HomeNalar PolitikIndonesia 2030, Bubar Atau Besar?

Indonesia 2030, Bubar Atau Besar?

Pernyataan Prabowo Subianto terkait Indonesia bubar di 2030, masih menjadi kontroversi. Padahal di tahun yang sama, Indonesia pernah diprediksi akan menjadi negara maju.


PinterPolitik.com

“Seorang pesimis biasanya selalu benar dan orang optimis selalu salah, tapi semua perubahan besar umumnya dilakukan oleh orang-orang optimis.” ~ Thomas L. Friedman

[dropcap]W[/dropcap]acana Indonesia bubar 2030 yang didengungkan berkali-kali oleh Prabowo Subianto, pada akhirnya menimbulkan kontroversi. Berbagai politikus pun mulai mengeluarkan opininya masing-masing. Bagi politikus yang cenderung merapat ke Gerindra maupun PKS, tentu saja akan membela mati-matian pendapat Ketua Umum Gerindra tersebut.

Di sisi lain, tentu pernyataan Prabowo ini dipandang sebagai sikap pesimisme seorang calon pemimpin. Lihat saja Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang hanya tertawa dan mengharapkan masyarakat untuk terus berpandangan positif ke depan, begitu juga dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tidak mau ambil pusing.

Sementara, secara bijak mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menengahi dengan mengatakan kalau novel Ghost Fleet (2015) karya Peter Warren Singer dan August Cole, dapat dikatakan sebagai sebuah fiksi ilmiah. Walau keduanya merupakan pakar politik dan pertahanan asal AS, namun karyanya tersebut tak bisa dijadikan sebagai acuan.

Penggalan kisah yang menyatakan Indonesia sudah musnah di buku Ghost Fleet.

Kontroversi atas pernyataan Prabowo memang menjadi semakin sumir, sebab sang Jenderal mengaku kalau novel tentang perang dunia ketiga itulah yang menjadi referensinya. Padahal, kalau saja Prabowo mengajukan referensi yang lebih ilmiah dari sekedar buku fiksi, tentu tidak akan menjadi pernyataan yang blunder bagi dirinya.

Di tahun 2005 misalnya, seorang ilmuwan asal AS bernama Jared Mason Diamond pernah mengatakan kalau Indonesia akan menjadi negara yang musnah (collapse) bersama Kolumbia, Filipina, Rwanda, dan lainnya. Menurut peraih Pulitzer di tahun 1997 ini, ada banyak faktor penyebab yang bisa mengakibatkan Indonesia musnah.

Hanya saja, ilmuwan tersebut tidak menyatakan kapan atau tahun berapa tepatnya Indonesia akan punah. Sebaliknya, Lembaga riset Internasional McKinsey Global Institute di tahun 2012 malah memprediksikan kalau di tahun 2030, Indonesia akan menjadi salah satu negara maju, bahkan lebih maju dibandingkan Jerman.

Jadi kira-kira, apa yang lebih mungkin terjadi pada 203o, atau tepatnya 12 tahun lagi dari sekarang?

Indonesia Musnah Versi Jared

“Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya, maka pastilah bangsa itu akan musnah.” ~ Milan Kundera

Dalam bukunya, Collapse: How Societies Choose to Fail or Succeed, Jared M. Diamond yang merupakan profesor multidisiplin dari Universitas Cambridge, memaparkan unsur-unsur apa saja yang bisa membuat sebuah peradaban menjadi musnah. Selain bencana alam, ada banyak faktor lain yang secara perlahan namun pasti akan membuat sebuah wilayah atau negara menjadi “hilang”.

Di buku yang terbit tahun 2005, namun baru diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada 2014 ini, ia memprediksi Indonesia akan menjadi salah satu negara yang nasibnya punah layaknya Suku Maya di Benua Amerika. Secara spesifik, Jared mengatakan kalau bangsa Jawa, bisa jadi akan hilang kejawaannya akibat budaya asing yang lambat laun mempengaruhi masyarakat untuk meninggalkan budaya lokalnya.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Sementara itu, sebagai negara, Indonesia bisa saja akan musnah bukan hanya karena memang letaknya di cincin api (ring of fire) dunia, tapi juga karena kehilangan sumber daya alam dan lingkungannya. Habisnya sumber daya alam, baik mineral dan Migas akibat eksploitasi besar-besaran, serta rusaknya lingkungan alam akibat pembabatan dan alih fungsi hutan, juga dapat membuat negara ini hancur di masa datang.

Review Buku Collapse Jared Diamond.

Ancaman lain yang memungkinkan Nusantara hanya tinggal nama, adalah akibat begitu banyaknya suku bangsa yang ada. Indonesia memang memiliki sekitar 714 suku bangsa yang tersebar dari Sabang hingga Merauke, bahasa yang dimiliki pun sangat beragam. Keberagaman inilah yang di mata Jared, akan menjadi ancaman karena rentan dengan terjadinya perpecahan dan peperangan antar suku.

Secara geopolitik, Indonesia pun tak kalah riskannya. Letak negara ini yang begitu strategis, akan dilihat “sangat seksi” bagi negara-negara adidaya untuk menguasainya. Sumber daya alam yang melimpah, iklim yang bersahabat, akan menjadi daya tarik bagi bangsa atau negara lain untuk dapat mengambil alih itu semua. Tak heran bila saat ini, Indonesia selalu “diperebutkan” oleh kekuatan Barat dan Timur.

