HomeNalar PolitikIndonesia Darurat Kesehatan Mental?

Indonesia Darurat Kesehatan Mental?

Makin seringnya kasus hukum yang melibatkan faktor mental dan kejiwaan yang menjadi konsumsi pemberitaan, seharusnya menyadarkan semua lapisan masyarakat bahwa ada persoalan kesehatan mental dan kejiwaan yang perlu ditangani secara serius.


PinterPolitik.com

“A lot of people are living with mental illness around them. Either you love one or you are one.” –  Mark Ruffalo, aktor

[dropcap]D[/dropcap]i tengah euforia peringatan Hari Kesehatan Nasional yang jatuh pada tanggal 12 November 2017, ada cerita memilukan datang dari Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Seorang ibu tega menghabisi nyawa anaknya yang baru berusia 5 tahun secara sadis, yaitu dengan semprotan obat nyamuk hanya karena sang anak sering ngompol. Kejadian yang tidak lazim ini membuat banyak pihak menduga ibu tersebut mengalami gangguan kesehatan mental dan kejiwaan. 

Perbincangan tentang kesehatan mental pun mencuat kembali ke permukaan di tengah silang sengkarut kerugian yang diderita oleh BPJS – tentu bukan topik bahasan di tulisan ini. Yang jelas, peristiwa ini menunjukkan bahwa kejadian yang berhubungan dengan gangguan kesehatan mental dan kejiwaan semakin sering terjadi belakangan ini.

Adapun gangguan kesehatan mental punya lingkup yang luas, bukan hanya bagi mereka yang sering disebut sebagai ‘sakit jiwa’, tetapi juga terhadap mereka yang mengalami depresi, kecemasan, hingga ketergantungan pada alkohol dan obat-obatan tertentu.

Kita tentu ingat hebohnya aksi seorang wanita yang berbelanja tanpa busana di sebuah apotek beberapa waktu lalu dan sempat menjadi perbincangan hangat di media sosial. Belum lagi kasus-kasus bunuh diri atau bahkan fakta bahwa masih banyak Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang ditangani dengan cara dipasung. Mungkin tidak banyak yang tahu kisah tentang seorang pria ODGJ bernama Rusman di Mojokerto, Jawa Timur yang dipasung selama 25 tahun di tengah hutan. 

Secara global, saat ini Indonesia bahkan ada di urutan ke-4 dalam daftar negara-negara dengan tingkat depresi paling tinggi di dunia dan di urutan ke-6 dalam hal gangguan kesehatan mental dan kejiwaan secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam rangka peringatan Hari Kesehatan Nasional, perlu kiranya untuk mendalami seberapa parah persoalan kesehatan mental dan kejiwaan di Indonesia.

Fenomena yang Meningkat

Faktanya, berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 dan data rutin dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental terus mengalami peningkatan di Indonesia.

Menurut data tersebut, sekitar 14 juta orang (6 persen) yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan kesehatan mental emosional berupa gejala depresi dan kecemasan. Jumlah ini ada di kisaran 3 persen dari 450 juta penderita gangguan kesehatan mental di seluruh dunia berdasarkan data WHO.

Baca juga :  Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia di Indonesia juga jumlahnya mencapai 400.000 orang. Dari jumlah tersebut, 14,3 persen di antaranya atau 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Pada Maret 2016, pemerintah juga sempat mempublikasikan data bahwa ada sekitar 18.800 ODGJ yang masih dipasung di Indonesia. 

Indonesia Darurat Kesehatan Mental?

Hal yang memprihatinkan adalah jumlah penderita gangguan kesehatan mental di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Beberapa daerah yang mengalami hal tersebut misalnya Jakarta dan Yogyakarta. 

Di Jakarta, peningkatan jumlah penghuni panti-panti sosial yang dikelola oleh pemerintah daerah jumlahnya mencapai 174 persen di tahun 2017. Dari kapasitas panti yang hanya 1.700 orang, kini jumlah penghuninya sudah mencapai angka 3.000 orang.

Yang cukup memprihatinkan adalah 75 persen dari penderita gangguan kesehatan mental tersebut adalah para pendatang yang masuk ke ibukota. Artinya, jika masalah ekonomi dianggap sebagai salah satu penyebabnya, boleh jadi banyak pendatang yang tidak bisa bertahan dengan kerasnya persaingan dan persoalan ekonomi di ibukota, kemudian mengalami gangguan kesehatan mental dan akhirnya menjadi penghuni panti-panti sosial.

Indonesia Darurat Kesehatan Mental?

Lalu, apakah negara tidak memperhatikan persoalan ini? Faktanya, Indonesia sebenarnya telah memiliki Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. Undang-Undang ini menjadi cita-cita begitu banyak aktivis kesehatan mental yang berjuang siang malam demi perhatian negara yang lebih pada penderita gangguan kesehatan mental.

