Site icon PinterPolitik.com

Indonesia, Menuju Panglima Indo-Pasifik

Jokowi memiliki visi poros maritim yang dapat diselaraskan di Indo-Pasifik (Foto: VOAIndonesia)

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memiliki visi diplomatik besar di tahun 2018 untuk memimpin ‘regional baru’ yang disebut Indo-Pasifik.


PinterPolitik.com

“Kenapa Presiden di awal 2018 ini ke Asia Selatan? Kenapa kunjungan pertama menteri luar negeri ke Indonesia dari India? Itu semua grand design dari Indo-Pasifik,”

-Arrmanatha Nasir, juru bicara Kementerian Luar Negeri-

Sepanjang Januari 2018 ini, Retno banyak menjalankan misi diplomatik yang berurusan dengan India. Pada 6 Januari, Retno menjadi pembicara utama dalam 5th Roundtable of ASEAN-India, di mana saat itu ia menyampaikan cita-cita Indonesia untuk memimpin kerja sama ASEAN dengan India.

Poin yang sama juga ia sampaikan saat ditelepon oleh Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson, pada 15 Januari 2018. Begitu pula tak lama kemudian, saat Menteri Pertahanan AS Jim Mattis melawat ke Indonesia. Retno kembali menyampaikan gagasan pemerintah Indonesia untuk melakukan eksplorasi hubungan internasional yang lebih intens di Samudera Hindia, samudera yang sejauh ini memang belum diregulasikan dengan maksimal.

Menurut Retno, Indonesia sangat perlu menjalin kerja sama dengan India dalam mengeksplor potensi Samudera Hindia. Retno menegaskan perlu adanya konsep Commerce, Connectivity, and Culture, di antara kedua negara. Dengan slogan tersebut, maka diharapkan India dan Indonesia dapat menjalin kerja sama maritim lebih baik di Samudera Hindia, antara lain dalam hal keamanan maritim dan blue economy.

Peta Indo-Pasifik

Samudera Hindia memang tengah beranjak menjadi wilayah yang sangat strategis, layaknya Samudera Pasifik dengan Pacific Rim-nya 20 tahun terakhir. Jika dihitung secara keseluruhan, terdapat setidaknya setengah jumlah total lintasan kapal kargo dunia, yang khususnya membawa dua pertiga distribusi minyak dunia dari Timur Tengah melintasi Samudera Hindia.

Lantas, dengan potensi besar ini, bagaimana Indonesia menyikapi poros Indo-Pasifik? Apakah Indonesia dapat mengambil peran sebagai ‘panglima’ Indo-Pasifik?

Faktor Tumbuhnya Narasi Indo-Pasifik

Narasi mengenai Indo-Pasifik sebagai komoditas biogeografi memang sudah cukup lama berkembang. Namun sebagai narasi geopolitik, Indo-Pasifik baru terlihat berkembang setidaknya di sepuluh tahun terakhir, dan semakin intensif dalam setahun terkahir.

Peneliti senior CSIS Evan S. Laksmana, melihat setidaknya ada empat elemen faktor yang mendorong munculnya narasi geopolitik Indo-Pasifik ke permukaan.

Pertama adalah faktor Donald Trump. Ketidakjelasan arah politik luar negeri AS di era Donald Trump, disebut-sebut tengah menimbulkan pandemonik bagi stabilitas politik kawasan. Salah satunya adalah saat AS akhirnya menarik diri dari kerjasama Trans-Pacific Partnership (TPP), yang dapat mengubah peta kekuatan di Asia Pasifik.

ASEAN secara umum, dan Indonesia secara khusus, seakan ‘dipaksa’ mencari arah kerja sama multilateral lain yang lebih menguntungkan di samping Samudera Pasifik. Dan dengan begitu, optimalisasi Samudera Hindia menjadi opsi yang rasional.

Kedua adalah faktor Tiongkok sebagai ‘penguasa’ kawasan Asia Pasifik. Peran Tiongkok yang hanya intensif dalam kerja sama ekonomi, namun lemah dalam menjalin kerja sama pertahanan, menjadikan Asia-Pasifik turut melemah. Tiongkok gagal menjaga stabilitas kawasan, khususnya dalam polemik Laut Tiongkok Selatan, yang pada akhirnya memperburuk relasi ASEAN-Tiongkok.

Celah ini yang juga dilihat oleh AS, yang dipertegas dengan sikap Trump yang rajin menyebut ‘Indo-Pasifik’ dan meminggirkan ‘Asia-Pasifik’ dalam diplomasinya. AS seolah ingin membentuk poros Asia lain untuk menandingi arsitektur Pacific Rim yang dibangun Tiongkok sejak puluhan tahun lalu.

Ketiga adalah faktor bangkitnya kekuatan India, Jepang, dan Australia, sebagai tiga negara arsitek utama poros ini. India, sebagai ‘pemilik’ Samudera Hindia, dengan cadangan mineral yang begitu kaya, punya potensi besar untuk menjadi kekuatan penyaing Tiongkok.

Hal ini, yang tentu saja sudah dilihat oleh ‘tangan-tangan’ AS di Asia, yakni Jepang dan Australia, yang begitu mendukung India dalam isu ini. Kerja sama ketiganya semakin kentara setelah diplomasi trilateral (quadrilateral bersama AS sebagai pengamat), yang berlangsung pada Desember 2017 lalu.

