Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia?
PinterPolitik.com
Konflik di Semenanjung Korea antara Korea Utara (Korut) dengan negara-negara tetangganya, Korea Selatan (Korsel) dan Jepang—juga dengan Amerika Serikat (AS)—nampaknya akan segera menemui titik akhir. Asumsi ini mulai muncul setelah pimpinan Korut Kim Jong-un mengadakan pertemuan dengan perwakilan pemerintah Korsel di Pyongyang, 5 Maret lalu.
Pertemuan tersebut menjadi titik balik dari memuncaknya ketegangan di Semenanjung Korea, pasca perang mulut dan ancaman serangan nuklir yang terus menerus dilontarkan oleh Kim Jong-un dan Presiden AS Donald Trump. Ini adalah kali pertama dalam sejarah, Kim Jong-un bertatap muka dalam satu pertemuan dengan pejabat-pejabat Korsel.
Dalam pertemuan itu, ada banyak capaian positif yang diraih. Selain Kim Jong-un berkomitmen melakukan denuklirisasi, pertemuan pemimpin tertinggi Korut ini dengan Trump dan pertemuan Inter-Korean Summit 2018 juga akan dilaksanakan pada bulan April mendatang.
Indonesia sebagai negara yang punya relasi baik dengan Korut dan Korsel sesungguhnya punya potensi untuk menjadi jembatan konflik kedua negara. Akan tetapi, Indonesia tidak terlihat menjadi aktor yang penting sepanjang konflik berlangsung sampai dengan pertemuan tersebut terjadi.
Barulah, pasca pertemuan tersebut, Indonesia menyatakan dukungan terbuka. Pihak Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa Indonesia mendorong adanya pertemuan langsung antara Kim Jong-un dengan Presiden Korsel Moon Jae-in, justru setelah pertemuan itu memang sudah direncanakan.
Sikap Indonesia ini terlihat ibarat pahlawan kesiangan. Tapi sesungguhnya, Indonesia punya modal dan potensi untuk berperan dan mengambil keuntungan dari perdamaian di Semenanjung Korea.
Korea Utara, Sahabat ‘Ideologis’ Indonesia
Kala Korut menjadi negara yang terkucilkan di dunia, Indonesia adalah salah satu yang paling dekat dengan negara tersebut, bahkan hingga saat ini. Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan Korut sepanjang krisis di tahun 2017.
Bahkan, menurut polling BBC pada 2013, sekitar 42 persen masyarakat Indonesia memiliki persepsi positif berbanding 22 persen yang memiliki persepsi negatif tentang Korut. Indonesia berada di peringkat kedua setelah Ghana sebagai negara yang memiliki persepsi positif kepada Korut.
Kedekatan keduanya dapat dikatakan dimulai dengan sangat ‘ideologis’. Sejak setelah Presiden Soekarno meninggalkan posisi netral pada Perang Dingin lalu merapat ke Blok Timur, saat itu juga Indonesia mulai membangun kedekatan dengan Korut, di akhir dekade 1950an.
Pada tahun 1957, Indonesia dan Korut, melalui perantara Tiongkok dan Uni Soviet, menandatangani kerja sama perdagangan yang cukup besar. Perjanjian tersebut mengikat Indonesia dan Korut dalam ekspor-impor gula, kaca, semen, karet, teh, dan sutra. Keduanya lalu membentuk hubungan perdagangan pada tahun 1961, sehingga mandiri bertransaksi tanpa perantara Tiongkok dan Uni Soviet.
Kedua negara bahkan semakin dekat, setelah terjadi perpecahan antara Tiongkok dan Uni Soviet, pada tahun 1969. Indonesia dan Korut ikut dalam gerbong anti-imperialis Tiongkok, dan serta merta semakin mendekat dalam kerja sama ekonomi. Bahkan ‘jalur sutra’ Beijing-Pyongyang-Phnom Penh-Hanoi-Jakarta terbentuk dan menjadi poros penting pada era Perang Dingin.
Selanjutnya, poros tersebut terus menguat dengan masuknya ancaman-ancaman imperialis ke Asia Timur dan Asia Tenggara, antara lain menyusul permasalahan Indonesia dengan Malaysia, juga perang Vietnam Utara dengan Vietnam Selatan.
Menurut Andrei Lankov dalam bukunya Crisis in North Korea: The Failure of De-Stalinization Presiden Soekarno juga memiliki kekaguman tersendiri kepada Presiden Kim Il-Sung. Soekarno mengagumi cara Korut melipatgandakan Produk Domestik Bruto (PDB) mereka dalam 5 tahun (1955-1960), dan menyebut Kim sebagai pemimpin yang handal.
Sempat hilang 32 tahun selama Orde Baru, hubungan baik dengan Korea Utara baru direstorasi pada era reformasi, khususnya saat Presiden Megawati Soekarnoputri menjabat. Selama masa pemerintahan Megawati yang tergolong singkat, setidaknya sampai dua kali kedua negara melakukan pertemuan bilateral yang konstruktif.
