Isu terkait resesi seks seolah mulai menghantui Indonesia. Itu disebut-sebut ditandai dengan adanya tingkat angka kelahiran yang menurun. Lantas, apakah Indonesia benar-benar akan mengalami resesi seks? Serta, apakah narasi childfree di Indonesia turut mendorong resesi seks?
Salah satu krisis yang menghantui berbagai negara maju yakni terkait resesi seks di mana anak muda enggan untuk melakukan hubungan seks, menikah maupun memiliki anak sehingga menyebabkan penurunan angka kelahiran.
Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Hardoyo menyatakan adanya fenomena zero growth alias nihil kelahiran baru di beberapa kota/kabupaten di Indonesia. Fenomena itu disebut-sebut diakibatkan oleh pergeseran gaya hidup.
Menurut Hasto, perempuan kini tidak ingin lagi memiliki anak dan lebih memilih fokus pada kesejahteraan dan kualitas hubungan dengan suami. Para perempuan bahkan merasa tidak apa-apa jika harus menikah tua asalkan terayomi oleh suami.
Angka penurunan kelahiran baru yang disinggung oleh Hasto yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) di mana angka kelahiran yang semula sejumlah rata-rata 2,2 turun menjadi 1,9. Artinya, rata-rata perempuan di DIY melahirkan kurang dari dua anak.
Penurunan angka kelahiran dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut psikolog Indah Sundari Jayanti, faktor pemicu penurunan angka kelahiran dan potensi resesi seks antara lain akibat kencangnya tuntutan dan stigma pada perempuan untuk menjadi seseorang yang ideal sesuai dengan standar sosial yang berlaku di lingkungan masyarakat.
Menurutnya, kemungkinan para perempuan telah lama merasa enggan untuk menikah dan mempunyai keturunan, namun baru tervalidasi sekarang akibat munculnya pengakuan banyak orang untuk melakukan hal yang serupa. Hal itu membuat mereka tidak ragu untuk mengikuti keinginannya.
Terlebih, saat ini masyarakat dihadapkan dengan berbagai tuntutan dan tantangan yang semakin besar sehingga dapat berdampak pada kesiapan perempuan untuk menikah, menjadi ibu, dan mengurus anak.
Dia juga berpendapat banyak perempuan yang memutuskan hanya memiliki anak satu lantaran mereka sudah paham mengenai kondisi di masa mendatang yang akan sangat menantang.
Lantas, mengapa isu resesi seks muncul di Indonesia? Serta, bagaimana stigma yang berlaku di masyarakat mampu mempengaruhi munculnya perasaan enggan untuk memiliki anak?
“Demam” Childfree?
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh World Bank, angka kelahiran di Indonesia terus menurun. Pada tahun 2019 angka kelahiran kasar per 1000 penduduk berada pada angka 17,75.
Adapun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan hal serupa. Laju pertumbuhan penduduk semakin menurun terlihat dalam periode 2010-2020. Pada periode 2000-2010 angka semula menunjukkan 1,49 persen, kemudian pada periode selanjutnya menurun hingga menjadi 1,25 persen.
Penurunan laju pertumbuhan penduduk tidak terlepas dari fenomena childfree. Artikel dengan judul Tren Childfree Pasangan Muda, Bisakah Diterapkan di Indonesia? yang ditulis oleh Nailin In Saroh mengungkapkan beberapa faktor mengapa pasangan memilih untuk tidak memiliki anak berdasarkan sebuah wawancara terhadap 14-16 orang yang dilakukan penulis buku Childfree & Happy, Victoria Tunggono.
Berdasarkan wawancara tersebut, dia menyimpulkan bahwa terdapat lima alasan utama pasangan memutuskan childfree antara lain isu fisik (penyakit turunan), psikologis (kesiapan atau masalah mental), ekonomi, lingkungan hidup (dunia sudah terlalu padat), dan alasan personal.
Pada intinya, dari keseluruhan faktor tersebut, jika seseorang ingin menjadi orang tua, maka mereka tidak hanya siap dalam hal materi dan fisik saja, melainkan pula perlu siap dari segi mental untuk melayani anaknya kelak.
Selain itu, keputusan childfree harus disetujui oleh kedua belah pihak. Dia juga mengatakan bahwa childfree seringkali menjadi keputusan bagi pasangan yang merasa lemah, baik dari segi fisik, dalam hal mengurus serta membesarkan anak.
Selain itu, faktor yang agaknya menarik untuk menjadi bahasan lebih lanjut yakni berkaitan dengan dengan faktor ekonomi dan fisik. Kedua faktor tersebut bisa jadi merupakan “buah” dari fenomena beban ganda pada salah satu gender belaka. Mengapa demikian?
Beban Ganda Perempuan?
Beban ganda alias double burden merupakan suatu kondisi dimana beban pekerjaan yang dipikul salah satu jenis kelamin mengalami ketimpangan lebih besar dibandingkan jenis kelamin lainnya.
Seiring berkembangnya penerimaan narasi feminisme — tanpa menampik pengaruh positif dari segi kesetaraan — adapun salah satu fenomena yang perlu menjadi perhatian bagi kesejahteraan perempuan.
