Dengarkan artikel berikut:
Sejumlah pihak berpandangan bahwa Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto akan lebih proteksionis. Seberapa besar kemungkinannya kecurigaan itu terjadi?
Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden Indonesia pada 20 Oktober silam. Bersamaan dengan itu, beragam ekspektasi besar menyertai kepemimpinan Prabowo dalam 5 tahun ke depan, mulai dari harapan realisasi program makan siang bergizi gratis, pemeriksaan kesehatan gratis, hingga pertumbuhan ekonomi delapan persen.
Namun, dari sejumlah ekspektasi-ekspektasi tersebut, ada satu harapan yang mungkin paling menonjol dibanding yang lainnya, harapan itu adalah keinginan agar Prabowo bisa membawa Indonesia kembali menjadi pemain yang diperhitungkan dan tidak bisa diremehkan dalam politik internasional.
Ya, sejak pertama kali mencalonkan diri sebagai calon presiden (capres) pada tahun 2014, Prabowo memang selalu membawa narasi internasionalnya. Karena itu pula, sejumlah pengamat politik, contohnya seperti Joshua Kurlantzick, memprediksi bahwa Indonesia di bawah Prabowo akan memiliki kebijakan luar negeri yang mungkin berbeda 180 derajat dari era Joko Widodo (Jokowi), yaitu menjadi lebih asertif.
Menariknya, asumsi tersebut tampaknya mulai menunjukkan kebenarannya setelah Menteri Perindustrian (Menperin) Agus Gumiwang Kartasasmita -setelah berdiskusi dengan Prabowo- menyampaikan bahwa ia akan merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024, dan mengembalikannya ke Permendag nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Hal ini dilakukan dengan harapan agar bisa melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk impor.
Berita semacam ini layak menjadi petunjuk akan kebenaran berubahnya orientasi ekonomi dan politik luar negeri Indonesia ke arah yang lebih asertif. Kira-kira seberapa mungkin hal ini terjadi dan apa yang bisa dianggap jadi petunjuk terkuatnya?
Bukan America First, tapi Indonesia First?
Satu hal menarik yang bisa kita jadikan petunjuk akan “kiblat” kebijakan politik luar negeri Prabowo adalah dengan diundangnya profesor politik University of Chicago, John Mearsheimer, ke acara pembekalan calon menteri pada 16-17 Oktober lalu. Mengapa bisa jadi petunjuk? Well, kita lihat saja latar belakang Mearsheimer.
Mearsheimer dikenal luas dengan pandangan realisnya dalam hubungan internasional, yang berfokus pada persaingan kekuasaan antarnegara dan pentingnya mempertahankan kekuatan nasional. Pandangan tersebut paling dikenal melalui buku yang pernah dibuat oleh Mearsheimer berjudul The Tragedy of Great Power Politics.
Melalui bukunya ini Mearsheimer pun kemudian dianggap sebagai pelopor teori yang disebut “realisme ofensif”. Teori ini menggarisbawahi bahwa negara-negara harus fokus pada kepentingan nasional mereka sendiri dan memperkuat kekuatan militer dan ekonominya untuk bertahan hidup di lingkungan internasional yang penuh persaingan.
Prinsip dasar ini memiliki kemiripan dengan kebijakan “America First” yang dipopulerkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump selama masa kepresidenannya. Trump secara eksplisit menempatkan kepentingan Amerika Serikat di atas segala prioritas lainnya, baik dalam perdagangan, aliansi strategis, maupun keamanan. Ia tidak segan untuk menekan negara lain, termasuk sekutu tradisional Amerika, untuk mencapai keuntungan maksimal bagi Amerika Serikat.
Karena itu pula, di kalangan studi hubungan internasional, Trump kerap dianggap sebagai Presiden AS yang paling menjalankan apa yang diinginkan Mearsheimer. Terkecuali di sektor lobi-lobi Yahudi Israel –yang dikritik Mearsheimer- yang justru semakin kuat di era kepemimpinan Trump.
