Virus Corona (Covid-19) nampaknya layak dijuluki sebagai virus yang mahal karena besarnya pengeluaran berbagai negara untuk menanggulangi virus tersebut. Lantas, di situasi ekonomi Indonesia yang disebut tengah memburuk, benarkah pemerintah tengah kekurangan dana dalam menangani pandemi Covid-19?
PinterPolitik.com
Sebelumnya, mungkin banyak dari kita memandang sinis pernyataan pengamat ekonomi dan politik Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, yang memprediksi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan jatuh dalam waktu enam bulan ke depan.
Simpulan tersebut didapatkan Syahganda karena dengan adanya pandemi Covid-19 yang telah memporak-porandakan perekonomian Tiongkok. Negeri Tirai Bambu tersebut tidak akan lagi menjadi “penolong sigap” yang akan membantu Indonesia dalam menghadapi masalah ekonomi yang disebut tengah terjadi. Terlebih lagi, Indonesia disebut-sebut telah begitu bergantung kepada Tiongkok secara ekonomi selama ini, khususnya dalam hal investasi infrastruktur.
Pun begitu, kita mungkin juga telah memandang sinis pernyataan mantan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli (RR) yang menyebutkan bahwa akan terjadi krisis ekonomi besar yang terjadi menjelang lebaran. Menurut RR, terdapat lima faktor penting di sektor ekonomi yang jika terjadi secara bersamaan dapat memicu hal tersebut, yakni indikator makro ekonomi yang merosot, daya beli yang menurun, kasus Jiwasraya, ekonomi digital yang mengalami koreksi valuasi, dan terjadinya gagal panen para petani.
Akan tetapi, melihat fakta-fakta yang terjadi belakangan ini, tampaknya pernyataan kedua sosok tersebut harus benar-benar direfleksikan, terutama bagi pemangku kebijakan di negeri ini.
Bagaimana tidak? Saat ini kurs dolar telah menembus Rp 16 ribu. Bahkan, di beberapa kesempatan, hampir mendekati Rp 17 ribu. Itu tentu merupakan indikasi kuat bahwa tengah terjadi persoalan ekonomi seperti yang disebutkan oleh Syahganda.
Kemudian, mengacu pada pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG), disebutkan bahwa puncak penyebaran Covid-19 akan terjadi pada bulan Mei atau menjelang Lebaran 2020. Dengan fakta bahwa mayoritas penduduk Indonesia akan melakukan ibadah puasa yang tentunya dapat menurunkan imunitas tubuh, serta akan terjadinya mudik lebaran, perhitungan BIN tersebut benar-benar memiliki alasan yang kuat.
Apalagi, juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, juga telah menyebutkan bahwa berdasarkan perhitungan statistik terkait potensi penularan Covid-19. Didapatkan ada sekitar 600 ribu hingga 700 ribu jiwa penduduk Indonesia yang termasuk dalam population at risk atau mereka yang berisiko terpapar virus tersebut.
Dengan demikian, katakankah akan terdapat 700 ribu pasien Covid-19 di Indonesia, bukankah itu benar-benar akan menguras keuangan negara? Pasalnya, dengan 1.046 kasus Covid-19 yang telah diidentifikasi saja, pemerintah disebut telah menggelontorkan dana sebesar Rp 158 triliun. Lantas, bagaimana jika jumlahnya menembus 700 ribu kasus?
Lebih getirnya lagi, Profesor matematika terapan di University of Essex, Susanto, bahkan memprediksi bahwa, jika lockdown (karantina wilayah) tidak diterapkan, maka setengah dari populasi Indonesia (137 juta jiwa) dapat terkena Covid-19.
Saat ini, diketahui pemerintah telah membuka rekening resmi untuk menampung donasi dunia usaha yang ingin membantu dalam kegiatan pencegahan dan/atau penanganan Covid-19. Atas hal tersebut, wartawan senior Hersubeno Arief bahkan menduga bahwa itu adalah pengakuan tidak langsung dari pemerintah bahwa sejatinya dana untuk penanggulangan pandemi Covid-19 tidak memadai.
Lantas, benarkah pemerintah Indonesia sejatinya tidak memiliki dana yang memadai dalam menanggulangi pandemi Covid-19?
Virus yang Mahal
Seperti yang disebutkan di awal tulisan, Covid-19 tampaknya layak dijuluki sebagai virus yang sangat mahal menimbang pada penanganan ataupun biaya untuk menanggulangi dampak yang diakibatkannya.
Bayangkan saja, pemerintah Thailand yang penduduknya berjumlah 69,04 juta jiwa diketahui telah menyetujui untuk mengeluarkan anggaran sebesar US$ 12,7 miliar atau sekitar Rp 201,7 triliun untuk memberikan stimulus ekonomi bagi mereka yang terdampak pandemi Covid-19.
Lalu, pada kasus Italia yang penduduknya berjumlah 60,48 juta jiwa diketahui telah menggelontorkan dana sebesar US$ 28,3 miliar atau sekitar Rp 449,5 triliun untuk penanganan Covid-19.
Lebih mengejutkan adalah Singapura yang kendati penduduknya hanya 5,617 juta jiwa bahkan telah dua kali mengeluarkan dana stimulus ekonomi yang totalnya mencapai 54,4 miliar dolar Singapura atau sekitar Rp 613 triliun.
Kemudian, terdapat pula Australia dan Korea Selatan yang juga telah menggelontorkan dana stimulus ekonomi yang masing-masing sebesar US$ 6,6 miliar (sekitar Rp 106,5 triliun) dan US$ 9,8 miliar (sekitar Rp 158,1 triliun).
