Dua dekade terakhir ini muncul fenomena pembelian klub sepak bola oleh pengusaha asal negara-negara Arab. Indonesia pun pernah terlibat dengan akuisisi klub sepak bola Eropa ketika Erick Thohir membeli mayoritas saham klub asal Italia, Inter Milan pada tahun 2013. Mengapa pengusaha tertarik pada sepak bola? Apakah Indonesia butuh sosok Erick Thohir jilid dua?
Jika gemar sepak bola, tentu klub besar seperti Manchester City dan Paris Saint Germain (PSG) sudah tidak asing lagi di telinga. Dua klub tersebut saat ini menjadi salah satu yang paling disorot di dunia karena memiliki pemain-pemain elite yang mahal. Namun, nama besar mereka baru mencuat setidaknya dalam dua dekade ke belakang ini.
Penyebab utama yang membuat nama mereka melejit dalam beberapa tahun terakhir adalah suntikan dana besar-besaran dan akuisisi kepemilikan dari pengusaha asal negara-negara Arab, Manchester City dari Uni Emirat Arab dan PSG dari Qatar.
Ya, akhir-akhir ini dunia persepakbolaan kental kaitannya dengan pengusaha-pengusaha kaya dari Arab. Selain, Manchester City dan PSG, banyak klub besar yang disponsori oleh perusahaan asal negara Arab, seperti Real Madrid dan AC Milan dengan Emirates Airlines. Kabar terakhir terkait ini yang cukup menghebohkan adalah pembelian klub asal Inggris, Newcastle United oleh pengusaha sekaligus putra Mahkota Arab Saudi, Mohammed bin Salman (MBS).
Public Investment Fund (PIF), perusahaan pengelola keuangan publik milik pemerintah Arab Saudi dikabarkan membeli Newcastle dengan harga £300 juta atau sekitar Rp5,8 triliun. Menanggapi hal ini, banyak penggemar yang berharap Newcastle akan menjadi seperti PSG yang mampu mendatangkan pemain bintang dan menjadi juara liga.
Baca Juga: Mimpi Olimpiade Indonesia Terlampau Jauh?
Pengaruh ekonomi negara Arab, khususnya Qatar, tidak hanya sebatas pada kepemilikan klub sepak bola saja. Diketahui bahwa Qatar Investment Authority (QIA), badan pengelola investasi Qatar, telah menandatangani kesepakatan sebagai sponsor acara sekaligus penerbangan organisasi sepak bola internasional (FIFA) dari tahun 2017 sampai tahun 2022. Qatar juga ditetapkan menjadi tuan rumah Piala Dunia pada 2022 nanti.
Pada tahun 2013, penggemar sepak bola Indonesia juga sempat dihebohkan dengan berita akuisisi klub sepak bola raksasa Italia, Inter Milan, oleh pengusaha Indonesia yang bernama Erick Thohir. Dirinya disebut mengeluarkan kocek sebesar US$480 juta untuk memperoleh 70 persen saham klub yang diberi julukan Nerazzurri tersebut. Namun, Menteri Badan Usaha Milik Negara (Menteri BUMN) ini menjual seluruh sahamnya ke perusahaan asal Hong Kong, Lion Rock pada Januari 2019.
Lantas, mengapa pengusaha rela berinvestasi besar pada klub sepak bola? Keuntungan seperti apa yang bisa didapat?
Semu, Namun Menguntungkan
Suatu gerakan investasi pada umumnya tentu mengharapkan adanya timbal balik, yang biasa disebut return of investment (ROI). Dalam sepak bola, modal yang dikeluarkan pengusaha sangat besar. PSG contohnya, dikabarkan mulai dari pembeliannya pada tahun 2011, Qatar setidaknya telah berinvestasi sebanyak €1,03 miliar pada PSG hanya untuk pembelian pemain semata. Sementara itu, pendapatan yang diperoleh PSG pada satu musim saja, contohnya musim 2014-2015, hanya sekitar €11 juta.
Aymen Khouri, seorang pengamat Timur Tengah, dalam sebuah artikel yang berjudul Why the Gulf Invests in Football tulisan Matthew Amlôt, mengatakan bahwa ROI secara historis tidak penting ketika mempertimbangkan investasi klub sepak bola karena investasi di sektor ini bukanlah untuk mencari uang.
Di dalam sepak bola, pandangan pengusaha fokus pada keuntungan yang signifikan atas investasi yang berfokus pada eksposur brand yang dimiliki oleh sang pemilik klub atau sebuah sponsor besar. Karena itu, sepak bola dinilai dapat menghadirkan peluang bagus untuk mempromosikan nama, merek, bahkan negara. Terlebih lagi jika klub yang diinvestasi adalah klub sepak bola asal Eropa.
Eropa adalah wilayah yang paling dipandang dalam pergelaran sepak bola. Dengan berinvestasi di sebuah klub besar Eropa, seorang pengusaha bisa dianggap sudah masuk ke salah satu pasar paling terkemuka di dunia, kata Khouri. Nama mereka akan terpandang dalam komunitas pengusaha internasional. Itu lah mengapa di kalangan pebisnis, terkadang value atau nilai itu lebih penting dari besarnya harga yang kita bayarkan.
Selanjutnya, Khouri berpandangan bahwa negara-negara Arab, dibandingkan dengan negara tua lain yang sudah maju, relatif sedang naik daun. Oleh karena itu, sangat penting untuk membentuk reputasi, terutama dengan audiens yang memiliki jumlah besar dari seluruh negara di dunia. Sepak bola adalah cara yang bagus untuk meraih tujuan ini.