Maka dari itu , dengan mengundang Mearsheimer sebagai pembicara dalam acara pembekalan calon menteri, ini menunjukkan bahwa Prabowo mungkin terinspirasi oleh cara pandang politik tersebut. Jika kita melihat isi ceramah-ceramah Mearsheimer, kita akan menemukan seruan agar negara mengutamakan kepentingan nasional dan meminimalkan ketergantungan pada negara lain, gagasan yang bisa dianggap mudah diterima oleh seorang Prabowo sendiri.
Dengan demikian, jika Prabowo memang berniat menerapkan doktrin politik luar negeri yang demikian, bisa jadi Indonesia di era Prabowo sejujurnya mengemban prinsip “Indonesia First,” di mana kebijakan luar negeri Indonesia mungkin lebih diarahkan untuk memastikan bahwa setiap perjanjian atau kerjasama internasional harus memberikan manfaat nyata bagi Indonesia.
Menarik kemudian untuk kita lempar dengan pertanyaan lanjutan, kira-kira Indonesia akan seperti apa jika Prabowo benar-benar mengikuti doktrin Mearsheimer?
Bagus, Tapi Perlu Hati-hati?
Jika Prabowo benar-benar mengadopsi pendekatan ini, kita dapat melihat beberapa implikasi praktis. Pertama, dalam hubungan perdagangan internasional, kebijakan Prabowo mungkin akan lebih proteksionis, seperti halnya Trump yang berulang kali menegosiasikan ulang perjanjian perdagangan dengan dalih ketidakadilan bagi Amerika Serikat.
Indonesia mungkin akan lebih selektif dalam menjalin kerjasama perdagangan, terutama jika perjanjian tersebut dinilai tidak menguntungkan dalam jangka panjang. Prabowo juga kemungkinan akan lebih mendukung ide-ide proteksionisme terhadap komoditas-komoditas yang dikira akan jadi unsur vital dalam pengembangan Indonesia.
Kedua, dalam konteks politik keamanan, Prabowo mungkin akan menekankan pembangunan kekuatan militer dan pertahanan nasional yang lebih kuat. Hal ini bisa dianggap sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan pada kekuatan luar dan memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama di kawasan Asia Tenggara.
Ketiga, Prabowo bisa saja akan mengambil jalur-jalur diplomasi yang mungkin akan dianggap tidak konvensional jika dibandingan dengan eranya Jokowi. Sebagai contoh, bisa saja Prabowo mempertimbangkan memperkuat hubungan dengan kelompok ekonomi internasional, BRICS, dengan tujuan untuk mengurangin ketergantungan ekonomi secara bilateral.
Namun, seperti kebijakan “America First” Trump yang menuai kritik karena dianggap melemahkan peran global AS, kebijakan “Indonesia First” Prabowo juga bisa menghadapi tantangan. Dalam era globalisasi yang saling terhubung, mengutamakan kepentingan nasional secara eksklusif dapat menyebabkan isolasi diplomatik dan mempersulit Indonesia untuk berperan dalam isu-isu global seperti perubahan iklim dan stabilitas regional. Terlebih lagi bila situasi politik internasional semakin terpolarisasi.
Dengan latar belakang ini, kita setidaknya dapat sedikit pahami bahwa pendekatan Prabowo yang berpotensi sejalan dengan Trump merupakan strategi yang logis bagi seorang pemimpin yang ingin menampilkan citra tegas dan berdaulat. Meskipun pendekatan “Indonesia First” bisa menghadirkan berbagai tantangan dalam hubungan internasional, ia juga menawarkan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat kemandirian dan mengoptimalkan keuntungan dari setiap interaksi dengan dunia luar.
Jika ini benar-benar menjadi landasan kebijakan Prabowo, kita mungkin akan melihat perubahan signifikan dalam cara Indonesia berinteraksi dengan komunitas internasional. Akan tetapi, pada akhirnya perlu diingat bahwa ini hanyalah asumsi belaka, tentunya, kita hanya perlu menunggu waktu untuk membuktikannya. Menarik untuk kita simak lebih lanjut. (D74)