HomeNalar PolitikIndonesia Barokah, Barokah Untuk Siapa?

Indonesia Barokah, Barokah Untuk Siapa?

Bak Obor Rakyat di 2014, kemunculan tabloid Indonesia Barokah membuat geger panggung perpolitikan tanah air. Mungkinkah teknik propaganda macam ini masih menjadi strategi yang efektif?


PinterPolitik.com

[dropcap]P[/dropcap]raktik kampanye menyerang tak henti-hentinya terjadi menjelang pemilu presiden 2019. Setelah gaduh Obor Rakyat yang beberapa waktu lalu membuat geger perpolitikan tanah air, kini publik kembali digegerkan dengan beredarnya tabloid yang berjudul “Indonesia Barokah”.

Tabloid yang tak diketahui siapa penerbit dan redakturnya tersebut berisi konten yang memojokkan pasangan capres-cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Seperti dilansir Detik.com, pada headline halaman pertama di tabloid tersebut tertulis ‘Reuni 212: Kepentingan Umat atau Kepentingan Politik?’. Di kolom Liputan Khusus juga ada berita berjudul ‘Membohongi Publik untuk Kemenangan Politik?’ dengan karikatur Ratna Sarumpet, Fadli Zon, Sandiaga Uno, dan Prabowo Subianto. Sebagian artikel juga membahas tentang agama.

Dua wilayah sentral yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah menjadi area sasaran tersebarnya tabloid tersebut.  Bahkan, di wilayah Tasikmalaya, ditemukan sebanyak 3.482 eksemplar tabloid ini berterbaran di 27 wilayah kecamatan.

Bawaslu Kabupaten Blora juga menemukan sebanyak 635 eksemplar tabloid ‘Indonesia Barokah’ tersebar di 240 masjid se-Kabupaten Blora.

Tentu jumlah tersebut tidaklah sedikit dan tentunya diproduksi dengan matang dan sistematis. Sehingga wajar jika melihat kasus ini tidak hanya dalam kacamata pelanggaran Pemilu, tapi juga aspek-aspek politik yang meliputinya.

Lalu bagaimanakah melihat fenomena munculnya tabloid bak hantu ini? Menjelang hari pencoblosan, mungkinkah serangan ini menjadi senjata propaganda politik yang ampuh?

Terulangnya Propaganda

Pada Pilpres 2014, kemunculan tabloid Obor Rakyat sebagai media propaganda yang menyebarkan berbagai berita bohong terhadap calon presiden kala itu, Joko Widodo, begitu menggegerkan panggung politik tanah air.

Berkat berbagai macam fitnah dan propaganda yang begitu menyerang sang mantan gubernur DKI tersebut, sang Pemred harus merasakan dinginnya tembok hotel prodeo selama 8 bulan masa bui.

Namun kata-kata mengolok-ngolok sosok yang kini menjadi presiden RI tersebut tak mudah begitu saja dilupakan oleh ingatan publik. Tabloid yang memuat artikel berjudul “1001 Topeng Jokowi” itu, menjadi salah satu media black campaign yang diduga dimanfaatkan oleh lawan-lawan politiknya.

Secara mengejutkan, sang Pemred, Setiyardi Budiono, bahkan berencana akan menerbitkan kembali tabloid kontroversial ini menjelang bulan April nanti.

Sebagai alat propaganda dan penyebar hoaks yang kontroversial, media seperti koran ataupun tabloid bisa saja masih menjadi pilihan para politisi yang akan berlaga dalam panggung pemilu 2019.

Sekalipun propaganda adalah hal yang sudah sejak lama ada dalam politik, namun belakangan propaganda selalu diasosiasikan dengan pendekatan yang manipulatif dan tak jarang membuatnya identik dengan hoaks dan fake news.

Hal tersebut dikarenakan, dalam konteks Pemilu, propaganda biasa digunakan untuk mempengaruhi persepsi publik terhadap kandidat atau partai tertentu agar yang bersangkutan dipilih atau tidak dipilih oleh masyarakat.

Pandangan tersebut diungkapkan oleh Professor ilmu politik dari Michigan State University, Bruce Lannes Smith dalam tulisannya yang berjudul Propaganda, Communication and Public Opinion yang menyebut propaganda sebagai upaya yang tersistematis untuk memanipulasi keyakinan, sikap, persepsi, atau tindakan tertentu yang dilakukan dengan menggunakan simbol-simbol tertentu seperti spanduk, selebaran, tulisan-tulisan, musik, cara berpakaian, bahkan hingga gaya rambut sekalipun.

Maka bukan tidak mungkin bahwa kemunculan tabloid Indonesia Barokah ini adalah indikator bahwa propaganda melalui tabloid masih menjadi strategi ampuh. Terlebih tidak semua masyarakat kini melek terhadap sosial media digital, sehingga media cetak masih mampu berperan sebagai media yang terjangkau, utamanya masyarakat di wilayah pedesaan.

