Mau dua periode atau tidak, Presiden Jokowi tetap akan ditinggalkan oleh para investor. Apa sebab?
PinterPolitik.com
[dropcap]K[/dropcap]emungkinan Indonesia ditinggalkan para investor memang masih berupa kekhawatiran semata, bukan suatu kepastian. Prediksi ini dikeluarkan oleh Institute for Development of Economic & Finance (Indef), lembaga riset independen yang mengkaji kebijakan publik di bidang ekonomi dan keuangan. Bhima Yudhistira Adhinegara, peneliti Indef, secara tegas menyampaikan kekhawatiran bahwa siapapun yang akan terpilih sebagai presiden pada Pilpres 2019 nanti, akan menghadapi ancaman ekonomi tersebut.
Bhima mengaku khawatir karena bila ini terjadi, akan menjadi ancaman ekonomi terbesar bagi tanah air. Mengapa begitu? Sebab saat presiden berikutnya mengaudit semua proyek infrastruktur yang telah dikerjakan saat ini, ‘dikhawatirkan’ akan ditemukan ‘lubang-lubang’ berupa utang yang harus dibayar.
“Saya khawatir di situ, nanti bayarnya pakai apa?” kata Bhima. Banyaknya “lubang” inilah yang menurutnya akan menggerus kepercayaan investor untuk kembali berinvestasi di dalam negeri. Kekhawatiran yang sama juga diungkap oleh Faisal Basri, peneliti senior dari Indef.
Jokowi Dua Periode Atau Tidak, Indonesia Tetap Terancam Ditinggalkan Investor https://t.co/CyaBNlgeL7 @DJRachbini
— INDEF (@IndefEconomics) March 28, 2018
Menurut Faisal, pemerintah masih memiliki dilema dalam mencari pembiayaan yang bersumber dari utang. Faisal juga menambahkan kalau mendatangkan investasi langsung Foreign Direct Investment (FDI), bisa menjadi opsi yang memudahkan Indonesia menangani beban biaya infrastruktur.
Berdasarkan kekhawatiran Faisal dan Bhima tersebut, keinginan Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution mengenai upayanya menggenjot investor, menjadi dapat dipahami. Ia mengaku, Vietnam ternyata jauh lebih ramah dengan investor dibandingkan Indonesia. Padahal negara tersebut menganut sistem komunis yang sejatinya menggunakan proteksionisme ekonomi.
Dibanding negara ASEAN lainnya, Indonesia memang terkenal tidak ramah dengan investor. Namun bukan berarti Pemerintah sama sekali tidak mencoba memperbaiki kesan ini, namun apa saja usaha yang telah dilakukan? Apa saja masalah yang sebenarnya menggelayutinya, serta seberapa tidak ramahnya Indonesia bagi para investor?
Menjadi Lebih “Ramah”
Ketika baru menjabat sebagai presiden ketujuh, Jokowi punya cita-cita menggebu untuk menjadikan Indonesia sebagai surga bagi investor. Sehingga hanya dalam setahun saja, peringkat Ease of Doing Business (EODB) Indonesia meningkat pesat. Bila pada 2015 posisi Indonesia ada di urutan 120, di 2016 posisinya naik menjadi 109.
Namun kenaikan tersebut masih jauh dari harapan Jokowi yang menargetkan Indonesia berada di posisi 40, bagaimana pun caranya. “Caranya gimana, bukan urusan saya. urusan para menteri dan urusan kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), urusan gubernur, urusan BUMN,” ucapnya kala itu.
Untuk meningkatkan pendapatan negara, Jokowi memang sangat getol menarik investor dari luar negeri. Upayanya ini terlihat jelas dalam berbagai kesempatan pertemuan internasional. Salah satunya saat menghadiri World Economic Forum 2015. Di depan sekitar 600 peserta, Jokowi dengan lantang mengajak para investor untuk berbisnis dan berinvestasi di Indonesia.
Undangan Jokowi di forum dunia tersebut, ternyata memang efektif dan mampu menaikkan tingkat kemudahan berbisnis di Indonesia. Bank Dunia bahkan mencatat adanya perubahan yang signifikan dalam kemudahan berinvestasi, sebab dari peringkat 109, pada 2018 posisi Indonesia melesat cukup tinggi ke posisi 72.
Lonjakan ini dapat dikatakan cukup menggembirakan, karena Indonesia berada di posisi lebih baik dibanding Tiongkok yang bercokol di peringkat 78 dan India yang ada di urutan 100. Namun di tingkat ASEAN, posisi ini belum ada apa-apanya. Indonesia masih kalah dengan Singapura (2), Malaysia (24), Thailand (26), Brunei (56), dan Vietnam (68).
Selain Bank Dunia, pengakuan juga datang dari lembaga lainnya, yaitu U.S. News & World Report. Lembaga yang berbasis di negara Paman Sam ini, menggambarkan posisi jauh lebih baik, yaitu diperingkat kedua sebagai negara terbaik di didunia untuk berinvestasi. Menurut media yang mempublikasi berita, opini, peringkat, dan analisis ini, Indonesia memiliki regulasi yang bersahabat bagi para investor asing.
