“Who controls the food supply controls the people; who controls the energy can control whole continents; who controls money can control the world”, Henry Kissinger, mantan Menteri Luar Negeri AS
PinterPolitik.com
[dropcap]M[/dropcap]enko Perekonomian, Darmin Nasution, beberapa waktu yang lalu mengakui bahwa impor pangan yang dilakukan pemerintah pada tahun ini memang cukup tinggi.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sejumlah impor pangan memang mengalami kenaikan, antara lain komoditas beras yang naik signifikan dibandingkan tahun sebelumnya dari 198.560 ton menjadi 2,01 juta ton.
Tidak hanya beras, beberapa komoditas pangan seperti daging sapi, gula, garam, mentega, bahkan tepung terigu juga mengalami kenaikan.
Impor daging lembu mencapai 140.268 ton, naik 17,81% sepanjang Januari-September 2018 dibandingkan dari tahun sebelumnya yang mencapai 119.061 ton. Sementara kenaikan impor gula tebu juga terjadi sebesar 9,7% atau dari 3,08 juta ton menjadi 3,38 juta ton.
Impor garam juga naik 22,34% atau dari 1,79 juta ton menjadi 2,19 juta ton. Sedangkan, impor mentega naik dari 15.501 ton menjadi 17.244 ton dan impor tepung terigu naik sekitar 30% dari 36.157 ton menjadi 47.350 ton.
Walaupun impor, Darmin mengklaim bahwa ketahanan pangan Indonesia mengalami peningkatan cukup signifikan. Pada 2014, indeks ketahanan pangan Indonesia berada di posisi 72 dan pada 2017 naik ke posisi 65 dari 113 negara.
Meskipun ketahanan pangan mengalami peningkatan, namun apakah peningkatan impor merupakan tren yang positif? Bukankah meningkatnya impor pangan menunjukkan ketergantungan Indonesia pada hasil pangan negara lain?
Penjajahan Pangan
Dalam sistem internasional, ekspor impor merupakan salah satu aktivitas perdagangan yang kini wajib dilakukan sebuah negara. Namun celakanya, sistem dunia telah membentuk relasi ketergantungan suplai pangan yang di kuasai oleh negara-negara maju.
Skrng saatnya panen kok impor ? Unt apa? Ka Bulog yg mengurusi stok pangan bilang tdk perlu impor karena cadangan beras cukup sampai Juni 2019. Indonesia negara agraris. Kita makan nasi dari petani-petani kita. Mereka tulang punggung pangan kita. Kok tetep mau impor ! Ada apa ??
— Gatot Nurmantyo (@Nurmantyo_Gatot) September 24, 2018
Philip McMichael dalam jurnalnya A food regime genealogy menjelaskan bahwa ketergantungan impor pangan yang saat ini yang menjadi ciri khas hubungan dagang antar negara lahir dari konstruksi sejarah yang cukup panjang.
Dimulai dari era 1870–1930 yang disebut sebagai periode first food regime, aktivitas impor bermula dari perpindahan hasil pertanian tropis seperti biji-bijian dan rempah-rempah dari negara jajahan menuju negara-negara koloni di benua Eropa. Dengan model kolonialisasi yang dilakukan bangsa Eropa akhirnya mampu merubah sistem suplai pangan dan sumber daya ekologi negara jajahan.
Dari preseden historis tersebut pada akhirnya berkontribusi terhadap pendirian sektor pertanian nasional di negara-negara yang baru muncul saat itu terutama Amerika Serikat, Kanada, dan Australia dan menjadikan industri pangan sebagai jantung industri nasional.
Memasuki era second food regime di tahun 1950 hingga 70an, pola hegemoni pangan coba di jalankan kembali oleh Amerika Serikat ke negara-negara bekas jajahan atau negara-negara dunia ketiga pada saat perang dingin.
Pada periode tersebut, terbentuk hubungan transnasional antara sektor pertanian nasional dan rantai pasokan makanan global. Sebagai bagian dari strategi ‘proyek pembangunan ‘di negara-negara dunia ketiga, di samping universalisasi model pembangunan ekonomi ‘nasional’, pada saat yang sama terbentuklah rezim internasional baru dalam sektor pertanian.
Hingga di awal tahun 1990-an, terbentuklah organisasi perdagangan dunia atau WTO yang dianggap sebagai keberhasilan negara-negara maju dalam membentuk pola hegemoni melalui rezim dan memiliki kuasa untuk mengatur relasi perdagangan pangan antar negara.
Bisa dibilang, dalam setiap periode perkembangan rezim pangan, terjadi proses pembingkaian ulang tentang pentingnya hegemoni negara-negara maju di bidang pertanian dan pangan sebagai strategi politik pembangunan.
Dalam pengertian ini, konsep rezim pangan menawarkan lensa perbandingan historis pada hubungan politik dan ekologi kapitalisme modern di mana terdapat relasi-relasi ketergantungan pangan yang diciptakan dan sebenarnya lahir dari semangat kolonialisme dan imperialisme.
Pada awal tahun 1970-an, Amerika Serikat contohnya, sebagai salah satu pemain besar dalam konteks hegemoni pangan, menempatkan makanan sebagai jantung kebijakan luar negerinya.
