Telah menjadi pembahasan umum bahwa presiden Indonesia haruslah orang Jawa. Menimbang suku Jawa merupakan mayoritas, asumsi semacam itu memiliki argumentasi yang cukup kuat. Lantas, apakah sistem electoral college dapat menjadi solusi agar presiden dapat dari luar Jawa?
“Law is experience developed by reason and applied continually to further experience.” – Roscoe Pound, ahli hukum asal Amerika Serikat
Dulunya, ketika masih mengenyam pendidikan dasar, setiap sorenya, penulis menonton anime Naruto di depan televisi. Asik betul anime ini. Kita menikmati pembangunan karakternya, konflik pertemanan, hingga jutsu-jutsu keren ketika pertarungan. Kage Bunshin no Jutsu dan Rasengan keren lah pokoknya.
Seiring beranjak dewasa, tepatnya ketika duduk di tahun ketiga bangku SMA, berbagai interpretasi terkait anime Naruto penulis temukan. Yang paling menarik adalah tujuh Hokage di Konoha ternyata mirip dengan tujuh Presiden Indonesia.
Hokage pertama, Hashirama Senju, si pendiri Konoha mirip dengan presiden pertama Soekarno yang merupakan Bapak Proklamator. Hokage kedua, Tobirama Senju yang dikenal pandai berpolitik, mirip dengan presiden kedua Soeharto yang mampu memainkan strategi politik sehingga berkuasa selama 32 tahun.
Meskipun Hokage ketiga, Hiruzen Sarutobi tidak mirip dengan Presiden B.J. Habibie karena hanya berkuasa sebentar, Hokage keempat sampai ketujuh dapat dikatakan mirip. Minato Namikaze, misalnya, hanya berkuasa sebentar, sama dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pun begitu dengan Tsunade dan Megawati Soekarnoputri yang merupakan pemimpin perempuan.
Namun setelah lulus kuliah, khususnya setelah bekerja di PinterPolitik, penulis tidak lagi membuat interpretasi dengan menyandingkan para Hokage di anime Naruto, melainkan fokus pada ketujuh presiden RI yang ada. Kalau diperhatikan, ternyata enam dari tujuh presiden merupakan orang Jawa.
Baca Juga: Mengapa Presiden Selalu Orang Jawa?
Hanya Habibie, putra asal Sulawesi Selatan yang memutus rantai kepemimpinan asal Pulau Jawa. Itu pun menjadi perdebatan karena ibunya, Raden Ayu Tuti Marini Puspowardojo merupakan orang Jawa.
Well, yang jelas, sampai saat ini terdapat asumsi presiden haruslah dari orang Jawa. Bahkan ada pula sangkaan bahwa nama presiden harus diakhiri vokal O. Sangkaan itu makin kuat karena presiden-presiden yang namanya diakhiri vokal O adalah mereka yang mampu memimpin lama.
Lantas, apakah presiden harus dari orang Jawa? Jika benar demikian, apakah ada cara agar luar Jawa dapat menjadi presiden?
Berawal dari Majapahit?
Sekar Sanding Kinanthi Joewono dalam tulisannya When I Realized that All of Our Presidents are Javanese, menyebutkan, sama dengan negara pluralistik lainnya yang memiliki beragam ras, etnis, dan budaya, Indonesia juga memiliki masalah ketidaksetaraan sosial. Terdapat kelompok masyarakat tertentu yang memiliki privilese atau kesempatan lebih besar dari kelompok lainnya.
Dalam tulisannya Sekar mencontohkan, untuk menjadi presiden kita mungkin perlu menjadi orang Jawa. Ketujuh presiden Indonesia memiliki darah Jawa. Melihat fakta bahwa suku Jawa merupakan mayoritas dengan 41 persen, presiden harus berdarah Jawa sekiranya bukan sesuatu yang mengherankan.
Menurut Sekar, keuntungan menjadi orang Jawa tidak hanya karena persoalan demografi, melainkan juga sebagai imbas kekuasaan Kerajaan Majapahit. Dahulunya, sebelum Indonesia ada, Nusantara diperintah di bawah kerajaan Jawa raksasa, Majapahit. Sejak saat itu, para pemimpin Indonesia sering dianggap sebagai penerus sah raja-raja Majapahit sebelumnya, yang umumnya diharapkan merupakan orang Jawa.
Persoalan tersebut kemudian berlanjut ke era Orde Baru, di mana Soeharto melakukan Jawanisasi – dikenal juga dengan Prijaji-sasi atau Mataramisasi – selama tiga dekade pemerintahannya. Tidak hanya membangun ekonomi yang terpusat di Jawa, melainkan juga menyebar orang-orang Jawa ke seluruh Indonesia. Akibatnya, “Jawa” sering dianggap identik dengan Indonesia – setidaknya secara normatif.
Baca Juga: Perlu 100 Tahun untuk Luar Jawa?
Hipotesis Sekar tersebut sangat menarik untuk direfleksikan. Pasalnya, jangan-jangan persoalan dominasi presiden atau capres Jawa bukan soal suku Jawa yang menjadi mayoritas, melainkan ada norma tertentu yang dipercaya para elite.