Walau begitu, Jokowi tidak terlalu bahagia dengan hasil yang dicatat U.S.News & World Report tersebut. Alih-alih mengapresiasi kinerja para menterinya, ia malah mengingatkan untuk tidak bertepuk tangan terlebih dulu. Bagaimanapun, Jokowi mengaku lebih percaya dengan paparan dan pengamatan Bank Dunia, ketimbang lembaga lain.
Bisa jadi, Jokowi ingat dengan pernyataan Youngmei Zhou, pimpinan Bank Dunia untuk Country Program on Equitable Growth, bahwa kontribusi penanaman modal asing di Indonesia masih rendah meski EODB naik secara signifikan. “Indonesia belum melakukan yang terbaik dalam investasi,” jelasnya dalam acara Indonesia Ease of Doing Business Improvement: Continuous Reform for Better Investment Climate, 2017 lalu.
Youngmei juga menjelaskan kalau indeks daya saing FDI Indonesia masih berada di posisi rendah. Bank Dunia sendiri sudah memetakan sejumlah penyebab yang membuat angka penanaman modal asing di Indonesia kecil, misalnya dari pembatasan kepemilikan asing, penyaringan (screening) investor yang diskriminatif, pembatasan pembelian tanah, hingga pembatasan modal dan laba.
Namun, Bank Dunia juga mencatat beberapa prestasi yang sudah dilakukan Indonesia. Mereka juga mengakui kalau Indonesia merupakan negara terbaik di dunia yang konsisten melakukan reformasi kemudahan berusaha dalam 15 tahun terakhir. Termasuk membuat perbaikan terbesar dalam hal regulasi bisnis di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Pernyataan Youngmei ini benar adanya. Sepanjang 2016 – 2017, Indonesia memang sudah melakukan tujuh reformasi untuk meningkatkan kemudahan berusaha. Meski begitu, upaya ini masih belum mampu mendongkrak posisi Indonesia lebih tinggi dari Brunei maupun Thailand yang telah melakukan delapan reformasi kemudahan berusaha.
Di sisi lain, reformasi peraturan dan perkembangan yang dilakukan juga belum cukup bagi investor melakukan investasi di dalam negeri. Menurut Tan Kong Yam, Direktur Asia Competitiveness Institute (ACI), para investor juga mempertimbangkan kondisi infrastruktur, SDM, potensi pasar, dan efektivitas biaya. Akibatnya, Indonesia masih tetap dilabeli tak ramah investor.
Lalu bagaimana dengan pencapaian dan usaha pemerintah pusat di hadapan pemimpin daerah?
Daerah, Tertinggal Dan Terlupakan
ACI, lembaga pusat penelitian di Lee Kuan Yew School of Public Policy dari National Universty of Singapore, menilai bahwa selain peraturan dan perkembangan belum cukup membuat investor menanamkan sahamnya, ternyata indeks kemudahan berbisnis dari Bank Dunia tidaklah mencerminkan kondisi sebenarnya di Indonesia.
Mereka menilai, indeks Bank Dunia tersebut hanya mengambil contoh Jakarta dan Surabaya saja, bukan kota keseluruhan di Indonesia. ACI juga menerbitkan indeks kemudahan berbisnis Indonesia pada 2017, memperlihatkan kalau bobot reformasi regulasi hanya menyumbang 20 persen dari skor indeks kemudahan berbisnis di Indonesia.
Padahal, para investor atau pelaku bisnis mencari negara yang memiliki daya tarik dan keramahan bisnis yang masing-masingnya berbobot 40 persen. Nah, indikator penentunya itu, adalah pangsa pasar domestik, produktivitas tenaga kerja, dan ketersediaan infrastruktur transportasi logistik.
ACI yang juga bekerjasama dengan Asosiasi pengusaha Indonesia (Apindo) menemukan bahwa sebanyak 16 provinsi di Indonesia, masih memiliki indeks kemudahan bisnis di bawah rata-rata nasional. Sementara Provinsi dengan skor indeks kemudahan berbisnis tertinggi masih dipegang oleh daerah-daerah di Pulau Jawa.
Dengan demikian, menarik investor pun mau tak mau memang harus dilakukan dengan terlebih dulu menyelesaikan – lingkaran setan – percepatan pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah, terutama di luar Pulau Jawa. Termasuk mulai memperbaiki kemudahan perizinan pendirian usaha dari segi waktu, prosedur, dan biaya.
Mau bagaimana lagi, berinvestasi memang membutuhkan proses yang tak instan. Seperti yang dikatakan Paul Samuelson, ekonom dari Amerika Serikat, berinvestasi seharusnya seperti melihat tanaman tumbuh, dibanding mengharap ‘kesenangan’, bila ingin demikian pergi saja langsung ke tempat hiburan. Jadi, tak heran bila Indef memiliki kekhawatiran seperti yang dinyatakan di awal tulisan. (A27)