Site icon PinterPolitik.com

Indonesia Terpandang Jika Prabowo Presiden?

indonesia terpandang jika prabowo presiden

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menghadiri International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue (SLD) 2022 di Singapura pada Juni 2022. (Foto: Tim Dokumentasi Menhan)

Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto menganggap Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai dua teman baik (good friends) bagi Indonesia. Apakah Prabowo ingin Indonesia bisa jadi negara terpandang di antara dua kekuatan besar itu?


PinterPolitik.com

“Are you incapable of letting go of your ego for one god damn second?” – Natasha Romanoff alias Black Widow, Captain America: Civil War (2016)

Pertengkaran antar-teman merupakan hal yang wajar terjadi dalam sebuah hubungan pertemanan. Meski terkadang terjadi karena hal sepele, pertengkaran antar-teman ini pun bisa meluas dan memberikan dampak yang lebih besar.

Pertengkaran antara Iron Man dan Captain America dalam film Captain America: Civil War (2016), misalnya, mulanya terjadi akibat perbedaan pendapat soal peran pemerintah. Namun, perbedaan ini menjadi meluas dan merusak pertemanan mereka – bahkan di antara para anggota Avengers juga.

Alhasil, pertempuran antara anggota-anggota Avengers terjadi di sebuah bandara di Jerman. Tim Tony Stark (Iron Man) berisikan Vision, Black Widow, Black Panther, dan War Machine. Sementara, tim Steve Rogers (Captain America) berisikan Falcon, Winter Soldier, Hawkeye, dan Wanda.

Pertempuran ini akhirnya berakhir ketika salah satu Avenger memilih untuk menjadi penengah. Natasha Romanoff alias Black Widow pada akhirnya memilih untuk membiarkan Steve Rogers dan kawan-kawannya untuk pergi dari bandara tersebut.

Terlepas dari anggapan bahwa Black Widow adalah pengkhianat atau bukan, Natasha bukan tidak mungkin mempertimbangkan untuk berhenti bertempur karena baik Iron Man maupun Captain America ialah sama-sama teman. Lagipula, perdamaian merupakan hal yang penting agar tidak ada yang terluka.

Bukan tidak mungkin, peran Black Widow dalam film tersebut juga ingin diambil oleh pejabat Indonesia di dunia nyata, yakni Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Ini terlihat dari pesan yang disampaikannya kala berpidato di depan para pejabat dan pakar pertahanan asing dalam kegiatan International Institute for Strategic Studies (IISS) Shangri-La Dialogue (SLD) 2022 di Singapura.

Setidaknya, ada dua poin yang disampaikan oleh Prabowo. Pertama, sang Menhan RI berharap Amerika Serikat (AS) dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) bisa bersikap bijak dalam persaingan geopolitik yang terjadi di antara keduanya. 

Kedua, Prabowo menyebutkan bahwa kedua negara besar tersebut adalah teman baik bagi Indonesia. Sebagai teman baik, tentunya negara kepulauan ini berusaha agar bisa menjadi jembatan bersama (common bridge) di antara AS dan Tiongkok.

Pidato tersebut menjadi menarik karena secara tidak langsung Prabowo berperan sebagai diplomat di panggung politik internasional. Sebenarnya, peran diplomat seperti apa yang tengah dimainkan Prabowo dalam politik luar negeri Indonesia? Mengapa peran Prabowo bisa jadi penting bagi Indonesia di masa depan?

Prabowo, The Maverick?

Mereka-mereka yang berasal dari kalangan militer dan pertahanan sebenarnya juga bisa mengambil peran-peran diplomatik. Pasalnya, pada dasarnya, politik antar-negara berangkat dari studi dan pengalaman antara damai dan perang.

Berangkat dari pendekatan realisme dalam studi Hubungan Internasional (HI), politik internasional menekankan pada kekuatan masing-masing negara yang muncul pada perasaan akan pentingnya keamanan. Oleh sebab itu, sudah menjadi sifat alamiah negara untuk mencari dan mengumpulkan kekuatan agar merasa nyaman di bawah situasi anarki politik antar-negara.

Inilah mengapa Prabowo sebagai petinggi pertahanan turut memainkan peran yang krusial dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia. Mengacu pada tulisan Caroline Bechtel yang berjudul Warriors, Scholars, Diplomats: The Role of Military Officers in Foreign Policymaking, para pejabat militer bisa mengisi fungsi warrior dengan melihat politik internasional melalui kacamata keamanan.

Peran Prabowo dalam kebijakan luar negeri Indonesia ini dipertegas oleh Noto Suoneto dalam tulisannya yang berjudul How Prabowo Subianto Has Helped Shape Indonesia’s Foreign Policy. Sang Menhan dianggap menjadi salah satu pemimpin diplomatik Indonesia di antara pengambil kebijakan utama lainnya, yakni Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan.

Berbeda dengan Retno dan Luhut yang lebih mempersempit politik luar negeri Indonesia hanya pada arah investasi dan perdagangan, Prabowo lebih berfokus pada pertahanan strategis – yang mana turut mengimajinasikan posisi Indonesia di tengah ketegangan geopolitik Indo-Pasifik.

