Banyak yang bilang kualitas demokrasi Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi) kian memburuk. Benarkah anggapan demikian, atau justru kita yang sebenarnya salah memahami demokrasi?
Mendekati akhir periode kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2024 nanti, banyak pihak berbondong-bondong mengeluarkan hasil evaluasinya terhadap nilai demokrasi Indonesia.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) misalnya, pada 2021 lalu mengatakan kebebasan sipil dalam dua tahun pemerintahan Jokowi semakin menyempit, ini disoroti dengan banyaknya kriminalisasi banyaknya peserta aksi damai dalam berbagai demonstrasi, seperti ketika penolakan Omnibus Law tahun 2020 dan demonstrasi May Day pada tahun 2021.
Kemudian, pada Oktober 2022 lalu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mengkritik kepemimpinan Jokowi dengan menilai demokrasi di bawahnya begitu ambruk karena membiarkan wacana tiga periode berkembang begitu saja.
Kata Koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti, hal itu mengindikasikan bahwa Indonesia saat ini berada dalam tren otokrasi. Meskipun presiden dipilih melalui mekanisme demokratis seperti pemilihan umum (Pemilu), tetapi selama periode kepemimpinannya, ia berusaha melakukan berbagai strategi untuk merusak konstitusi demokrasi.
Well, jangankan pendapat pengamat, di lingkungan sekitar saja kita dengan mudah akan menemui orang yang setuju bahwa demokrasi di bawah Jokowi memang terpuruk. Ini dibuktikan dengan begitu maraknya penyebaran pesan berantai di grup-grup WhatsApp yang mengatakan pendapat serupa. Terkadang, pesan-pesan tersebut bahkan memiliki penggunaan kata yang provokatif.
Didukung dengan sejumlah survei yang mengatakan bahwa kualitas demokrasi kian memburuk, dan beberapa kasus tentang penindakan kebebasan berpendapat tadi, tampaknya semakin banyak orang pula yang menanyakan, apakah benar keadaan demokrasi di bawah kepemimpinan Jokowi sedemikian parahnya?
Benarkah Demokrasi Demikian?
Pada bulan September, ada sebuah video tentang pernyataan budayawan Sujiwo Tejo yang viral. Di dalam video tersebut, Sujiwo mengatakan bahwa Indonesia cocoknya dipimpin oleh seorang pemimpin yang “bertangan besi”.
Walau sebenarnya di video tersebut Sujiwo akhirnya membahas tentang Suharto, potongan video viral yang terpotong pada pernyataan mengambang Sujiwo tentang Jokowi membuat warganet setidaknya terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang menyetujui bahwa perlu seorang pemimpin “keras” untuk Indonesia dan kelompok kedua adalah mereka yang menegaskan bahwa pemimpin yang keras mencederai demokrasi.
Pendapat yang kedua sering dijadikan landasan oleh berbagai aktivis yang ingin menyuarakan bahwa kualitas demokrasi di bawah Jokowi semakin memburuk. Namun, benarkah pernyataan tersebut?
Jawaban dari pertanyaan ini bisa kita cari melalui pemikiran salah satu ilmuwan politik paling ternama di dunia, Francis Fukuyama, dalam tulisannya Liberalism and Its Discontents: The challenges from the left and the right. Di dalamnya, Fukuyama berargumen bahwa sepertinya banyak orang saat ini keliru memahami demokrasi karena demokrasi yang selama ini jadi perbincangan publik bukanlah demokrasi, namun liberalisme.
Kebebasan berpendapat, egalitarianisme, kesetaraan, dan pengawasan fungsi pemerintahan (checks and balances) sejujurnya adalah buah perkawinan liberalisme dengan demokrasi yang baru terjadi di akhir abad ke-17 dan awal abad ke-18 di Eropa. Ini kemudian dikembangkan menjadi konsep good governance atau pemerintahan yang baik,yang sering kali disematkan pada tujuan akhir yang harus dikejar oleh para negara demokratis di dunia.
Padahal, jika kita merujuk pada definisinya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana masyarakat memiliki kewenangan dan kesadaran penuh untuk memilih pemimpin atau pembuat undang-undang di negaranya, yang kemudian kita artikan secara harfiah bahwa demokrasi adalah pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat.
Fenomena ini juga yang disoroti Fukuyama dalam tulisannya Infrastructure, Governance, and Trust. Fukuyama menilai bahwa saat ini masyarakat demokrasi lebih sibuk membahas soal optimalnya kebebasan berpendapat, checks and balances pemerintah, hingga keberadaan UU ITE yang dinilai semakin merusak demokrasi. Di balik itu semua, kita justru luput membahas esensi dari demokrasi itu sendiri, yaitu apakah rakyat sudah benar-benar memilih pemimpin dan legislatornya secara sadar.