Namun, pelaksanaan Undang-Undang tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Buktinya hingga saat ini, persoalan gangguan kesehatan mental masih manjadi salah satu topik bahasan utama dan menjadi kritik terhadap pemerintah.

Bahkan, Human Rights Watch masih menyebut ‘pemasungan’ sebagai cara yang dipilih oleh orang-orang Indonesia untuk menghadapi orang dengan ganggun kesehatan mental dan jiwa. Di beberapa daerah di Indonesia bagian timur juga masih sering ditemukan orang yang dipasung bahkan hingga bertahun-tahun lamanya. 

Negara Tak Serius?

Wajar jika banyak pihak yang mempertanyakan pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan Jiwa. Faktanya, walaupun telah ada Undang-Undang yang mengatur, dikutip dari BBC Indonesia, saat ini hanya 30 persen dari 9.000 puskemas di seluruh Indonesia yang memiliki program layanan kesehatan jiwa. Selain itu, hanya ada 249 dari total 445 rumah sakit umum di Indonesia yang bisa melayani segala macam perawatan kesehatan jiwa. 

Artinya, dari sisi fasilitas pelayanan kesehatan mental dan jiwa masih sangat jauh dari yang diharapkan. Selain itu, tenaga kesehatan jiwa pun masih sangat minim. Saat ini hanya ada 600 hingga 800 psikiater di seluruh Indonesia. Artinya, seorang psikiater terlatih diharuskan menangani 300.000 sampai 400.000 orang. Itu pun sebaran geografisnya sangat timpang. Sebanyak 70 persen dari seluruh psikiater berada di Jawa dan 40 persen dari jumlah itu bekerja di Jakarta.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?
Indonesia Darurat Kesehatan Mental?
Selama 25 tahun Rusman dipasung di tengah hutan. Di Indonesia praktik pemasungan terhadap penderita gangguan kesehatan mental masih kerap terjadi. (Foto: Jawapos)

Selain menyediakan fasilitas penanganan kesehatan jiwa, dalam taraf yang paling sederhana, peran negara juga bisa ditunjukkan dalam hal pemenuhan kebutuhan ekonomi. Faktanya, banyak orang mengalami gangguan kesehatan mental dan kejiwaan bermula dari tekanan ekonomi dan kehidupan yang serba sulit, selain juga tentu saja karena pengaruh biologis, lingkungan dan psikologis. Jangankan depresi atau skizofrenia, orang yang cepat marah pun sebetulnya bisa disebut mengalami gangguan kesehatan mental.

Fakta pelaksanaan Undang-Undang yang belum sesuai harapan tentu menimbulkan pertanyaan, jangan-jangan pemangku kebijakan kita masih terlalu sibuk mengurusi tetek-bengek persoalan pemilu dan lupa bahwa masyarakatnya masih banyak yang mengalami gangguan kesehatan mental bahkan sampai dipasung di hutan selama bertahun-tahun. Ekonomi yang semakin susah sangat mungkin menyebabkan peningkatan jumlah orang yang mengalami gangguan kesehatan mental.

Pada akhirnya, kasus ibu yang membunuh anaknya hanya karena sering ngompol ini harus menjadi catatan tersendiri bagi pemangku kebijakan. Jangan-jangan peliknya persoalan politik dan ekonomi negara ini membuat semakin banyak orang yang mengalami gangguan kesehatan mental, apalagi jika persoalan-persoalan tersebut sengaja ‘dipelik-pelikkan’ hanya untuk mencapai kepentingan kelompok atau golongan tertentu.

Dari hasil penelusuran pihak kepolisian memang sang ibu tersebut sedang mengalami persoalan ekonomi. Ia disebut-sebut kehilangan pekerjaan, sementara itu ia masih harus membiayai sekolah sang anak dengan tabungan yang kian menipis. Beban sebagai orangtua tunggal menyebabkan gangguan psikologis yang cukup serius dan karena tidak ada saluran serta penanganan yang baik akhirnya dilampiaskan pada sang anak pula.

Persitiwa ini menjadi satu contoh dari gunung es persoalan kesehatan mental dan kejiwaan masyarakat Indonesia. Fenomena ini menunjukkan bahwa persoalan kejiwaan juga harus menjadi pekerjaan rumah semua pihak, termasuk pemerintah.

Jangan sampai kita memperingati Hari Kesehatan Nasional, tetapi lupa bahwa persoalan kesehatan mental masih menjadi ganjalan yang besar di masyarakat yang makin hari makin saling gesek-gesekan untuk cari makan. Seperti kata pemeran Hulk di awal tulisan ini, mungkin banyak orang di sekitar kita atau bahkan diri kita sendiri hidup dengan gangguan kesehatan mental tersebut. Oleh karena itu, sudah saatnya hal ini ditangani dengan lebih baik lagi. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.