Visi Prabowo soal peran Indonesia di kawasan Indo-Pasifik ini bukan tidak mungkin menjadikannya sebagai salah satu kategori pemimpin diplomatik, yakni the maverick. Mengacu pada kategorisasi ala Corneliu Bjola dalam tulisannya yang berjudul Diplomatic Leadership in Times of International Crisis, terdapat tiga jenis pemimpin diplomatik, yakni (1) the maverick yang memfokuskan pada visi besar, (2) the congregator yang membangun konsensus, dan (3) the pragmatist yang mengejar hubungan mutual.

Bila berdasarkan tiga klasifikasi ala Bjola, bukan tidak mungkin Retno jatuh dalam kategori the congregator – mengingat sang Menlu selalu mengandalkan diplomasi dan multilateralisme. Sementara, Luhut jatuh pada kategori the pragmatist yang bisa dilihat dari manfaat investasi yang dikejarnya kala bernegosiasi dengan negara-negara lain.

Konteks Prabowo sebagai seorang diplomat maverick tentu membuat kita sedikit bertanya-tanya. Bila the maverick memegang penuh kontrol atas kebijakan luar negeri, bagaimana Indonesia nantinya akan mengarungi persaingan geopolitik AS-Tiongkok – katakanlah bila ada skenario Prabowo memegang tampuk kekuasaan pada tahun 2019 lalu?

Indonesia Lebih Terpandang?

Bila dibandingkan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), bisa dibilang Prabowo memiliki kategori diplomatik yang berbeda. Pasalnya, bukan rahasia lagi bahwa Jokowi mengambil pendekatan pragmatis dalam kebijakan luar negerinya.

Aaron L. Connelly dalam tulisannya yang berjudul Indonesian Foreign Policy under President Jokowi menjelaskan bahwa pragmatisme Jokowi dalam politik luar negeri datang dari para penasihatnya, seperti Rizal Sukma dan Luhut. Jokowi pun dinilai hanya bekerja sama dengan negara lain bila menguntungkan.

Pragmatisme Jokowi dalam kebijakan luar negeri ini membuat Indonesia lebih pasif. Di ASEAN sendiri, misalnya, Indonesia yang dianggap sebagai pemimpin alami (natural leader) justru tampak pasif di bawah pemerintahan Jokowi.

Lantas, bagaimana bila – seandainya – Prabowo yang merupakan seorang maverick memiliki kewenangan yang setingkat Jokowi saat ini? Katakanlah bila Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra tersebut menjadi presiden?

Pertanyaan ini cukup menarik untuk dijawab. Pasalnya, terdapat perbedaan pandangan yang sangat tajam antara Prabowo dan Jokowi mengenai kebijakan luar negeri Indonesia kala mereka masih berkampanye di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Dibandingkan Jokowi, Prabowo memiliki ketertarikan di isu internasional yang lebih mendalam. Ini bisa dilihat dari bagaimana Prabowo memiliki pengalaman panjang di luar negeri – membuat dirinya menjadi sosok yang paham dengan isu-isu internasional.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, sebagai seorang maverick, Prabowo mendasarkan kebijakan luar negerinya berdasarkan visi. Salah satu visi utama yang diusung oleh Prabowo kala itu adalah Indonesia yang memiliki kekuatan besar sebagai pemain global – termasuk di kawasan Indo-Pasifik yang menjadi pusat tensi geopolitik AS-Tiongkok.

Bukan tidak mungkin, dengan kekuatan yang terukur, Indonesia akan berperan lebih aktif – apalagi bila identitas Indonesia sebagai common bridge benar-benar dilaksanakan. Setidaknya, ASEAN akan menjadi perhatian utama. 

Dengan Indonesia berperan aktif sebagai pemimpin alami, sentralitas (centrality) ASEAN pun akan bisa menjadi lebih terarah. Kini, asas sentralitas ASEAN hanya menjadi slogan di tengah banyaknya blok-blok baru yang terbentuk di Indo-Pasifik – seperti AUKUS (pakta AS-Britania Raya-Australia) dan Quadrilateral Security Dialogue (Quad).

Sebagai tokoh militer, isu-isu strategis seperti Laut China Selatan (LCS) dan konflik Ukraina-Rusia bakal mendapatkan perhatian lebih. Isu kerja sama ekonomi mungkin akan tetap menjadi perhatian, tetapi isu keamanan juga turut menjadi faktor utama dalam perumusan kebijakan luar negeri.

Tentunya, Prabowo tetap perlu memainkan berbagai “bola” dalam satu waktu (juggling) di antara kepentingan ekonomi, dagang, dan keamanan. Maka dari itu, sebagai maverick, Ketum Gerindra tersebut tetap akan membutuhkan bantuan seorang pragmatist dan congregator.

Bila perandaian di atas benar terjadi, bukan tidak mungkin Indonesia akan memainkan peran lebih – layaknya Black Widow yang akhirnya berusaha menjembatani Iron Man dan Captain America. Setidaknya, ketika juggling di antara pihak-pihak asing, Prabowo memiliki visi yang menjadi kiblat bagi kebijakan luar negerinya. (A43)


Exit mobile version