Dan faktor yang keempat adalah kebutuhan untuk menggunakan jalur maritim Hindia yang semakin meningkat. Dengan adanya peningkatan kebutuhan ekonomi di Samudera Hindia, maka kebutuhan keamanan laut dari berbagai jenis ancaman pun diperlukan. Karenanya, ‘menghidupkan’ pengorganisasi di Indo-Pasifik merupakan kebutuhan mendasar negara-negara di sekelilingnya.

Potensi Strategis Indonesia

Grand design pemerintah Indonesia dalam geopolitik Indo-Pasifik sebenarnya sudah terlihat sejak Maret 2017 yang lalu, saat Indonesia menjadi tuan rumah KTT IORA pertama dalam 20 tahun berdirinya organisasi ini. Dalam momentum tersebut, Jokowi menyampaikan penyelarasan visi blue economy IORA, dengan visi maritime axis (poros maritim) yang menjadi gagasan pemerintah Indonesia.

Ya, di samping memimpin dalam hal diplomasi negara-negara ASEAN sampai Afrika, dan di samping memiliki kekuatan yang menonjol dalam bidang kontra-terorisme, Indonesia memiliki potensi ekonomi yang mampu dikerek dengan kerja sama di Samudera Hindia. Visi poros maritim, yang setidaknya sudah diejawantahkan oleh pemerintah dengan pembangunan seratus lebih pelabuhan baru, seharusnya dapat dioptimalkan di Samudera Hindia.

Argumen ini didasari pada belum mampunya pemerintah Indonesia memanfaatkan infrastruktur laut untuk pertumbuhan ekonomi. Sektor kelautan menghabiskan cukup banyak ‘tenaga’ pembangunan infrastruktur, namun hanya menyumbang tak sampai 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Ada semacam mismanajemen atau ketidaktepatan sasaran pasar pariwisata dan ekspor kekayaan laut yang menyebabkan hal tersebut. (Baca juga: ‘Ekonomi Biru’ Jokowi Masih Mimpi?)

Sehingga, potensi kerja sama Indo-Pasifik sebenarnya sungguh harus dieksplor oleh pemerintah. Terlebih, terdapat mega proyek infrastruktur laut yang sudah dibangun India di Samudera Hindia, yakni Sagar Mala Project. Belum lagi, ada potensi mineral seperti polimetalik nodul dan hidrokarbon yang belum terjamah, dan berpotensi dikuasai Indonesia bila sukses menancapkan kuku di ‘regional baru’ ini.

Bila Indonesia memang serius menggarap kawasan ini, maka sekali lagi Indonesia harus memperhatikan potensi kekuatan India—di samping ikut memperhatikan kepentingan Jepang dan Australia sebagai ‘tangan cawe-cawe’ AS di sini.

Melihat India, maka sebenarnya negara ini merupakan counterpart dari kekuatan Indonesia di Indo-Pasifik. Dalam konteks sosio-ekonomi, sebenarnya kedua negara pun memiliki kemiripan, utamanya dengan banyaknya sektor ekonomi tradisional.

Akan tetapi, India telah sedikit lebih cepat beranjak ke arah negara maju, sejak tahun 1990-an. Terdapat peningkatan ekonomi yang pesat, yang juga dibarengi dengan tumbuhnya kekuatan nuklir mereka. Progres perekonomian India, seperti data dari Bank Dunia berikut, yang membuat India berani mencanangkan gagasan Indo-Pasifik dan bersiap ‘memimpin’ kawasan ini.

Lalu, apa potensi Indonesia di mata India? Setidaknya, walaupun tidak memiliki perekonomian sebesar India, Indonesia merupakan aktor politik yang kuat di ASEAN—kontras dengan India yang belum mampu menciptakan stabilitas di kawasan Asia Selatan. Indonesia dapat menjadi jembatan India untuk berdiplomasi dengan seluruh negara ASEAN.

Secara ekonomi pun, Indonesia telah meneken kerja sama perdagangan bilateral dengan India, yang bisa mencapai 25 miliar USD di tahun 2015 lalu, yang mana perjanjian ini adalah yang terbesar dalam sejarah hubungan kedua negara. Perjanjian perdagangan ini, setidaknya meyakinkan masyarakat internasional, bahwa kedua negara sedang dalam progres kerja sama yang konstruktif dan tidak saling menjatuhkan.

Dengan begitu, diharapkan tidak akan ada ‘matahari kembar’ Indonesia-India dalam pengembangan kawasan Indo-Pasifik.

Selain ‘memukul’ Tiongkok, kerja sama Indonesia-India juga dapat mempererat hubungan dengan AS di pihak lain

Jika demikian, apa makna dari semakin giatnya usaha Indonesia membangun relasi multilateral di Indo-Pasifik? Bisakah keputusan pemerintahan Jokowi di Indo-Pasifik ini dikontekstualisasikan dalam politik dalam negeri?

Bisa saja. Katakanlah, dengan mendekat ke poros India, maka Indonesia tengah dalam proses shifting menjauh dari kekuatan poros Tiongkok. Dengan menjauh dari poros Tiongkok—atau sengaja membuat Tiongkok marah—maka persepsi anti-Tiongkok di Indonesia dapat diredam oleh Jokowi.

Atau justru, dengan mengambil peran dalam kerja sama ekonomi intensif di Indo-Pasifik ke depannya, Jokowi kembali memainkan politik bebas aktif? Membiarkan Indonesia ‘berlabuh ke banyak pulau’ bisa saja menguntungkan ekonomi Indonesia dari banyak dimensi. Dan di sisi lain, Indonesia dapat menjadi penyeimbang atau balance of power antara Tiongkok dengan India.

Untuk sekarang, hanya Jokowi yang tahu. (R17)

Exit mobile version