Ketidakpuasan masyarakat tentang partisipasi politik seperti ini menurut Fukuyama muncul dari ekspektasi yang terlalu berlebihan dari sistem demokrasi, kita sering kali melihat demokrasi sebagai tujuan akhir dalam politik, padahal bisa jadi demokrasi justru sebenarnya hanya diniatkan menjadi pengantar kita untuk memilih pemimpin yang dikehendaki rakyat. Dan tren masyarakat yang demikian ternyata tidak hanya di Indonesia, di berbagai negara demokrasi, khususnya Amerika Serikat (AS) embel-embel demokrasi dalam totalitas partisipasi politik pun selalu disuarakan.
Dari pembahasan-pembahasan tadi, kita bisa simpulkan bahwa alih-alih mempermasalahkan partisipasi langsung kita dalam sejumlah keputusan kebijakan negara, kita seharusnya justru berfokus pada apakah demokrasi yang kita jalankan selama ini sudah membuat kita memilih pemimpin dan legislator sesuai keinginan rakyat.
Sesuai dengan kesimpulan yang diambil dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Kita Tidak Pernah Jalankan Demokrasi, bisa jadi kita sebenarnya tidak pernah menjalankan demokrasi karena pemimpin yang disodorkan pada publik seringnya adalah hasil godokan para elite partai politik (parpol) yang tingkat partisipasi publiknya sangat perlu kita pertanyakan.
Lantas, pertanyaan besar selanjutnya adalah, apakah seorang pemimpin “bertangan besi” – seperti yang diungkapkan Sujiwo Tejo- adalah pemimpin yang benar-benar bisa ‘direstui’ oleh demokrasi?
Paradoks Diktator Romawi
Ribuan tahun yang lalu, ketika Kekaisaran Romawi pertama kali terbentuk, proses transisi politik dari sistem republik menjadi kekaisaran jadi sorotan menarik untuk para pengamat sejarah dan politik.
Sebelum Kaisar Augustus jadi kaisar pertama, Romawi kala itu dihadapkan dengan perang sipil yang begitu sengit, yakni antara mereka yang mendukung seorang diktator seperti Julius Caesar memimpin Romawi dan mereka yang bersikeras sistem republik mesti dipertahankan sampai mati.
Secara sekilas, mungkin sebagian besar dari kalian akan memilih berpihak pada loyalis republik karena tentu kehidupan di bawah kepemimpinan diktator adalah kehidupan yang buruk, bukan?
Namun, kenyataan yang terjadi saat itu malah sebaliknya, banyak pleibians (kalangan rakyat jelata) Romawi justru memihak pada Caesar karena diktator tersebut dipandang sebagai pemimpin yang mampu memberikan kesejahteraan sekaligus menumbuhkan rasa nasionalisme yang tinggi.
Fenomena politik ini kemudian memantik perdebatan yang sangat menarik, sebagai orang yang memihak pada demokrasi, seharusnya kita menentang otokrasi dan kebangkitan diktator karena kekuatan yang tersentral pada satu orang ‘katanya’ bisa mencederai demokrasi.
Tapi di sisi lain, apakah akan menjadi kemunafikan jika kita berpihak pada kelompok yang membela Caesar? Karena toh keputusan untuk menjadikannya sebagai pemimpin sebenarnya muncul dari aspirasi mayoritas rakyat. Bagaimana posisi demokrasi dalam kasus ini?
Well, sebelum kalian jawab paradoks ini, kita terlebih dahulu perlu merenungkan apa yang dikatakan Niccolò Machiavelli dalam buku Diskursus. Machiavelli menegaskan bahwa dalam suatu pemerintahan, pemerintah memang terkadang harus mengambil keputusan yang menyakitkan, dengan jaminan tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan rakyat -seperti makan dan tempat untuk berkehidupan- bisa terpenuhi.
Dalam bahasa Latin, hal seperti ini memiliki istilah sendiri, yakni panem et circenses (makanan dan sirkus) yang bisa dimaknai bahwa pemerintah harusnya hanya perlu mengkhawatirkan dua hal dalam pemenuhan tanggung jawabnya pada rakyat, yakni menjamin mereka bisa terus mendapatkan makanan dan tetap terhibur dalam kehidupannya.
Nah, berdasarkan pemahaman seperti ini, kita bisa interpretasikan bahwa seorang pemimpin dalam sebuah negara demokrasi adalah mereka yang dipilih berdasarkan aspirasi rakyat untuk bisa memenuhi kebutuhan rakyatnya. Dengan demikian, meresonansi kepada pernyataan Sujiwo Tejo yang sempat dibahas di bagian tengah tulisan, bisa saja benar bahwa Indonesia butuh seorang pemimpin yang bertangan besi, jika pemimpin itu bisa memastikan apa yang dibutuhkan rakyat. (D74)