HomeNalar PolitikIndonesia Perlu Bangun Bandar Antariksa?

Indonesia Perlu Bangun Bandar Antariksa?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggalakkan kembali niatan Indonesia menjadi pemain antariksa internasional. Wacana bandar antariksa di Pulau Biak tengah digodok bersama sejumlah perusahaan swasta. Di sisi lain, banyak yang mempertanyakan urgensi program yang ambisius tersebut. Perlukah Indonesia membuat bandar antariksa di Biak?


PinterPolitik.com

The exploration of space will go ahead, whether we join in it or not.” – John F. Kennedy, mantan Presiden Amerika Serikat

Ambisi Indonesia untuk menjadi negara dengan kapabilitas keantariksaan mumpuni sudah berlangsung dari masa Presiden pertamanya, Sukarno. Ketika berpidato di Bandung pada 25 Januari 1960 saat pembukaan Musyawarah Nasional untuk perdamaian, Sukarno menyebutkan ada lima tahapan revolusi dunia, yakni revolusi agama, komersial, industri, atom, dan terakhir, revolusi antariksa.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, wacana keantariksaan Indonesia beberapa kali menjadi bahan perbincangan hangat, khususnya, mengenai rencana pembangunan bandar antariksa di Pulau Biak, Papua. Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Thomas Djamaluddin mengatakan bahwa sebenarnya rencana pembangunan bandar ini sudah dicanangkan  sejak tahun 1980, LAPAN sendiri sebutnya sudah menyiapkan lahan ratusan hektar.

Alasan program bandar antariksa Biak menjadi sorotan kali ini adalah karena Indonesia mulai melibatkan campur tangan perusahaan multinasional dalam mendirikan bandar antariksa. Pada akhir tahun 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebutkan menawarkan Biak sebagai lokasi bandar antariksa kepada bos perusahaan antariksa SpaceX, Elon Musk.

Baca Juga: Siasat Luhut Gandeng Elon Musk

Melalui telepon, Jokowi dan Musk membicarakan mengenai peluang investasi bisnis keantariksaan. Meskipun belum ada kepastian SpaceX akan terlibat secara signifikan dalam membangun bandar antariksa di Biak, pihak LAPAN sempat mengatakan tengah memulai pembahasan tahap awal, dan proposal soal lokasi proyek SpaceX masih dipelajari pemerintah.

Di sisi lain, kritik mengenai urgensi bandar antariksa mulai bermunculan. Wajar, program antariksa selama ini diidentikkan hanya kepada negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan Jepang, sementara Indonesia masih harus dihadapi keterbatasan pengetahuan teknologi dan finansial.

Lantas, mengapa Indonesia perlu membuat bandar antariksa di Biak?

Program Antariksa, Investasi Menjanjikan?

Perlu diketahui bahwa peluncuran wahana antariksa tidak hanya mengandalkan infrastruktur, tetapi juga situasi dan kondisi alam yang mendukung. Meskipun pada prinsipnya bandar antariksa bisa dibuat di bermacam lokasi, bandar antariksa yang terletak di wilayah khatulistiwa memiliki keunggulan yang tidak terdapat di bandar antariksa lainnya.

Hal ini karena penempatan satelit sangat tergantung pada tingkat kemiringan peluncurannya terhadap garis khatulistiwa, untuk kemudian ditempatkan dalam orbit yang disebut Geostationary Orbit (GSO), tepat berada di atas khatulistiwa. Dengan demikian, secara ekonomis dan teknis, akan sangat jauh lebih efisien jika suatu roket diluncurkan dari khatulistiwa, karena muatan satelit yang ikut diluncurkan roket tersebut tidak perlu melakukan manuver yang berlebihan untuk menyesuaikan orbitnya.

Alasan inilah kemudian yang membuat Indonesia sangat berambisi mendirikan bandar antariksa di Biak. Selain berguna sebagai tempat riset dan peluncuran, Biak juga sangat berpotensi menjadi bisnis peluncuran satelit GSO.

