Pemerintah Indonesia dan UNHCR kewalahan dalam mengurus seribu lebih pengungsi pencari suaka di Kalideres, Jakarta Barat. Ini sekaligus menunjukkan ketidaksiapan Indonesia dalam menangani gelombang pengungsi yang tiap tahunnya semakin bertambah
PinterPolitik.com
Permasalahan pengungsi adalah permasalahan global. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), saat ini ada 30 juta pengungsi yang tersebar di seluruh dunia.
Gelombang pengungsi ini terjadi karena banyaknya konflik yang terjadi khususnya di wilayah Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Konflik-konflik ini kemudian memaksa masyarakat untuk pergi menyelamatkan diri ke negara lain, biasanya secara ilegal, dengan alasan keamanan.
Namun, beberapa fakta justru menyebutkan bahwa gelombang pengungsi ini juga dikendalikan dan dipengaruhi oleh organisasi kejahatan internasional.
Di Turki, menurut United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), keinginan para pengungsi untuk pergi ke Eropa dimanfaatkan oleh organisasi kejahatan internasional melalui jasa penyelundupan manusia.
Para pengungsi harus membayar antara € 3.500 hingga € 18.000 untuk mencapai negara tujuan. Harga ini bervariasi tergantung dari moda transportasi, dokumen perjalanan, dan negara yang ingin dituju oleh pengungsi.
Layaknya agen perjalanan pariwisata, para penyelundup juga membuat iklan-iklan di media sosial yang mempromosikan keindahan alam Eropa serta menjanjikan adanya jaminan keselamatan serta sosial begitu para pengungsi tiba di tujuannya. Hal ini dilakukan guna mempengaruhi para pengungsi agar memilih Eropa sebagai tempat yang ia tuju.
Lalu, bagaimana dengan konteks ribuan pengungsi yang saat ini berada di Indonesia?
Terjadi Karena Aktivitas Kriminal
Hal serupa juga terjadi terhadap pengungsi yang datang ke indonesia. Menurut Ali, Briskman, dan Fiske, dalam tulisannya Asylum Seekers and Refugees in Indonesia: Problem and Potentials, masuknya pengungsi ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia, juga dimanfaatkan oleh sindikat penyelundupan manusia.
Untuk diselundupkan ke Indonesia, para pengungsi harus membayar antara US$ 5.000-10.000 kepada penyelundup. Mereka biasanya terbang terlebih dahulu ke Kuala Lumpur untuk kemudian menyebrang menggunakan kapal ke Sumatera. Dalam proses ini para penyelundup juga menyuap otoritas Malaysia dan Indonesia agar diberikan jalur yang aman dan diloloskan dari pemeriksaan.
Keterlibatan sindikat penyelundupan manusia terhadap datangnya gelombang pengungsi ke Indonesia memang sudah dibuktikan dengan terungkapnya beberapa jaringan penyelundup lokal maupun internasional.
Pada tahun 2012, tim investigasi Tempo mengungkap adanya sindikat penyelundupan pengungsi internasional yang jaringannya tersebar dari perbatasan Pakistan-Afghanistan hingga Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Dalam laporan investigasi tersebut, diketahui bahwa terdapat banyak sindikat penyelundupan internasional yang beroperasi di Indonesia, bahkan mereka saling bersaing satu sama lain.
Sindikat-sindikat ini juga cukup teroganisir dengan adanya pembagian tugas. Ada yang bertugas menerima pesanan dan melakukan koordinasi, ada yang bertugas mengantar atau menjemput pengungsi, dan terakhir ada yang bertugas menyiapkan segala peralatan dan perahu yang dibutuhkan.
Selain itu, pada tahun 2014, pihak imigrasi juga berhasil mengungkap adanya sindikat penyelundup yang memasukkan pengungsi-pengungsi asing asal Somalia untuk masuk secara ilegal ke Indonesia. Lalu, pada tahun 2017, TNI AL berhasil menggagalkan upaya penyelundupan delapan orang warga negara Somalia dari Malaysia ke Sumatera Utara.
Sementara pada tahun 2016, Polri menangkap Abraham Louhenapessy yang diperkirakan telah menyelundupkan sekitar 1.500 pengungsi asing dari Indonesia ke Australia. Bersama sindikatnya, pria yang dikenal dengan panggilan “Kapten Bram” ini bahkan bisa mendapatkan Rp 4 miliar dalam satu kali pemberangkatan.
Ada beberapa modus operandi yang digunakan oleh sindikat penyelundup ini untuk memikat dan menipu para pengungsi.
Sama seperti di Turki, penyelundup yang mengirim pengungsi ke Indonesia juga mengatakan kepada para pengungsi mereka akan mendapat kehidupan yang lebih baik ketika sampai di Australia.
Kemudian ketika mereka sudah membayar dan dijanjikan akan diantar sampai ke Australia, dalam beberapa kasus mereka ternyata hanya diantar sampai Indonesia dan kemudian ditelantarkan begitu saja.
