Ada tren di seluruh dunia bahwa bisa saja demokrasi liberal bukanlah akhir dari evolusi ideologi
PinterPolitik.com
[dropcap]B[/dropcap]eberapa waktu lalu, Tom Power dari Australian National University merilis temuan penelitian tentang kondisi demokrasi di Indonesia yang disebutnya mengalami kemunduran. Ada beberapa hal menarik yang menjadi dasar analisis Power dalam menjelaskan kondisi tersebut.
Salah satunya Jokowi dianggap bertindak dengan cara yang tidak liberal atau anti-demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya selama ini. Misalnya menjelang pemilu 2019, pemerintah dianggap telah menggunakan strategi represif untuk melawan kekuatan oposisi dalam batas-batas status quo demokrasi.
Dengan memperkuat dan mengintervensi institusi keamanan dan penegakan hukum untuk melawan oposisi, pemerintahan Jokowi telah menyebabkan kaburnya batas antara kepentingan negara dan kepentingan politik.
Kondisi yang digambarkan Tom Power tersebut adalah kondisi menguatnya intervensi negara dalam sistem demokrasi Indonesia.
Lalu benarkah menguatnya peran negara adalah ancaman terhadap demokrasi di Indonesia menjelang Pilpres 2019? Atau justru menguatnya peran negara memang menjadi kebutuhan pemerintah Indonesia di masa mendatang dalam merespon sistem dunia yang telah berubah?
Kejatuhan Demokrasi Liberal
Kebangkitan populisme dan menguatnya nasionalisme beberapa negara Barat menjadi konsen bagi beberapa pengamat politik di seluruh dunia beberapa waktu terakhir karena dianggap menjadi ancaman serius bagi eksistensi demokrasi.
Francis Fukuyama criticizing neoliberalism and thinking "socialism ought to come back" is peak 2018 https://t.co/2ZDGsxYLSy
— Kamil Ahsan (@kamuleosaurus) October 18, 2018
Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump terkait nasionalisme politik serta proteksionisme ekonomi sebagai landasan ekonomi politik negeri paman Sam tersebut menjadi pertanda terancamnya sistem ekonomi pasar bebas antar negara yang selama ini telah menjadi fondasi utama sistem dunia sejak berakhirnya perang dingin pada dekade 90-an.
Selain itu, menguatnya kapitalisme negara sebagai landasan ideologi pasar yang dianut Tiongkok juga semakin menyebabkan diskursus nasionalisme ekonomi kian menguat.
Menurut Raymond Williams dalam bukunya Capitalism menjelaskan bahwa kapitalisme negara adalah sistem ekonomi dimana aktivitas ekonomi untuk meraih keuntungan dijalankan oleh negara. Sedangkan alat produksi diorganisir dan diurus oleh perusahaan milik negara termasuk proses akumulasi kapital, buruh upah, dan manajemen tersentralisasi.
Meskipun kondisi yang digambarkan Williams tersebut yang kini membuat ekonomi Tiongkok bergeliat maju, namun pada akhirnya memicu terjadinya perang dagang dengan AS yang akhirnya semakin memperburuk kondisi ekonomi global.
Akibatnya beberapa negara seperti Turki, Argentina, bahkan Indonesia, terdampak dari adanya perang dagang ini dan menyebabkan kerentanan jatuh ke dalam jurang krisis.
Pada titik ini, akhirnya seorang ilmuwan politik Amerika Serikat, Francis Fukuyama yang sebelumnya telah meramalkan dalam bukunya The End of The History and The Last Man bahwa sistem kapitalisme pasar dan demokrasi liberal akan menjadi akhir dari bentuk sistem dunia dimana negara-negara akan menerapkan pasar bebas dan demokrasi dalam sistem politik dan ekonomi mereka, harus menelan kenyataan pahit bahwa kini sistem sosialisme kemungkinan akan kembali.
Ia bahkan membenarkan hal-hal tertentu yang dikatakan Karl Marx berubah menjadi kenyataan. Misalnya tentang krisis kelebihan produksi yang artinya dengan permintaan yang lebih kecil dari penawaran, maka akan berdampak buruk bagi para buruh.
Ia juga melihat bahwa model kapitalisme negara Tiongkok menjadi pesaing serius bagi demokrasi liberal hari ini. Dan pada akhirnya, kapitalisme negara menjadi teori yang paling masuk akal hari ini karena sistem ini dapat menjamin stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh demokrasi liberal.
Fukuyama juga memprediksi jika dalam 30 tahun lagi Tiongkok bisa lebih besar dari Amerika Serikat, dan masyarakatnya bisa terlepas dari krisis kesejahteraan, sementara negara-negara lain yang masih menjalankan sistem kerja sama ala kapitalisme liberal berada pada level stagnan, maka tidak ada alasan bagi dunia untuk tidak menerapkan kapitalisme negara ala Tiongkok.
Namun celakanya, dalam sistem negara sosialis, totalitarianisme adalah konsekuensi logis dari prinsip dasar sosialisme. Karena prinsip dasar dari sosialisme adalah nasionalisasi alat-alat produksi, mengimplikasikan perlunya perencanaan terpusat (central planning) dan peran aktif pemerintah dalam aktivitas ekonomi.
Walaupun demikian, melihat tren yang telah terjadi di dunia saat ini, bukan tidak mungkin diskursus demokrasi liberal pada akhirnya akan menjadi konsep yang usang dan lama-kelamaan akan di tinggalkan. Bahkan, sang penganut teori tersebut pun, pada akhirnya menyerah pada realitas global hari ini.