Dapat dikatakan, bahwa hubungan Megawati dengan Korut berjalan natural—mungkin karena kedekatan ideologis dan sejarah kedekatan ayahnya dengan Korut. Hal ini terlihat dari wacana ditunjuknya Megawati sebagai utusan dalam upaya pemerintahan Jokowi untuk berperan dalam konflik Semenanjung Korea tahun 2017.
Pun begitu, hubungan dengan Korut sepertinya memang membaik sepanjang era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Pada era SBY yang sangat dekat dengan AS, Indonesia bahkan mampu memperkuat hubungan dagang dan diplomasi dengan Korut.
Apa yang ditanam oleh Soekarno sejak tahun 1960 nyatanya terus berbuah manis untuk hubungan Indonesia dan Korut. Persepsi positif turun temurun, bahkan sampai ke level masyarakat, adalah buktinya.
Bahkan, secara geopolitik Korut pun dinilai masih punya persepsi positif terhadap Indonesia dan juga Vietnam. Baik Vietnam maupun Indonesia dinilai sebagai negara dengan politik terkuat di ASEAN dan mampu menjadi partner Korut yang setia.
Membaca Potensi Indonesia di Semenanjung Korea
Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang punya hubungan diplomatik paling konsisten dengan Korut sepanjang sejarah. Mengapa demikian? Kedua negara tidak pernah punya disrupsi dalam hubungan, dan Indonesia selalu menjadi partner ekonomi strategis Korut.
Hal ini sangat berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya. Laos dan Kamboja misalnya, walaupun menjadi sekutu Korut yang setia, namun keduanya adalah negara dengan perkonomian yang lemah, bahkan mungkin satu level dengan perkonomian Korut. Myanmar juga punya hubungan baik sejak merdeka, namun semakin menurun karena ikutnya Myanmar di Blok Barat pada Perang Dingin, dan kasus pembunuhan Presiden Myanmar tahun 1983, yang dituduhkan kepada Korut.
Malaysia bahkan baru bertukar kedutaan dengan Korut pada tahun 2003, dan malah baru melakukan larangan penerbangan ke Pyongyang pada Oktober 2017 sebagai akibat dari tuduhan pembunuhan Kim Jong-Nam kepada seorang warga negeri Jiran tersebut. Sementara Singapura dan Thailand, bahkan baru saja memutuskan hubungan dagang dengan Korut pada November 2017, sebagai sanksi dari ancaman nuklir yang dilakukan Korut.
Praktis, memang hanya Indonesia dan Vietnam yang punya hubungan stabil dengan Korut dan dapat menjadi sekutu ekonomi andalan mereka, sejak mereka bersama dalam satu poros ‘jalur sutra’ Tiongkok di era Perang Dingin.
Dan tidak diragukan lagi, sampai saat ini Tiongkok adalah ‘ibu’ dari Korut dengan bantuannya yang masif, baik secara politik (dukungan diplomasi dan senjata) maupun ekonomi (peran ekspor lebih dari 90 persen gas alam dan minyak kepada Korut).
Hari ini, Indonesia juga punya kesempatan lebih baik untuk merapat dan mendamaikan Korut dan Korsel. Kedekatan ekonomi dengan Tiongkok di era Jokowi tentu dapat semakin merekatkan Jakarta dan Pyongyang.
Lebih jauh lagi, Indonesia pun punya kedekatan yang lebih konsisten secara ekonomi dengan Korsel dan Jepang, dua negara paling sering bersitegang dengan Korut. Dengan Korsel, Indonesia punya kerja sama ekonomi mencapai 1,9 miliar USD, dengan sektor transportasi yang terbesar. Sementara dengan Jepang, kedekatan ekonomi jelas terlihat dengan terbentuknya Indonesia-Japan Partnership Agreement (IJEPA) yang mengikat kerja sama kedua negara sejak tahun 2007.
Maka, setidaknya Indonesia punya tiga modal utama untuk turut berperan di Semenanjung Korea, yakni modal hubungan ekonomi dengan Korsel yang tinggi, perdagangan dengan Tiongkok yang tinggi—terutama karena kedekatan Tiongkok dan Korut—serta modal kepercayaan dari Korut yang tinggi terhadap Indonesia.
Bila Indonesia sukses menjadi mediator dalam konflik ini, apalagi sukses membantu reunifikasi kedua negara (walaupun hal ini diprediksi sulit), maka akan menjadi kapital politik penting bagi Indonesia di kancah global, khususnya menyambut ambisi Indonesia untuk menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Misi ini sejalan dengan yang dilakukan Menlu Retno Marsudi di Myanmar dan yang dilakukan Presiden Jokowi di Afghanistan, beberapa waktu terakhir. (Baca juga: Ambisi DK PBB, Realistiskah Jokowi?)
Pertanyaannya adalah apakah Indonesia datang tepat waktu? Atau terlambat?
Apakah politik luar negeri ‘bebas-reaktif’ masih jadi andalan Jokowi? (R17)