Para pengungsi juga diturunkan di Indonesia dan ditipu oleh penyelundup yang mengatakan bahwa mereka sudah sampai di Australia.
Bom Waktu Bagi Indonesia?
Jumlah pengungsi pencari suaka di Indonesia terus bertambah. Saat ini setidaknya ada 14.000 pengungsi yang terdaftar di UNHCR Indonesia.
Secara hukum, karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi Tahun 1951, pemerintah Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menerima permohonan suaka para pengungsi apalagi menjadikan mereka sebagai Warga Negara Indonesia (WNI).
Oleh sebab itu, pemerintah juga secara resmi menyerahkan urusan pengungsi di Indonesia kepada perwakilan UNHCR di Indonesia.
Memang, sebagian besar pengungsi hanya menjadikan Indonesia sebagai negara transit sembari menunggu adanya negara ketiga yang mau menerima permohonan suaka mereka.
Tapi, bukan berarti kehadiran pengungsi ini tidak berpotensi menimbulkan masalah.
Menurut Sarah Deardorff Miller, datangnya gelombang pengungsi ke suatu negara dapat memberikan dampak negatif dalam aspek ekonomi, sosial, polik, lingkungan, dan keamanan.
Beberapa minggu kebelakang banyak pemberitaan mengenai ribuan pengungsi asing yang hidupnya terlantar di Jakarta. Ribuan pengungsi yang sebelumnya hidup di pinggir jalan ini kemudian direlokasi ke bekas kantor Komando Distrik Militer (Kodim) di Kalideres, Jakarta Barat.
Namun relokasi ini tidak berjalan dengan lancar. Lokasi relokasi yang dekat dengan pemukiman dan sekolah menimbulkan protes dari warga sekitar.
Warga mengaku terganggu dengan para pengungsi yang sering berkeliaran di luar kantor Kodim. Keluhan juga datang dari Lurah Kalideres yang mengatakan bahwa para pengungsi sulit diatur dan hanya menuruti petugas UNHCR.
Sebagai pihak utama yang menyediakan berbagai kebutuhan dasar bagi para pengungsi di Kalideres, Dinas Sosial DKI Jakarta juga mengaku kewalahan.
Meskipun hingga saat ini tetap memberikan bantuan, saat relokasi dimulai sekitar dua minggu yang lalu, Dinsos sebenarnya mengatakan bahwa anggaran mereka terbatas dan hanya dapat memberikan bantuan untuk satu minggu.
UNHCR Indonesia juga mengakui hal yang sama. Mereka memiliki keterbatasan dana dan mengaku hanya bisa membantu 300 atau 400 pengungsi.
Saat ini, satu-satunya solusi yang tersedia guna mengurangi jumlah pengungsi asing di Indonesia adalah menunggu adanya negara ketiga yang mengabulkan permohonan suaka para pengungsi tersebut.
Namun, resettlement ini berjalan lambat. Pengungsi yang datang ke Indonesia harus menunggu setidaknya lima tahun sampai ada negara ketiga yang mau menerimanya.
Solusi ini pun semakin tidak bisa diandalkan ketika beberapa tahun ke belakang jumlah pengungsi asing yang tiba di Indonesia terus bertambah, sementara jumlah suaka yang diterima negara ketiga semakin menurun.
Melihat fakta-fakta di atas, krisis pengungsi yang mulai terjadi di Indonesia bisa jadi akan semakin buruk pada tahun-tahun berikutnya.
Menghadapi kondisi ini, penanganan dengan mendirikan kamp pengungsi disarankan oleh beberapa pengamat yang mengusulkan agar pengungsi ditempatkan di pulau reklamasi – atau yang sejenisnya – yang terisolasi dan dapat dipantau dengan ketat guna menghindari gesekan sosial dengan masyarakat lokal.
Cara yang sama pernah digunakan Indonesia pada tahun 1979 ketika menerima setidaknya 170.000 pengungsi Vietnam melalui pendirian kamp pengungsi di Pulau Galang, Kepulauan Riau.
Saat ini, pendirian kamp pengungsi skala besar sudah merupakan hal yang lumrah. Beberapa negara seperti Turki, Bangladesh dan Yunani – meskipun dengan segala kontroversinya – sudah membangun pemukiman khusus pengungsi.
Pendirian kamp pengungsi dapat memudahkan pemerintah maupun UNHCR dalam mengontrol, memantau, dan mendata kebutuhan serta pengajuan suaka oleh para pengungsi. Risiko meningkatnya gesekan sosial antara masyarakat lokal dengan pengungsi asing juga dapat dihindari melalui kamp-kamp ini.
Penanggulangan saja tidak cukup. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, pemerintah juga harus semakin ketat mengawasi aktivitas penyelundupan manusia yang sudah terbukti menjadi aktor di balik masuknya pengungsi-pengungsi ke Indonesia.
Dari kasus yang sudah terungkap, sindikat penyelundupan internasional terkesan menjadikan Indonesia sebagai negara tempatnya membuang pengungsi. (F51)
► Ingin video menarik lainnya ? klik di : http://bit.ly/PinterPolitik