Qatar menjadi salah satu negara yang paling menarik untuk mengkaji mengapa pengusaha-pengusaha Arab sangat tertarik dengan sepak bola.
Baca Juga: Saudi Vision 2030: Olahraga dan Bayangan Khashoggi
Lewis Sanders IV, reporter media DW, dalam artikelnya yang berjudul How Qatar Uses Soft Power to Conquer the World, mengatakan bahwa Qatar saat ini telah mempersiapkan dirinya untuk mengamankan posisinya di panggung global dengan berinvestasi dalam olahraga. Motivasi ini muncul karena Qatar mulai sadar bahwa sumber pendapatan mereka, yaitu minyak, tidak bisa diandalkan selamanya.
Selain faktor ekonomi, Sanders juga menyebutkan pergerakan Qatar di sepak bola Eropa adalah karena ingin mendapat dukungan global, khususnya negara Barat, secara politik. Hal ini karena negara tersebut sering mengalami gesekan politik dengan negara-negara Arab lain. Seperti ketika masa krisis diplomasi Qatar yang terjadi antara 5 Juni 2017 sampai 5 Januari 2021, di mana mereka diisolasi oleh negara-negara tetangganya, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab berdasarkan tuduhan dukungan terorisme.
Investasi sepak bola dapat memberikan reaksi berantai yang signifikan, seperti peluang untuk memperoleh rekan bisnis baru dan dukungan publik di negara klub sepak bola. Investasi sepak bola Qatar menurut Sanders adalah contoh gerakan kultural yang ofensif, jika dilihat dari segi dampaknya pada politik domestik dan kawasan di Semenanjung Arab. Puncak dari hal ini adalah ketika Piala Dunia 2022 nanti.
Lantas, bagaimana kacamata politik memahami fenomena ini? Apakah perilaku Qatar perlu ditiru pengusaha Indonesia?
Sebuah Manifestasi Soft Power
Upaya yang dilakukan Qatar menarik untuk dibahas dari aspek politik karena menjelaskan secara signifikan mengapa negara membutuhkan yang namanya soft power. Menurut Joseph S. Nye, soft power adalah pendekatan persuasif dalam hubungan internasional, yang biasanya melibatkan penggunaan pengaruh ekonomi atau budaya. Berbeda dengan kekuatan militer, soft power mengandalkan ketertarikan dari negara lain melalui diplomasi dan kebijakan luar negeri.
Soft power sendiri muncul dan menjadi populer karena lama kelamaan, pengaruh koersif dari kekuatan politik saja tidak cukup. Meskipun tank dan jet tempur masih berpengaruh, dunia saat ini sangat kritis terhadap eskalasi konflik, karena secara finansial konflik dapat menimbulkan kerugian yang besar. Oleh karena itu, soft power hadir sebagai cara untuk mencapai tujuan politis yang sebelumnya tidak bisa dicapai oleh hard power.
Ada hal menarik dari Qatar yang juga perlu kita perhatikan. Nasser Al Khelaifi, presiden PSG sekaligus Ketua European Clubs Association (ECA) sempat mengecam adanya gagasan European Super League (ESL) yang didirikan sebagai pesaing Union of European Football Association (UEFA). Hal ini menurut penulis merupakan kemenangan soft power Qatar karena selain berpihak pada UEFA, Al Khelaifi juga memperoleh dukungan masyarakat karena mayoritas publik menentang adanya ESL.
Intisarinya, apakah Indonesia perlu meniru upaya yang dilakukan Qatar?
Penulis berpendapat, sesungguhnya keadaan di Indonesia sendiri sudah sangat mendukung bagi para pengusaha yang ingin menanam modal di klub sepak bola besar Eropa, ini adalah salah satu olahraga paling populer di Indonesia. Belajar dari bagaimana dulu publik merespons akuisisi yang dilakukan Erick Thohir terhadap Inter Milan, seharusnya pengusaha-pengusaha besar Indonesia ikut termotivasi.
Baca Juga: Airlangga-Erick, Pasangan Cocok 2024?
Dengan mengikuti apa yang dilakukan Erick Thohir, kemungkinan potensi bisnis yang bisa dihasilkan di negara klub yang diakuisisi tidak terbatas. Bermacam bentuk bisnis, bahkan media, bisa masuk ke pasar Eropa dengan lebih mudah. Liga sepak bola Indonesia pun bisa diuntungkan dengan membuka berbagai bentuk kerja sama, contohnya kompetisi persahabatan antara klub Eropa dengan klub Indonesia.
Saat ini, muncul fenomena figur publik Indonesia membeli dan mendirikan klub sepak bola. Anak Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kaesang Pangarep dengan klub Persis Solo, Gading Marten dengan Persikota Tangerang, dan Atta Halilintar dengan AHHA PS Pati FC. Mungkin kita bisa melihat ini sebagai pertanda baik awal ketertarikan investor dari kalangan figur publik.
Ke depannya, jika lingkungan ekonomi semakin mendukung, sepertinya kita juga perlu mendorong pengusaha besar membeli klub raksasa Eropa, seperti Manchester United dan Chelsea. Karena selain dapat menimbulkan dukungan dan kebanggaan dari masyarakat Indonesia, akuisisi juga mampu membuka gerbang atlet sepak bola Indonesia untuk bertanding di panggung internasional. Toh pada akhirnya, hal itu akan kembali pada citra Indonesia sebagai manfaat dari soft power. (D74)