Baca juga :  Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Terlebih lagi, berdasarkan analisis dari Morgan Stanley, sebuah perusahaan perbankan AS, disebutkan bahwa industri keantariksaan dapat menghasilkan pendapatan lebih dari US$1 triliun pada tahun 2040, naik dari nilai saat ini yaitu US$350 miliar. Peluang yang paling signifikan datang disebut dari sektor satelit telekomunikasi.

Saat ini, bandar antariksa yang tepat berada di ekuator hanya ada dua, yaitu Guiana Space Centre di Guyana Prancis, dan Alcantara Space Centre di Brazil.

Selain peluang dari aspek sains, pengembangan program antariksa juga dapat menghasilkan keuntungan yang sifatnya multiguna. Eligar Sadeh dalam bukunya Space Politics and Policy: An Evolutionary Perspective, menilai kemajuan teknologi yang dikembangkan dalam industri antariksa juga dapat diaplikasikan ke berbagai sektor kehidupan, contohnya seperti pemantauan kebakaran hutan, peringatan bencana alam, hingga edukasi dan kesehatan.

Tidak kalah penting, juga konsekuensinya pada citra politik suatu negara. Berkaca pada masa Perang Dingin, ketika terjadi persaingan perlombaan keantariksaan (space wars) antara Uni Soviet dan AS, kita bisa mempelajari bahwa kedua negara adidaya tersebut tidak perlu berkonfrontasi militer secara langsung untuk mendapatkan pengaruh internasional. Bahkan, pada akhirnya, investasi yang mereka tanam pada program-program antariksa masih berpengaruh sampai saat ini, Rusia dan AS masih menjadi salah satu mitra andalan kerja sama teknologi antariksa internasional.

Baca Juga: Jokowi akan Kirim Pesawat ke Mars?

Di sisi lain, pengembangan program antariksa juga bisa berkontribusi besar pada industri pertahanan negara. Alasannya karena teknologi antariksa itu memiliki sifat kegunaan ganda. Yasuo Otani dalam tulisannya yang berjudul Dual-Use Concept on Civil and Defense Uses of Outer Space mengatakan bahwa pengembangan teknologi antariksa seperti roket, selain digunakan untuk mengirim satelit ke luar angkasa, juga bisa digunakan oleh militer untuk mengirim misil dengan kecepatan tinggi.

Begitu juga dengan teknologi satelit penginderaan jauh, yang bisa dialihfungsikan sebagai sistem pengawas perbatasan negara dan pemandu misil. Sederhananya, bayangkan saja teknologi global positioning system (GPS) yang sedikit-sedikit kita gunakan untuk mengantarkan kita ke suatu tempat, jika potensinya dimaksimalkan, itu mampu menjadi alat pertahanan negara yang cukup menyeramkan bagi pihak-pihak yang ingin melakukan invasi.

Lantas, bagaimana kegunaan-kegunaan ini bisa dikapitalisasi untuk memantapkan posisi politik Indonesia di panggung internasional?

Sebuah Kompetisi Baru

Berdasarkan penjabaran di atas, kita bisa simpulkan bahwa teknologi dan program antariksa telah menjadi bentuk kekuatan suatu negara. Indonesia sebagai negara dengan kondisi geografis yang sangat menguntungkan, menjadi sangat berkepentingan untuk menguasai kemandirian teknologi dan aplikasi antariksa. Terlebih lagi, saat ini belum ada bandar antariksa ekuator di kawasan Indo-Pasifik.

Mengacu pada pandangan Joseph S. Nye dalam tulisannya Get Smart: Combining Hard and Soft Power, program antariksa sesungguhnya adalah manifestasi dari smart power. Nye berpandangan dalam era modern ini, pendekatan keras (hard power) dalam politik luar negeri tidak cukup, begitu pula dengan sepenuhnya mengandalkan pendekatan lunak (soft power), ia mengatakan, negara yang ingin maju harus mampu memadukan keduanya.

Baca juga :  Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Program dan teknologi antariksa yang bersifat multifungsi dan membawa kegunaan ganda menjadi salah satu alat politik internasional yang paling tepat dalam memastikan eksistensi suatu negara di politik internasional modern.