Sementara, pemerintah Indonesia dalam klaimnya menyebutkan telah menggelontorkan dana sebesar Rp 158 triliun untuk menanggulangi pandemi Covid-19. Namun, di tengah pengeluaran fantastis tersebut, tampaknya pemerintah Indonesia harus merogoh kantongnya lebih dalam lagi.
Bagaimana tidak? Untuk menanggulangi dampak ekonomi yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, pemerintah akan memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada 89 juta jiwa.
Katakanlah BLT tersebut sebesar Rp 50 ribu perorang, maka pemerintah perlu menyiapkan dana sebesar Rp 4,45 triliun perbulannya. Konteksnya menjadi semakin rumit, menimbang pada pandemi-pandemi sebelumnya – seperti SARS pada 2003 – biasanya berlangsung selama satu tahun. Maka dari itu, pemerintah perlu menyiapkan anggaran sebesar Rp 53,5 triliun untuk jangka waktu satu tahun.
Itu baru dari BLT, belum menghitung insentif bagi tenaga medis yang akan diberikan pemerintah yang kisarannya dari Rp 5 juta sampai Rp 15 juta per bulan. Jika mengambil pada jumlah dokter di Jakarta dan mengambil nilai tengah insentif sebesar Rp 10 juta, maka dengan jumlah dokter di Jakarta yang sebanyak 14.441, pemerintah perlu menyiapkan dana sebesar Rp 144,4 miliar perbulannya atau Rp 1,732 triliun pertahun.
Itu pun belum menghitung stimulus ekonomi lainnya yang harus disiapkan pemerintah, ataupun jumlah dana yang belum diketahui jumlahnya untuk menangani pasien Covid-19 yang jumlahnya diperkirakan akan terus meningkat.
Leslie Albrecht dalam tulisannya di Market Watch, dengan mengacu pada biaya perawatan pneumonia – penyakit yang juga menyerang paru-paru seperti Covid-19 – pada 2018, ditemukan bahwa setiap pasien setidaknya memerlukan biaya perawatan sampai US$ 20 ribu atau sekitar Rp 323 juta. Artinya, katakanlah kasus Covid-19 di Indonesia akan mencapai 700 ribu seperti prediksi Achmad Yurianto maka untuk biaya perawatan saja akan memakan biaya sebesar Rp 226,1 triliun.
Lantas, dengan berbagai angka fantastis tersebut, menimbang dengan kondisi ekonomi Indonesia yang disebut tengah memburuk, seperti pernyataan wartawan senior Hersubeno Arief, mungkinkah langkah pemerintah yang membuka rekening resmi untuk donasi dana penanganan Covid-19 menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tengah mengalami kekurangan dana?
Kekurangan Dana?
Tom Mctague dalam tulisannya The Coronavirus is More Than Just a Health Crisis, menyebutkan bahwa kendala penanganan pandemi Covid-19 adalah tidak mungkinnya seluruh sumber daya dialokasikan menimbang pada adanya keterbatasan sumber daya dan adanya kebutuhan lainnya.
Artinya, dalam penanganan pandemi Covid-19, sangat tidak memungkinkan untuk melakukan strategi mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki, melainkan harus memiliki manajemen sumber daya, atau membuat skala prioritas.
Dengan kata lain, kendati Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mencapai Rp 2.540 triliun, tentunya itu tidak mungkin dialokasikan sebagian besar – apalagi seluruhnya – untuk penanganan pandemi Covid-19. Di luar persoalan Covid-19, pemerintah juga perlu mengalokasikan dana untuk sektor-sektor lainnya yang memang telah dianggarkan.
Hal tersebut juga telah diakui oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebutkan bahwa tidak mungkinnya seluruh dana penanganan Covid-19 diambil dari APBN.
Dengan demikian, sedikit tidaknya itu menguatkan dugaan wartawan senior Hersubeno Arief yang menyebutkan bahwa pembuatan rekening resmi untuk menampung dana donasi penanganan Covid-19 adalah bentuk pengakuan tidak langsung bahwa pemerintah mulai “keteteran” dalam menanggung biaya penanggulangan pandemi tersebut.
Merujuk pada Jack Smith dalam tulisannya Doublespeak: A Weapon Aimed at the Language, pernyataan pemerintah Indonesia yang kerap menampilkan diri optimis akan kesanggupan dalam mengatasi pandemi Covid-19, boleh jadi merupakan doublespeak yang disebut sebagai “eufemisme sederhana”, yakni pernyataan tersebut digunakan untuk melunakkan realitas yang sebenarnya.
Artinya, mengacu pada semakin bertambahnya biaya penanganan pandemi Covid-19, nampaknya pemerintah Indonesia memutuskan untuk menggunakan bahasa diplomatis dengan tidak berterus terang akan kekurangan dana yang dimiliki.
Pada sisi tertentu, tentunya putusan tersebut terbenarkan guna untuk menghindari kepanikan yang lebih besar di tengah masyarakat. Akan tetapi, pada sisi lainnya, bahasa diplomatis tersebut juga dapat dipahami sebagai justifikasi atas dugaan berbagai pihak selama ini yang menyebutkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia memang tengah memburuk.
Tidak hanya itu, wartawan senior Arief Gunawan bahkan menduga bahwa pernyataan Sri Mulyani yang menyebutkan pandemi Covid-19 dapat menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi nol persen adalah bentuk kamuflase untuk menutupi buruknya pondasi perekonomian.
Dengan demikian, jika benar dugaan Arief Gunawan, maka itu juga merupakan bentuk doublespeak eufemisme sederhana yang ditujukan untuk melunakkan kondisi ekonomi yang sebenarnya.
Di luar itu semuanya, tentunya diharapkan bahwa pemerintah dapat menanggulangi pandemi Covid-19 secepat dan seefisien mungkin. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.