Unsur-unsur di atas itulah yang di mata Jared, bisa menyebabkan negara ini musnah. Baik hilang akibat kesalahan sendiri, maupun atas penjajahan bangsa lain. Melalui penjajahan secara fisik – seperti yang pernah dirasakan bangsa ini sebelum merdeka, maupun penjajahan secara ekonomi, di mana Indonesia akan kehilangan kedaulatannya akibat terlalu bergantung dengan bangsa lain.

2030, Bubar Atau Besar?

“Jika ingin memiliki negara yang besar, kita harus mampu mengubahnya sendiri.” ~ Cory Booker

Bagi penganut aliran pesimistik, faktor-faktor yang diungkapkan oleh Jared dalam bukunya tersebut, memang akan membuat bulu kuduk merinding. Siapa yang dapat menghalau semua “kutukan” yang dimiliki bangsa ini? Di sisi lain, bagi penganut aliran optimistik, kesemua faktor tersebut bukanlah menjadi ancaman. Buktinya, hampir 73 tahun merdeka, NKRI masih terlihat digdaya.

Mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo pun mengakui, Indonesia bisa bubar kapan saja, bahkan mungkin lebih cepat dari 2030. Tapi itu baru akan terjadi bila negara ini tidak mampu menjaga persatuan bangsa, tidak mampu menjaga sumber daya alam dan lingkungannya, serta tidak menjaga kemandirian dan kedaulatan negara.

Menurut Jenderal yang sebentar lagi purnawirawan ini, keberlangsungan Ibu Pertiwi terpulang dari bagaimana masyarakat dan Pemerintah menjaganya. Bangsa ini akan terpecah, bila masyarakatnya mudah terhasut oleh isu-isu SARA – seperti yang terjadi di beberapa wilayah, termasuk pada Pilkada Jakarta lalu. Negara juga akan musnah, bila Pemerintah tak mampu menjaga keseimbangan ekonomi dan hubungan luar negeri.

Baca juga :  Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Di sisi lain, bila masyarakatnya dapat mempertahankan nilai-nilai persatuan yang terkandung dalam Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika, maka semua keberagaman itu dapat berubah menjadi kekuatan yang semakin mempererat persatuan bangsa. Begitu pun Pemerintah, bila mampu memanfaatkan sumber daya alam yang ada dengan baik, maka akan mampu membawa negara ini menjadi semakin maju lagi.

Buktinya, pada 2012 lalu, lembaga riset internasional McKinsey Global Institute malah memprediksi Indonesia akan menempati posisi 7 dalam daftar negara-negara maju di tahun 2030. Sebab berdasarkan penelitian, lembaga ini melihat kalau karakteristik pertumbuhan ekonomi Indonesia ternyata berbeda dengan negara Macan Asia lainnya.

Contohnya saja dengan Tiongkok, mereka menilai, kebesaran ekonominya sangat bergantung dari tingginya ekspor. Sehingga kondisi “perang dagang” negara Tirai Bambu dengan AS saat ini, akan memberikan dampak cukup besar. Sedangkan perekonomian Indonesia lebih ditunjang dengan domestik dalam negeri yang sangat besar, sebab kontribusi pendapatan negara dari komoditas ekspor hanya 11 persen.

Besarnya konsumsi domestik ini menjadi faktor yang menguntungkan, terutama dalam menstabilkan laju pertumbuhan ekonomi. Apalagi di tahun 2020 hingga 2030, Indonesia diprediksi akan mendapatkan bonus demografi, di mana jumlah angkatan kerja dengan usia 15-64 tahun mencapai 70 persen. Hanya 30 persen saja penduduk yang berusia tidak produktif, yaitu 14 tahun ke bawah dan di atas 65 tahun.

Secara perekonomian, Indonesia memang memiliki potensi untuk bertumbuh besar. Namun tak dipungkiri, ada banyak tantangan yang harus dihadapi Pemerintah. Terutama dalam mengurangi kesenjangan di masyarakat, agar tidak mudah diprovokasi oleh pihak-pihak yang ingin menghancurkan persatuan bangsa. Karena itulah, Jokowi sebagai kepala negara, optimistis negara ini akan mampu menghadapi tantangan itu.

Sebagai sosok yang – katanya – akan kembali maju di Pilpres 2019 nanti, ucapan Prabowo yang terdengar pesimistis dan menakut-nakuti ini, memang menjadi blunder baginya. Namun bisa jadi juga, ia sengaja melakukannya untuk menarik perhatian masyarakat. Dalam teori kampanye persuasif, cara ini disebut sebagai teknik pay off atau ganjaran. Melalui pernyataan yang terkesan “mengancam”, terbukti Prabowo langsung mendapatkan “panggung” di masyarakat.

Sayangnya, saat mengargumentasikan pernyataannya itu, Prabowo bisa dibilang terlalu underestimate, sehingga kurang memberikan acuan yang lebih ilmiah dan diterima akal sehat. Padahal, kalau saja ia mampu menjabarkan dengan baik, menggunakan pemikiran Jared Diamond di atas misalnya, mungkin simpati yang ia harapkan akan berhasil dicapai.

Jadi, sebenarnya mana yang lebih masuk akal bagi nasib negeri ini pada 12 tahun mendatang? Akankah bubar seperti yang nyatakan Prabowo, atau menjadi hebat layaknya harapan Jokowi?  (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...