0EJ
— Pinterpolitik.com (@pinterpolitik) June 15, 2020
Masalah Klasik Ego Sektoral
Konteks peliknya masalah sistem tersebut terlihat jelas diutarakan oleh Dosen Griffith University Lee Morgenbesser pada 24 Maret lalu ketika mengomentari perihal pandemi Covid-19 di Indonesia dengan menyebutkan, “Dari semua negara di Asia Tenggara, Indonesia yang paling mengkhawatirkan. Indonesia memiliki populasi yang sangat besar namun memiliki birokrasi yang tidak rapi”.
Dari penjelasan Morgenbesser ini, mungkin kita dapat menyebutkan bahwa itu seperti semacam prediksi atas rilis yang dikeluarkan oleh Deep Knowledge Group.
Dan seperti halnya pernyataan pakar epidemiologi UI Pandu Riono, kesan pemerintah yang tidak serius dalam menangani pandemi, dapat kita lihat dari maju mundurnya kebijakan ataupun penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang serba tanggung.
Mengacu pada pembahasan sebelumnya, kita mungkin dapat memahami, maju mundurnya kebijakan tampaknya berpangkal pada agen-agen dalam birokrasi yang sulit selaras karena bertindak tidak rasional, sehingga suatu kebaikan bersama atau common good begitu sulit tercipta.
Persoalan yang dikenal juga sebagai ego sektoral ini, sebenarnya tidak hanya terjadi pada kasus pandemi Covid-19, melainkan telah menjadi suatu masalah klasik yang seolah telah mengakar.
Sebagai contoh, kita mungkin dapat melihat bagaimana kasus kekeringan ekstrem yang berulang terjadi di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) sampai sekarang terus terjadi. Solusi seperti membangun penampungan air (reservoir) atau embung yang dilakukan, tampaknya seperti menutupi lubang-lubang parsial kekeringan, atau tidak menyasar penyelesaian masalah secara menyeluruh.
Jika kesulitan tersebut dikaitkan dengan konteks geografi Sumba Timur yang memang tidak memiliki banyak sumber mata air, kasus di Tiongkok, di mana pemerintahnya mampu menyulap gurun pasir menjadi lahan pertanian subur tentu menjadi bantahan keras tersendiri.
Dengan kata lain, masalah yang tersisa sebenarnya adalah apakah pemerintah terkait – baik pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat – memang menginginkan common good atau penyelesaian menyeluruh, atau justru sekedar ingin membuat proyek-proyek yang menyasar masalah parsial?
Pada persoalan pandemi Covid-19, terlihat jelas bagaimana benturan ego sektoral terjadi. Misalnya, kita tentu ingat perihal berbagai kepala daerah yang menginginkan penerapan lockdown, tetapi justru ditolak oleh pemerintah pusat. Pun begitu dengan tidak beresnya penyaluran dana bantuan sosial (bansos) karena data yang tidak kunjung dibenahi, ataupun praktik korupsi dana bansos yang diketahui terjadi di berbagai daerah.
Pada akhirnya, kita mungkin dapat memahami bahwa buruknya birokrasi di Indonesia terjadi karena agen-agen di dalamnya bertindak secara tidak rasional, sehingga sulit tercipta suatu common good atau kebaikan bersama. Apa yang terjadi tampaknya adalah pertengkaran ego sektoral guna mengamankan kepentingan pribadi atau kelompok.
Ini kemudian teraktualisasi pada kebijakan publik yang justru tidak mengedepankan rasa aman bagi seluruh warga negara. Namun, tentu kita berharap, semoga itu bukanlah yang terjadi. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.