Dalam survei yang dirilis Poltracking Institute pada 2018, terlihat bahwa masyarakat ternyata menganggap faktor asal daerah dan suku tidak berpengaruh dalam memilih presiden. Sebanyak 51,6 persen responden menilai faktor asal daerah tidak berpengaruh. Dan sebanyak 50,5 persen menilai faktor suku tidak berpengaruh bagi mereka dalam memilih presiden.
Hanya 1,7 persen responden yang menyebut asal daerah adalah faktor terpenting dalam memilih presiden. Dan hanya 1,4 persen responden yang menilai faktor etnis adalah hal yang terpenting. Ini jauh dari faktor agama di urutan pertama dengan 19,4 persen, dan kinerja di urutan kedua dengan 19,1 persen.
Perlu menjadi catatan, responden survei tersebut didominasi oleh unsur demografi Jawa. Dari total 1.200 responden, sebanyak 40 persen dari suku Jawa. Sampel terbanyak pun diambil dari wilayah Jawa, yaitu Jawa Barat (17,8 persen), Jawa Timur (15,1 persen), dan Jawa Tengah (13,3 persen).
Well, responden survei tampaknya menggambarkan peta pilpres, di mana 40 persen merupakan suku Jawa dan pertarungan terpusat di provinsi-provinsi pulau Jawa.
Jika survei tersebut representatif, ini jelas sebagai bantahan bahwa adanya dominasi presiden Jawa merupakan imbas dari dominasi suku Jawa. Sekali lagi, ini mungkin soal norma yang dipercaya para elite.
Electoral College Jadi Solusi?
Associate Professor University of Wisconsin-Milwaukee, Paru R. Shah, menyebutkan terdapat tiga faktor yang menjadi ganjalan dalam pencalonan kandidat minoritas, yakni peran dari kandidat itu sendiri, keengganan kandidat minoritas untuk maju, dan peran dari partai politik.
Terkhusus faktor terakhir, ilmuwan politik Nicole Bolleyer juga memberikan penegasan bahwa pengurus parpol dapat menggunakan kekuasaannya untuk menentukan siapa yang maju dalam pemilu. Dengan terpusatnya parpol besar di Jawa, di mana elite-elitenya merupakan orang Jawa pula, konteks ini tampaknya yang menjadi akar di balik anggapan presiden harus orang Jawa.
Lantas, jika akarnya pada elite, apakah solusinya dengan mengganti elite partai menjadi bukan orang Jawa?
Well, sayangnya, sekalipun diganti, dengan suku Jawa menjadi mayoritas dengan 41 persen, sebanyak 56,1 persen penduduk tinggal di Pulau Jawa, dan terdapat 84,3 juta penutur bahasa Jawa, statistik-statistik tersebut akan menjadi pegangan para elite parpol untuk memajukan sosok dari Pulau Jawa.
Atas persoalan ini, kita mungkin perlu memikirkan solusi yang radikal, yakni mengganti sistem pemilu saat ini dengan electoral college seperti di Amerika Serikat (AS). Praktiknya bukan dengan memindahkan electoral college ke Indonesia, melainkan mengadopsi cara kerjanya.
Seperti negara bagian di AS, setiap provinsi akan memiliki perwakilan. Jika tidak nyaman dengan istilah electoral college, kita dapat menyebutnya Dewan Perwakilan Provinsi (DPP). Sama seperti di AS, jumlah DPP tiap provinsi akan ditentukan berdasarkan jumlah populasi. Bisa juga memasukkan faktor signifikansi ekonomi provinsi.
Karena tugasnya mewakili provinsi dalam memilih presiden, para DPP ini harus melalui penyaringan luar biasa agar terpilih orang-orang berkualitas, berintegrasi, dan tentunya berwawasan luas. Penekanan ini penulis ambil dari filsuf Yunani kuno, Socrates yang menyebut memilih pemimpin butuh keahlian, bukannya intuisi acak.
Mekanisme pencalonan DPP juga harus sangat terbuka (transparan) agar masyarakat benar-benar mengetahui siapa yang mereka pilih untuk mewakili suaranya.
Baca Juga: Kenapa Jokowi Bisa Jadi Presiden?
Nah, dengan mekanisme pemilihan yang berpusat pada DPP, asumsi suara mayoritas tidak lagi menjadi relevan. Sama seperti kasus Donald Trump di Pilpres AS 2016, ia menjadi pemenang meskipun tidak meraih suara mayoritas.
Dengan sistem seperti ini, ketika menentukan siapa kandidat yang maju, para elite parpol sekiranya akan mempertimbangkan setiap DPP karena semuanya memiliki posisi tawar yang berimbang. Harapannya, ini membuat para elite memilih calon yang dapat memenuhi suara-suara provinsi yang dibawa para DPP.
Jika sistem ini berhasil, kita tidak akan lagi mendengar presiden harus orang Jawa, melainkan sosok yang mampu menjadi harapan para DPP yang merupakan perwakilan setiap provinsi yang ada. (R53)