Selain itu, pemilihan masjid sebagai tempat penyebaran tabloid juga terbilang cerdas. Mengingat bahwa banyak  ormas Islam, juga memulai dakwah-dakwah propaganda mereka tentang khilafah dengan menyebarkan buletin-buletin di masjid dan musala.

Serupa Obor Rakyat?

Di tengah kemunculan Indonesia Barokah dan sejarah kelam Obor Rakyat tentu hal ini menjadi ironi tersendiri menjelang Pilpres 2019.

Meskipun begitu, hal yang menarik dari kemunculan tabloid Indonesia Barokah ini terbit di dua wilayah paling sentral dalam pemilu 2019 ini, yakni Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah dua provinsi dengan basis pemilih terbesar yang pantas menjadi rebutan bagi siapapun yang akan bertarung pada bulan April nanti.

Terlebih, mendekati 2 bulan menjelang hari pencoblosan, kubu Prabowo-Sandi tengah gencar memaksimalkan peraihan suara di provinsi Jawa Tengah. Sementara itu, Jawa Barat juga menjadi basis kemenangan sang jenderal pada pemilu 2014.

Maka adalah hal yang wajar jika lawan politik Prabowo-Sandi pertarungan dua wilayah ini akan dimaksimalkan melalui penyebaran media propaganda layaknya tabloid Indonesia Barokah.

Dalam menggali secara mendalam motif dibalik terbitnya Indonesia Barokah ini, sepintas balas dendam politik menjadi istilah yang sepertinya sementara ini mampu menggambarkan kemunculan tabloid hantu ini.

Sebagai senjata politik balas dendam, Indonesia Barokah menampilkan format berita yang juga memojokkan salah satu kandidat paslon. Secara khusus, pasangan Prabowo-Sandiaga akan dirugikan dengan kemunculan kampanye menyerang seperti initentang mereka. Terlepas apakah peredaran tabloid ini merupakan bagian dari black campaign atau bukan.

Jika dibandingkan dengan Obor Rakyat, sekilas tabloid yang juga memiliki situs website online ini, Nampak sebagai media-media mainstream pada umumnya, namun memang kecenderungan mendukung salah satu pasangan calon.

Persoalan selanjutnya apakah kemunculan tabloid Indonesia Barokah benar-benar  mengimitasi cara kerja Obor Rakyat pada 2014 lalu juga seolah menjadi petanyaan penting.

Obor Rakyat memang media yang dicitrakan sebagai penyebar hoaks pada Pilpres 2014 dan yang dianggap tak sedikit pun memenuhi kaidah jurnalistik. Setidaknya demikian yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo.

Lalu, apakah tepat menyebut tabloid Indonesia Barokah sebagai bentuk black campaign? Ataukah memang kemunculan tabloid ini merupakan teknik propaganda yang lebih halus dibanding Obor Rakyat?

Jika melihat tanggapan Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Blora, Jateng, yang menyatakan tidak akan membatasi peredaran tabloid tersebut dan hanya akan memantau peredarannya, tentu justru akan semakin membuka lebar celah kritik dalam hal ini dari oposisi. Pihak Bawaslu juga menyebut bahwa Tabloid ‘Indonesia Barokah’ tidak mengandung unsur pidana Pemilu.

Dalam konteks ini, memang terlalu terburu-buru jika menjustifikasi kemunculan tabloid ini didalangi oleh lawan politik Prabowo-Sandi, namun secara sekilas terlihat bahwa peredaran tabloid itu merugikan mereka dan menguntungkan kompetitor mereka. Kasus ini sejatinya cukup pelik dan rentan mengingat masih misteriusnya arsitek di balik nya. Terlepas dalang di balik kegaduhan ini, baik pihak petahana maupun oposisi sesungguhnya telah mengalami kerugian politik yang cukup besar.

Di tengah semakin meningkatnya apatisme politik dan wacana golput, drama seperti ini justru akan semakin membuat pemilih jenuh dan jengah dengan konstelasi politik yang ada.

Utamanya bagi citra petahana, jika tuduhan BPN atas peredaran tabloid Indonesia Barokah ini mengarah pada kubu petahana, tentunya akan semakin mempertaruhkan citra pemerintah yang akhir-akhir ini sempat memburuk.

Meskipun demikian, adalah sebuah langkah bodoh jika kubu petahana memang berada di balik penyebaran tabloid Indonesia Barokah ini. Segala kemungkinan politik pada akhirnya hanya akan menjadi misteri yang hanya akan membuat masyarakat menebak-nebak, benarkah ini serangan kubu petahana? (M39)

 

Baca juga :  Prabowo and The Nation of Conglomerates
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...