Bergesernya Model Pembangunan Dunia
Berkaca pada prediksi Fukuyama, pendulum bringing state back in dan menguatnya indikasi kembalinya sosialisme memang menguat pasca wacana perang dagang AS-Tiongkok bergulir. Hal ini juga didukung adanya kondisi global yang juga sedang mengalami secular stagnation yakni situasi dimana pertumbuhan ekonomi cukup sulit naik.
Dan celakanya kondisi tersebut menjangkiti negara-negara maju. Seperti dilansir Project Syndicate, Jepang misalnya, sejak tahun 90-an mengalami pertumbuhan ekonomi hanya berkisar 0 hingga 1%.
Sehingga para ekonom sekelas Joseph Stiglitz dan Larry Summers pada akhirnya menganjurkan adanya intervensi negara dengan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi harus ditopang oleh negara. Misalnya dengan bantuan langsung dan proyek-proyek pemerintah.
Misalnya kebijakan reformasi pajak yang dilakukan Trump pada akhirnya mampu membuat industri domestik AS kembali bergairah. Hal tersebut yang menyebabkan mengapa the Fed terus menaikkan suku bunga.
Di samping itu, ancaman krisis dan ketakutan ancaman baru misalnya terkait teroris, penyakit, dan ketidakpastian masa depan ekonomi serta perubahan geopolitik dunia membuat nasionalisme politik ekonomi akhirnya mau tidak mau menjadi satu-satunya pilihan alternatif bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Sehingga kondisi ini disebut banyak pengamat sebagai VUCA atau vulnerability, uncertainty, complexity and ambiguity.
Dalam konteks politik Indonesia, bukan tidak mungkin tren global diatas juga menjadi inspirasi bagi arah pembangunan ekonomi politik dalam negeri ke depanya. Mengingat bahwa hari ini kondisi politik dan ekonomi Indonesia tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di negara-negara lain.
Misalnya pertumbuhan ekonomi yang stagnan, peningkatan hutang luar negeri, serta terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar. Ditambah Indonesia baru saja mengalami bencana alam yang cukup mengganggu laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Perubahan arah iliberal Jokowi dan nasionalisme Prabowo boleh jadi penanda intervensi besar negara akan hadir di negeri ini Share on XJika sudah begitu kondisinya, pada akhirnya, sebagus-bagusnya demokrasi dan kebebasan pers, tapi jika pengangguran dan kesejahteraan menjadi isu krusial dalam masyarakat, tentu solusi terbaik adalah dengan berbalik arah dari demokrasi liberal ala Barat.
Hal ini diungkapkan oleh Fukuyama bahwa demokrasi liberal tidak memberikan definisi tentang kehidupan yang baik. Masyarakat yang teralienasi kemudian bergabung dalam kelompok identitas untuk mendapatkan sense of community.
Pilpres 2019, Kontestasi Menuju Sosialisme Indonesia ?
Jika ditarik benang merah terhadap apa yang terjadi di Indonesia, bisa jadi bahwa bergesernya paradigma pembangunan internasional inilah yang sangat berpengaruh terhadap cara pandang kedua kandidat presiden dan wakil presiden yang akan bertarung menjelang Pilpres 2019 dalam menyikapi persoalan ekonomi maupun politik dalam negeri.
Kecenderungan yang telah diprediksikan Fukuyama bisa jadi memang menjadi blueprint pembangunan yang akan dibawa Jokowi maupun Prabowo jika berkuasa nanti. Dengan semangat nasionalisme dalam program visi misi mereka, bukan tidak mungkin bahwa ketika menduduki kekuasaan mereka akan menerapkan sistem yang jauh dari demokrasi liberal.
Kecenderungan itu bisa terlihat dari kegalauan beberapa kebijakan Jokowi akhir-akhir ini. Misalkan terkait penguatan beberapa BUMN dan proyek nasionalisasi perusahaan asing yang sangat mengindikasikan adanya model kapitalisme negara.
Di samping itu, laporan Tom Power yang telah dijelaskan di awal tentang berubahnya Jokowi menjadi otoriter juga menjadi bukti bahwa negara semakin kuat.
Bang @budimandjatmiko bisikkan ke pak @jokowi bahwa di RKUHP yang beliau usung, penghinaan presiden dimasukkan kembali dan banyak pasal2 khas kolonial serta rezim otoriter, jangan sampai video ini terulang di masa depan bang. #RKUHP https://t.co/qUoTuIgmH9
— Erasmus Napitupulu (@erasmus70) October 17, 2018
Di sisi lain, kubu oposisi pun juga terjebak dalam gaya kepemimpinan serupa. Misalnya sosok Prabowo Subianto mengutip retorika make Indonesia great again dalam aktivitas kampanyenya beberapa waktu lalu yang cenderung mencontoh gaya kepemimpinan Trump.
Selain itu, konsep ekonomi nasionalisme yang menjadi strategi Prabowo menghadapi Pilpres di 2019 dengan menekankan pentingnya membangun kembali industri strategis nasional yang dekat dengan ciri khas sosialisme. Ia bahkan juga merencanakan penguatan BUMN sebagai benteng pertahanan ekonomi nasional.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut, boleh jadi demokrasi liberal bukanlah evolusi ideologi terakhir dalam politik Indonesia. Perubahan arah iliberal Jokowi dan nasionalisme Prabowo boleh jadi penanda intervensi besar negara akan hadir di negeri ini.
Jika melihat kecenderungan di atas, mungkinkah Indonesia akan menjadi negara sosialis di masa depan? Dengan menguatnya peran pemerintah saat ini, serta kecenderungan oposisi yang juga mengadopsi prinsip serupa, bukan tidak mungkin yang diramalkan Fukuyama akan menjadi kenyataan. Meski begitu, Fukuyama sendiri pernah salah meramal sebelumnya, sehingga menarik ditunggu apa yang akan terjadi di masa depan. (M39)