Kesetaraan dari segi kesempatan kerja dan bagaimana kebutuhan perempuan diterima oleh perusahaan dan masyarakat, kesejahteraan merupakan satu tujuan yang perlu menjadi fokus utama.
Ketika perempuan dapat dengan leluasa mendapat kesetaraan dari segi lapangan kerja, mereka juga perlu memastikan adanya peran yang seimbang dengan pasangannya.
Menurut suatu publikasi berjudul Beban Ganda Perempuan Bekerja (Antara Domestik dan Publik) yang ditulis oleh Nurul Hidayati, beban ganda dapat meliputi pekerjaan domestik seperti mencuci, memasak, mengasuh anak dan sebagainya; sedangkan pekerjaan publik meliputi pekerjaan mencari nafkah.
Menurutnya, beban ganda dapat dianggap sebagai salah satu bentuk ketidaksetaraan gender dimana perempuan yang bekerja seringkali menjadi korban. Faktor yang mempengaruhi lahirnya fenomena beban ganda terhadap perempuan yakni budaya patriarki dalam konteks pemahaman keagamaan.
Perempuan seringkali dianggap lalai jika tidak mampu bertanggung jawab pada wilayah domestik sehingga dijustifikasi melanggar perintah agama dari perspektif Islam.
Pada akhirnya, anggapan perempuan harus bisa mengurus pekerjaan domestik terus menyeruak di ranah publik hingga menimbulkan melahirkan masalah sosiokultural.
Ketidaksetaraan gender akan berhubungan dengan kemampuan pasangan untuk memiliki anak. Oleh karenanya, jika seseorang mampu secara finansial dianggap telah mapan, belum tentu mental dan kesiapan fisik mendukung untuk mengurus anak sehingga kesejahteraan tidak dapat dipandang dari salah satu aspek ekonomi belaka.
Pada titik ini, Indonesia tampaknya terjebak dengan budaya patriarki yang masih dipegang oleh sebagian besar masyarakat. Lantas, akankah Indonesia akan mengalami resesi seks?
Kebal Resesi Seks?
Meskipun masih ditemukan berbagai tindakan patriarki di masyarakat, hal itu tampaknya tidak akan mendorong Indonesia ke dalam jurang resesi seks di masa yang akan datang.
Jika laju pertumbuhan penduduk di Indonesia dikomparasikan dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Korea Selatan (Korsel), tampaknya angka pertumbuhan penduduk yang kian menurun di atas masih terbilang tinggi ketimbang ketiga negara tersebut.
Pada tahun 2021 angka kelahiran di Jepang bahkan hanya sebesar 3,5 persen. Angkat itu merupakan angka terendah sejak 123 tahun sehingga pemerintah mendorong masyarakat untuk memilki anak melalui program Jidö Teate alias tunjangan anak yang dibagikan berdasarkan umur dan jumlah anak.
Jerman juga merupakan salah satu negara yang menyediakan tunjangan serupa yang disebut dengan program child benefit. Kebijakan itu dipengaruhi oleh tingkat rata-rata fertilitas perempuan di Jerman yang hanya sebesar 1,58 per orang serta angka rata-rata menunjukkan perempuan Jerman melahirkan anak pertama di usia 30 tahun.
Adapun, pada tahun 2021 jumlah rata-rata anak yang lahir di Korsel selama tahun-tahun reproduksi menurun menjadi 0,81. Para ahli bahkan memprediksi adanya penurunan angka kelahiran di tahun berikutnya akibat tingginya biaya untuk merawat anak serta kenaikan biaya properti. Pemerintah Korsel kemudian memberlakukan program tunjangan anak agar warganya mau memiliki anak.
Berdasarkan komparasi kondisi serta angka penurunan penduduk di ketiga negara tersebut, angka pertumbuhan penduduk Indonesia tampaknya dapat dikatakan masih tinggi.
Isu resesi seks dan adanya tren childfree belum cukup kuat jika dikorelasikan dengan faktor budaya masyarakat Indonesia yang mewajibkan seseorang untuk menikah dan memiliki keturunan.
Isu childfree itu sendiri mungkin hanya berdampak jika hanya berfokus pada ranah perempuan karir. Jika suatu pasangan memutuskan childfree, keputusan tersebut bahkan masih memiliki kemungkinan besar dinilai dengan stigma negatif terutama dari lingkungan keluarga.
Budaya Indonesia dinilai kental dengan budaya ketimuran sehingga niat pernikahan dituju untuk mendapatkan keturunan. Tak heran, pada konteks yang sangat dekat dengan keseharian pun pertanyaan menikah dan punya anak masih seringkali menjadi buah bibir di masyarakat.
Dengan demikian, meskipun terdapat tren penurunan jumlah penduduk, Indonesia tidak akan mengalami resesi seks jika dilihat dari faktor masalah sosiokultural dan komparasinya terhadap angka pertumbuhan penduduk dengan negara-negara maju seperti Jepang, Jerman, dan Korsel. (Z81)