HomeNalar PolitikIndonesia dan Ancaman Krisis 2018

Indonesia dan Ancaman Krisis 2018

Pada 1998 dan 2008, Indonesia terimbas krisis finansial global. Akankah siklus 10 tahunan akan kembali menyeret Indonesia ke jurang krisis di tahun ini?


PinterPolitik.com

[dropcap]M[/dropcap]emasuki 2018, beberapa negara akan melalui tahun ini secara hati-hati dikarenakan adanya kekhawatiran terjadinya gelombang krisis di tahun anjing tanah ini. Sikap was was ini, didasarkan akan adanya prediksi krisis ekonomi 10 tahunan yang akan melanda dunia, atau sejumlah negara.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, dunia pernah terhantam krisis besar di tahun 1998 dan 2008. Akibat krisis ini, sejumlah negara mengalami gangguan akibat resesi ekonomi yang konon akan terus terjadi berdasarkan siklus 10 tahunan tersebut. Salah satu yang ikut terimbas adalah Indonesia.

Pada 1998, Indonesia mengalami goncangan besar akibat krisis global yang berdampak besar bagi Indonesia. Gejolak ekonomi yang cukup besar ini, berujung pada jatuhnya rezim Orde Baru pimpinan Soeharto.  Sedang pada 2008, nasib Indonesia lebih beruntung. Sebab krisis yang berasal dari Amerika tersebut, pondasi ekonomi Indonesia cenderung lebih kuat sehingga selamat dari terjangan resesi ekonomi dunia.

Lalu bagaimana peluang Indonesia di tahun 2018? Berbagai kalangan menilai krisis 2018 bisa saja terjadi. Jika krisis 2018 benar-benar terjadi, apakah Indonesia akan selamat? Ataukah Indonesia akan terhantam krisis 10 tahunan lagi?

Siklus 10 Tahun Sekali

Tahun 1998 merupakan tahun yang kelam bagi perekonomian dunia. Di tahun tersebut terjadi krisis keuangan yang memiliki dampak besar terutama di Asia. Krisis ini disebut-sebut bermula dari Thailand. Negeri Gajah Putih tersebut mengalami penurunan kurs baht terhadap dolar AS. Krisis ini menjalar hingga ke Indonesia.

Indonesia dan Ancaman Krisis 2008
Krisis 1998 berdampak pada ketidakstabilan di Indonesia (Foto: BBC)

Rupiah Indonesia mengalami penurunan drastis, seperti yang terjadi pada Baht Thailand dan mata uang negara Asia lainnya. Bila di akhir tahun 1996, rupiah berada di posisi Rp 2.300 per dollar AS. Di tahun 1997, tepatnya pada bulan Mei, nilainya langsung jatuh drastis hingga menembus level Rp 4.650 per dollar AS di akhir tahun.

Sementara krisis global pada 2008, bermula dari Amerika Serikat (AS). Gangguan ekonomi ini terjadi akibat kerugian dari spekulasi hipotek rumah yang menyebabkan adanya pembekuan beberapa sekuritas, terkait kredit perumahan berisiko tinggi di AS (subprime mortgage). Pembekuan ini memicu gangguan pada pasar finansial yang dampaknya menjalar hingga ke seluruh dunia.

Akibat krisis yang terjadi, sejumlah institusi keuangan besar di AS terpaksa gulung tikar. Tanda kejatuhan besar ekonomi ini, mencapai intensitas tertingginya saat ditutupnya bank investasi terbesar AS, Lehman Brothers. Kondisi perbankan yang pailit ini pun menular ke lembaga keuangan lainnya, baik di AS, Eropa, maupun Jepang.

