HomeNalar PolitikIndonesia Butuh Ridwan Kamil di 2024?

Indonesia Butuh Ridwan Kamil di 2024?

Nama Ridwan Kamil menjadi salah satu figur publik paling dibicarakan di tingkat nasional. Memimpin Jawa Barat yang populasinya hampir 50 juta jiwa memang membuat Kang Emil – demikian ia kerap disapa – menjadi sosok yang diperhitungkan untuk maju di Pilpres 2024 berkat kinerja dan popularitasnya. Namun, modal mantan Wali Kota Bandung tersebut sesungguhnya terletak pada background-nya sebagai arsitek dan cara berpikir penyelesaian masalah yang ia aplikasikan ketika memimpin. Akankah ini bisa mengantarkan Emil jadi yang terdepan di 2024?


PinterPolitik.com

“The water is your friend…you don’t have to fight with water, just share the same spirit as the water, and it will help you move.”

::Alexander Popov, perenang Rusia – perenang sprint terbaik sepanjang sejarah::

Presiden ke-3 Amerika Serikat (AS), Thomas Jefferson, adalah salah satu founding fathers negeri Paman Sam yang punya andil besar menentukan arah negara tersebut. Jefferson adalah salah satu dari panitia yang merumuskan Declaration of Independence – dokumen yang menjadi awal lepasnya 13 koloni Inggris di Amerika Utara dari Kerajaan Inggris. Kontribusi Jefferson terhadap dokumen ini demikian besar, sehingga beberapa sumber bahkan menyebutnya sebagai sosok yang literary menulis dokumen tersebut alias menjadi pengarangnya.

Jefferson kemudian terpilih menjadi Presiden AS ketika Perang Napoleonic (1803-1815) sedang memuncak di Eropa dan ia berusaha agar AS tak ikut terlibat dalam kekacauan tersebut. Ia jugalah yang disebut sebagai tonggak awal AS sebagai negara modern digariskan, utamanya ketika mengemukakan pentingnya negara dan agama dipisahkan.

Pandangan tersebut bukan tanpa alasan, kekacauan yang timbul di Eropa selama berabad-abad tidak lepas dari tumpang tindihnya kuasa agama dan negara. Hasilnya? Well, kini AS adalah negara yang kita lihat saat ini dengan segala kebesarannya.

Namun, terlepas dari semua pandangan dan kebijakan yang pernah dibuatnya, salah satu hal yang menarik dari Jefferson – yang mungkin relevan untuk kita kaitkan dengan topik kali ini – adalah latar belakangnya yang juga adalah seorang arsitek. Yes, Thomas Jefferson adalah seorang arsitek yang desain-desainnya menandai era awal AS. Beberapa contoh bangunan yang ia desain adalah yang kini ada di University of Virginia.

Baca juga: Mencari “Jalan Ketiga” Ridwan Kamil

Nah, konteks background arsitek inilah yang menarik untuk kita lihat pada diri tokoh yang kini tengah populer juga di Indonesia, yakni Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Sudah jadi rahasia umum, Kang Emil adalah seorang arsitek dan pengusaha yang memutuskan banting setir masuk ke dunia politik. Kini namanya masuk dalam jajaran teratas kandidat yang punya peluang untuk maju di Pilpres 2024.

Baca juga :  Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Pertanyaannya adalah akan seperti apa peruntungan Emil? Akankah ia menjadi cerita sukses lain tokoh arsitek di panggung politik? Lalu, seberapa signifikan sebenarnya pengaruh dunia arsitek dalam kepemimpinan seseorang dalam politik?

Indonesia Butuh Pemimpin Arsitek

Dalam perbincangannya bersama PinterPolitik beberapa waktu lalu, Kang Emil menyebutkan alasan utama ia masuk ke politik adalah karena “kemarahannya” pada tata kelola kota dan kebijakan publik – saat itu di Bandung – yang menurutnya jauh dari baik. Ia menyebutkan bahwa sebagai arsitek yang membuat rancang bangun di banyak kota di luar negeri, ia merasa terpanggil untuk membenahi banyak hal dalam tata kelola Bandung. Itulah yang menjadi titik awal keterlibatannya dalam politik pemerintahan.

Setelah sukses di Bandung, ia kemudian maju dan bertarung di Pilgub Jawa Barat dan berhasil memenangkannya. Lalu, dari perbincangan bersama PinterPolitik itu, Kang Emil juga berbagi soal bagaimana cara berpikir dan background-nya sebagai arsitek mempengaruhi cara pengambilan kebijakan dan mencari solusi atas persoalan. Ia menyebutkan pola pikir mencari solusi yang umumnya menjadi keseharian arsitek mempengaruhinya mengambil kebijakan dan keputusan-keputusannya ketika memimpin.