Hal ini tidak terlepas dari adanya krisis pangan yang kerap kali melanda negara-negara berkembang. Sebagai supplier utama bahan makanan bagi negara-negara berkembang, posisi tersebut yang kemudian membentuk relasi ketergantungan dunia pada hasil panen AS. Sehingga pembuat kebijakan AS akhirnya meluncurkan inisiatif baru “kekuatan makanan” ke dalam kebijakan luar negeri nya.
Di sisi lain, makanan juga telah menjadi senjata politik penting bagi AS untuk menghadapi tantangan yang terus berkembang dari negara-negara dunia ketiga. Hal ini sangat terlihat dari kebijakan AS yang cenderung sering melakukan counter attack upaya hegemoni produsen bahan-bahan pangan di negara-negara berkembang.
Dalam konteks Indonesia misalnya, AS melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menjatuhkan sanksi kepada Indonesia sebesar US$ 350 juta (setara Rp 5 triliun) pada 6 Agustus 2018.
Rizal Ramli juga berharap pemerintah bisa menciptakan iklim bisnis yang menguntungkan para petani
“Namun sistem yang ada justru membuat kita cukup bergantung pada impor, padahal kekuatan pangan kita sesungguhnya cukup kuat" @RamliRizal https://t.co/RcBf1t6BRK
— Dian Yuniarti (@dianyounee) October 18, 2018
Permintaan itu terkait pembatasan kuota impor produk hortikultura dan peternakan yang diberlakukan oleh pemerintah Indonesia. Padahal, produk-produk tersebut merupakan andalan ekspor Amerika ke Indonesia.
Lewat gugatan itu, AS mendesak Indonesia untuk melonggarkan kebijakan impornya agar produk ekspor dari Negeri Paman Sam bisa masuk ke Indonesia.
Desakan itu muncul di tengah upaya pemerintah RI yang tengah mengejar swasembada pangan dan melepaskan ketergantungan dari impor produk asing.
Melihat tekanan kepada Indonesia tersebut, mungkinkah impor pangan semakin menunjukkan bahwa Indonesia tak bisa lepas dari cengkeraman penjajahan pangan?
Impor Pangan, Sebuah Paradoks Kedaulatan
Dalam konteks Indonesia, ketahanan pangan masih sangat ditentukan oleh produsen-produsen luar negeri. Misalnya terkait pasokan gula, menurut data BPS impor gula tebu Indonesia terbesar berasal dari Thailand yang mencapai 2,34 juta ton dengan nilai US$ 1,1 miliar. Impor ini bernilai lebih dari separuh total impor.
Sementara importir gula tebu terbesar kedua adalah Brasil, dan terbesar ketiga adalah Australia dengan dengan nilai US$ 293,1 juta.
Sedangkan pasokan daging, Australia merupakan pemasok terbesar bagi Indonesia. Data BPS menunjukkan impor daging sapi dari Negeri Kanguru tersebut mencapai 85 ribu ton atau sekitar 53% dari total impor seberat 160.197 ton. Dan nilai impor daging sapi dari Australia mencapai US$ 296,3 juta setara Rp 4 triliun.
Garam pun juga menempatkan Australia sebagai importir utama dengan total pasokan sebanyak 2,3 juta ton atau 89,97%. Selain itu, negara tetangga ini juga menjadi pemasok terbesar gandum ke Indonesia. Berdasarkan data BPS impor gandum dan meslin yang berasal dari Australia pada 2016 mencapai 3,5 juta ton atau sebesar 33% dari total kebutuhan impor.
Untuk urusan beras, Thailand dan Vietnam menjadi pemasok utama kebutuhan nasional. Selain kedua negara tersebut, negara Asia Selatan yaitu India dan Pakistan juga kerap mengekspor beras ke Indonesia.
Tentu nilai impor yang dilakukan Indonesia sangatlah besar dilihat dari nilai secara ekonomi maupun besaran pasokan. Jika skala kebutuhan impor tidak menyentuh angka hampir setengah kebutuhan nasional, tentu impor sah-sah saja dilakukan.
Namun kini setengah lebih kebutuhan bahan pangan nasional harus bergantung pada impor. Lalu apakah hal tersebut wajar?
Padahal, dalam konteks kebijakan pangan, menurut Parke Wilde dalam tulisanya Food Policy in the United States: An Introduction, kebijakan pangan akan selalu berdampak pada petani, pengolah makanan, pedagang besar, pengecer dan konsumen. Terlebih, tanaman komoditas, seperti jagung, beras, gandum, dan kedelai paling sering menjadi jantung pembuatan kebijakan pertanian .
Dalam kasus Indonesia, jika melihat laporan dugaan korupsi impor pangan yang dilakukan Rizal Ramli misalnya terkait impor gula dan beras, besarnya nilai yang dihabiskan untuk impor justru berpotensi memperkaya petani di Thailand atau Vietnam dan tidak berdampak positif bagi petani lokal.
Menariknya, pernyataan tersebut terkesan memiliki pertalian jika merujuk pada pemain utama impor bahan pangan, yang didominasi oleh Vietnam, Thailand dan Australia. Fakta tersebut bahkan semakin menguatkan dugaan adanya permainan antara korporat dan pengambil kebijakan yang kini berpotensi menjerat sang pembuat kebijakan impor.
Jika tak ada pembenahan terhadap mekanisme kebijakan impor dan mengkaji ulang kebutuhan fundamental petani Indonesia, bukan tidak mungkin Indonesia akan terus terjajah oleh negara lain dan sulit untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. (M39)