Indonesia dan Ancaman Krisis 2018
Kejatuhan Lehman Brothers menjadi penanda krisis 2008. (Foto: Business Insider)

Tak ayal, krisis di AS ini kemudian berimbas ke Indonesia. IHSG yang pada awal 2008 berada di angka 2.627,3, menurun hampir separuhnya di Desember 2008, yaitu mencapai 1.355,4. Kurs rupiah terhadap dolar AS juga melemah tajam. Di awal tahun, rupiah berada di level Rp 9.050 per dolar AS. Jelang akhir tahun, angka ini menyentuh Rp 12.400 per dolar AS atau melemah 37 persen.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Walau berdampak global, namun Indonesia selamat dari krisis ini. Namun bukan berarti Indonesia tidak terkena imbasnya, setidaknya Indonesia tidak sampai terperosok begitu dalam ke lubang krisis. Saat itu, kondisi fundamental perekonomian Indonesia memang telah lebih baik ketimbang 1998, sehingga mampu bertahan.

Meski telah terjadi dua kali krisis besar di tahun berakhiran angka delapan tersebut, nyatanya krisis tidak selalu hadir dalam kurun waktu 10 tahun. Sebab beberapa krisis global juga bisa menerjang tanpa menunggu satu dasawarsa. Pada 2010 misalnya, muncul krisis utang yang menjalar di berbagai negara Eropa, sehingga sebenarnya krisis dapat muncul kapan saja dan tidak mengenal siklus.

Mungkinkah Krisis 2018 Menerjang?

Pemerintah yang diwakili Menteri Keuangan Sri Mulyani, cukup percaya diri kalau Indonesia tidak akan terkena krisis 2018. Menurutnya, keadaan perekonomian kini telah lebih baik ketimbang 10 tahun lalu. Hal ini didasarkan pada sejumlah indikator ekonomi, seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Hal serupa juga diungkap Gubernur Bank Indonesia, Agus Martowardojo yang menyatakan bahwa kini kondisi ekonomi Indonesia sudah berada dalam kondisi yang lebih baik dan berbeda dengan tahun 1998 dan 2008. Sehingga ia yakin, krisis dunia tidak lagi mampu menggoyang perekonomian Indonesia.

Optimisme Agus memang memiliki dasar. Jika melihat peringkat utang Indonesia, kondisinya kini sudah semakin stabil. Lembaga-lembaga pemeringkat internasional bahkan memberikan nilai yang baik bagi Indonesia. Lembaga pemeringkat Fitch memberikan nilai BBB bagi Indonesia. Sementara itu, lembaga Standard & Poor memberikan nilai BBB- bagi Indonesia.

Nilai-nilai tersebut tidak hanya berarti Indonesia memiliki risiko gagal bayar utang yang rendah saja, tapi lebih dari itu. Dengan predikat yang baik tersebut, artinya Indonesia sudah mendapatkan nilai yang dianggap aman bagi masuknya investasi dunia.

Inflasi di Indonesia juga kini sudah berada dalam kondisi yang lebih stabil. Pada tahun 2014, inflasi Indonesia mencapai angka 8,4 persen. Pada tahun 2015 hingga 2017 angka tersebut mengalami penurunan, yaitu berada di kisaran 2,5 persen hingga 4,5 persen. Laju inflasi tersebut diperkirakan akan tetap stabil selama tahun ini.

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS juga belakangan ini tengah stabil. Rupiah memang sempat terdepresiasi 3 persen terhadap dolar AS pada September 2017. Akan tetapi, sejak Oktober 2017, kursi rupiah terhadap dolar stabil di angka 13.500-an.

Meski indikator-indikator yang ada memperlihatkan perbaikan, bukan berarti Indonesia tidak wajib waspada. Hal ini terutama jika dikaitkan dengan kebijakan Presiden Donald Trump di AS. Berbagai pengamat ekonomi dunia telah memperingatkan kemungkinan terjadi ‘resesi Trump’. Kebijakan Trump untuk melakukan reformasi perpajakan dan menurunkan tingkat suhu bunga, bisa saja memberikan tekanan bagi Indonesia.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Ancaman Krisis 2018

Meski berdasarkan asumsi ekonomi makro, Indonesia berada dalam kondisi yang aman. Namun ancaman krisis global tetap saja menghantui dunia, termasuk Indonesia. Sebuah lembaga konsultan politik besar dunia, Eurasia Group, menyebutkan bahwa akan ada risiko krisis geopolitik yang serupa dengan krisis finansial 10 tahun lalu.