Pendekatan melihat arsitektural dalam kacamata hidup sehari-hari ini – termasuk dalam konteks pembuatan kebijakan publik dan politik – sebetulnya sesuai dengan pemikiran filsuf Prancis, Henri Lefebvre. Lefebvre dikenal sebagai sosiolog dan pemikir arsitektural yang memang melihat cara pikir arsitektur dalam kehidupan keseharian – termasuk bagaimana pembangunan kota atau bahkan negara secara keseluruhan harus diletakan dalam konteks gerak masyarakat industrial modern yang hanyut dalam ekonomi kapitalistik.

Artinya, pembangunan, kepemimpinan politik, kebijakan publik dan lain sebagainya, harus diletakkan dalam rangka melayani masyarakat, terutama masyarakat kelas bawah. Bangunan ataupun fasilitas-fasilitas umum atau kebijakan tata kelola pemerintahan harus melayani kepentingan bersama masyarakat.

Di titik ini memang konteks kepemimpinan politik kemudian menjadi sangat penting. Pasalnya, politik sudah seharusnya diletakkan dalam posisi sebagai jalan menuju terwujudnya kesejahteraan masyarakat banyak. Dari sudut pandang itu, kacamata arsitektur jelas memampukan siapapun yang terpilih menjadi pemimpin, akan menempatkan kebahagiaan masyarakat sebagai hal yang mendasar untuk dipenuhi.

Inilah yang membuat sosok seperti Kang Emil menjadi figur yang punya narasi dan kapasitas yang memadai untuk menjadi pemimpin Indonesia selanjutnya. Bukan hanya karena kemampuannya yang mampu mengikuti semangat zaman alias kekinian – well, pemimpin mana lagi yang bisa setara ikut trend yang sedang berkembang dibandingkan dengan yang Kang Emil lakukan – tetapi juga karena cara berpikir arsitektural yang bisa diaplikasikan dalam kebijakan-kebijakan publik untuk mencari solusi dan menyentuh masyarakat bawah.

Baca juga :  Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Karena dunia arsitektur juga banyak menyinggung bagian per bagian struktur dan desain dari sebuah rancang bangun, maka cara berpikir ini memang akan sesuai dengan konsep problem solving misalnya dalam pemikiran A. Newell dan H. Simon soal relasi metode dan tujuan yang ingin dicapai. Ini juga akan sesuai dengan pemikiran psikolog Austro-Hungaria, Max Wertheimer, soal relasi antar bagian dalam mencari solusi permasalahan.

Dari sudut pandang itu, jelas cukup ideal jika menempatkan Kang Emil sebagai calon yang akan maju pada Pilpres mendatang. Secara kapasitas ia jelas memenuhi unsur ideal seorang pemimpin.

Dalam konteks politik Indonesia, Kang Emil juga memenuhi rumusan Nasain: nasionalis, agamais dan insan bisnis. Ia jelas sosok nasionalis – menyebut dirinya mengidolakan Soekarno. Ia juga mengaku pernah belajar di pesantren – tentu membuatnya memegang prinsip-prinsip agama. Dan berbekal pengalamn di dunia bisnis, Kang Emil jelas memahami seluk beluk gerak ekonomi negara.

Persoalannya adalah apakah semua modal itu cukup?

Partai Politik: Ganjalan Terbesar Kang Emil

Bisa dibilang ganjalan terbesar Kang Emil adalah dukungan partai politik. Dalam wawancaranya dengan PinterPolitik dalam program Cross Section pada Agustus 2020 lalu, Kang Emil bisa dibilang adalah salah satu sosok yang cukup idealis. Kala itu ia menyebut masih nyaman menjadi “sosok independen” – yang artinya belum terikat partai politik.

Namun, setelah setahun lebih berlalu, agaknya konteks keterikatan dengan partai politik ini perlu menjadi catatan tersendiri bagi Kang Emil. Pasalnya, bukan rahasia lagi bahwa parpol menjadi kunci utama politik di Indonesia, utamanya jika ingin maju menjadi presiden.

Baca juga: Mungkinkah Ridwan Kamil Pimpin IKN?

Tanpa dukungan partai, niscaya sulit untuk bisa bersaing dan memenangkan pertarungan politik. Konteks dukungan partai politik ini juga akan menentukan akan seperti apa perjalan politik Kang Emil di masa yang akan datang.

Dalam konteks itu, mungkin Kang Emil perlu belajar dari Presiden Joko Widodo. Sama-sama punya garis karier politik yang berangkat dari wali kota, Jokowi berani pragmatis dan mendekatkan diri ke partai politik. Kebetulan, partai yang didekati adalah PDIP yang adalah partai besar, sehingga jalan perjuangan Jokowi menjadi mulus.

Jika mampu menemukan jalan yang demikian, maka mimpi mengulang kisah Thomas Jefferson bukan tidak mungkin akan terwujud. Dengan segudang tantangan pembangunan Indonesia ke depannya, visi dan cara berpikir Kang Emil cocok untuk kepemimpinan Indonesia. Tinggal langkah awal apa yang akan dilakukan untuk mendekat ke partai politik.

Sebab, seperti kata Alexander Popov di awal tulisan: “…you just share the same spirit with the water”. And yes, it will help you move forward. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

► Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.