Untuk memahami bagaimana situasi politik internasional setelah adanya tren program antariksa, kita bisa berkaca pada tulisan Everett C. Dolman yang berjudul Astropolitik: Classical Geopolitics in the Space Age. Di dalamnya, Dolman mempopulerkan konsep astropolitik, yang pada dasarnya mengatakan perlombaan program antariksa yang dipopulerkan ketika masa Perang Dingin telah menciptakan kekhawatiran geopolitik yang baru.

Bagaimana tidak, perlombaan antariksa telah membuka mata semua negara di dunia bahwa ada zona persaingan baru yang sampai saat ini partisipasinya sangat tidak adil karena hanya didominasi oleh negara-negara berteknologi maju. Tanpa adanya penyelengaraan rezim astropolitik internasional yang kompetitif, kredibel dan setara, akan mendorong ekplorasi antariksa yang berbasis pada kompetisi tanpa konfrontasi. Sehingga, layaknya zaman kolonialisme, dominasi hanya ditentukan sekelompok negara saja.

Dengan pandangan ini, Indonesia perlu termotivasi untuk menjadi ‘pemain’, bukan lagi hanya sebagai penonton. Barangkali kita perlu belajar dari India, yang sesungguhnya termasuk sebagai negara dunia ketiga, tetapi kemudian mendapatkan julukan “space superpower” melalui pengembangan teknologi keantariksaannya yang luar biasa. India menjadi negara berkembang pertama yang berhasil mendaratkan wahana antariksa di Mars.

India juga berhasil menjadi salah satu negara yang dipercaya dalam kerja sama program keantariksaan, seperti penggunaan teleskop antariksa ASTROSAT yang telah ditandatangani dan digunakan oleh 24 negara, dan program pendidikan teknologi antariksa di kota Dehradun, yang diikuti setidaknya 52 negara.

Baca Juga: Globalis dan Ambisi Antariksa Jokowi

Direktur Centre for Security, Strategy & Technology (CSST), Rajeswari Pillai Rajagopalan dalam artikelnya yang berjudul Taking India’s Cost-Effective Space Launches To the Next Level, mengatakan kesuksesan program antariksa India setidaknya berasal dari dua faktor. Pertama, layanan peluncuran wahana antariksa yang kredibel dan hemat biaya, dan kedua, keterbukaannya terhadap keterlibatan pihak swasta.

Dua faktor tersebut sesungguhnya juga bisa dimanfaatkan Indonesia. Berbeda dengan India, kita justru lebih diunggulkan karena posisi geografis, zamrud khatulistiwa dan jantung kawasan Indo-Pasifik.

Yang perlu dilakukan kemudian hanyalah membangun SDM antariksa dalam negeri. Seperti yang kita tahu, Indonesia sesungguhnya memilki banyak diaspora unggulan di bidang astronomi, contohnya adalah Marko Djuliarso, insinyur perusahaan Boeing yang pernah ikut membangun roket peluncur NASA. Juga Raden Dwi Susanto, ilmuwan Indonesia yang juga pernah masuk dalam tim peneliti NASA.

Tidak kalah krusialnya, membangun wawasan akan pentingnya program keantariksaan. Di Indonesia sesungguhnya terdapat banyak komunitas yang bergerak di gagasan ini, namun belum cukup mendapat sorotan publik. Contohnya adalah Antarexxa Space Global, sebuah startup asal Bali yang ingin menjadi jembatan antara para akademisi dan profesional industri dengan pemerintah, untuk mengonsolidasikan sekaligus mewujudkan mimpi Indonesia sebagai aktor antariksa global. (D74)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Dengarkan artikel ini: Audio ini dibuat menggunakan AI. Di tengah kompetisi untuk tetap eksis di blantika politik Indonesia, Zulkifli Hasan dan Muhaimin Iskandar tampak begitu kuat...

More Stories

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Indonesia First: Doktrin Prabowo ala Mearsheimer? 

Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?