Eurasia Group menilai, ada 10 kekhawatiran terbesar yang dapat menimbulkan krisis di 2018. Salah satu di antaranya adalah meningkatnya politik identitas di wilayah Asia Selatan dan Tenggara. Indonesia bersama Malaysia berada dalam risiko tersebut.

Indonesia dan Ancaman Krisis 2018

Di Indonesia, politik identitas yang dimaksud Eurasia memiliki wujud berupa Islamisme. Narasi yang akan berkembang adalah, ketidakadilan ekonomi yang dialami oleh mayoritas Muslim di tanah air. Hal ini, kabarnya, juga akan dikaitkan dengan kebijakan Presiden Jokowi yang disebut anti-Islam.

Politik identitas di Indonesia, sejauh ini nampak berhasil mengguncang stabilitas negara. Legitimasi pemerintahan saat ini, seolah digerogoti perlahan-lahan oleh kelompok oposisi melalui isu agama. Kondisi serupa juga berlaku pada penegakan hukum, sehingga guncangan yang terjadi kemungkinan akan dapat menimbulkan instabilitas yang memicu krisis.

Menurut Eurasian, politik identitas ini memiliki implikasi yang cukup besar terhadap ekonomi. Populisme yang berbasis agama ini akan memberikan pengaruh pada pengeluaran dari sisi fiskal, investasi luar negeri, dan harga serta sebaran barang.

Dari sisi fiskal, narasi kesenjangan yang mengemuka akan memaksa pemerintahan Jokowi melakukan pengeluaran di bidang kesejahteraan. Jika Jokowi terjebak terlalu dalam pada narasai kesenjangan tersebut, maka keseimbangan makroekonomi Indonesia pun dapat terganggu.

Politik identitas melalui isu pribumi Muslim juga bisa mencegah masuknya investasi asing ke Indonesia. Adanya ketidakpastian suhu politik, pada akhirnya mampu membuat investor – terutama dari sektor Migas, menahan investasinya di Indonesia.

Indonesia dan Ancaman Krisis 2018
Aksi yang menggunakan identitas agama. (Foto: Getty Images)

Peraturan mengenai sertifikasi halal juga diprediksi akan menjadi sandungan. Kewajiban memperoleh cap halal dapat menaikkan biaya produksi makanan, minuman, obat-obatan, dan kosmetika.  Sertifikasi halal  ini juga secara tidak langsung akan menjadi barrier atau penghalang bagi produk asing masuk ke Indonesia.

Jika hal tersebut terjadi, maka krisis yang muncul tidak terjadi akibat acuan ekonomi yang ada. Ketidakstabilan dapat muncul akibat desain dari pihak yang berada di posisi berseberangan dengan Jokowi.

Pemerintah boleh cukup pede dengan indikator ekonomi yang kini dialami. Akan tetapi, kemungkinan adanya ‘resesi Trump’ harus diperhatikan pemerintah. Selain itu, krisis by design melalui politik identitas yang dihembuskan oposisi juga harus membuat pemerintah semakin waspada. Bila kedua isu ini mendapatkan perhatian serius, maka bisa saja Indonesia akan benar-benar bebas dari krisis di 2018 dan memasuki 2019 dengan lebih aman. (H33)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Membaca Siapa “Musuh” Jokowi

Dari radikalisme hingga anarko sindikalisme, terlihat bahwa ada banyak paham yang dianggap masyarakat sebagai ancaman bagi pemerintah. Bagi sejumlah pihak, label itu bisa saja...

Untuk Apa Civil Society Watch?

Ade Armando dan kawan-kawan mengumumkan berdirinya kelompok bertajuk Civil Society Watch. Munculnya kelompok ini jadi bahan pembicaraan netizen karena berpotensi jadi ancaman demokrasi. Pinterpolitik Masyarakat sipil...

Tanda Tanya Sikap Gerindra Soal Perkosaan

Kasus perkosaan yang melibatkan anak anggota DPRD Bekasi asal Gerindra membuat geram masyarakat. Gerindra, yang namanya belakangan diseret netizen seharusnya bisa bersikap lebih baik...