Penobatan Indomie sebagai mi instan paling enak di dunia menyita perhatian publik. Bagaimana caranya Indomie bisa mendapat pengakuan internasional? Mungkinkah mereka mengikuti strategi yang digunakan McDonald’s?
Sebut saja pria yang bertampang murung itu Brian. Wajar saja bila ia terlihat sedih, karena ternyata, sejak pagi tadi belum ada satu makanan pun yang masuk ke dalam mulutnya yang kering.
Well, beginilah nasib seorang mahasiswa yang nge-kost jauh dari rumah orang tuanya, salah perhitungan finansial sedikit, hidup bisa merana. Yah, setidaknya sampai ia diberi uang jajan lagi bulan depan.
Namun, ibarat orang yang memenangkan lotre miliaran rupiah, Brian merasakan kegembiraan yang tiada tandingnya ketika ia menyadari masih memiliki satu makanan di dalam lemarinya yang belum termakan: satu bungkus Indomie Mi Goreng!
Skenario yang dialami Brian ini mungkin juga terjadi pada jutaan orang Indonesia yang sedang ingin makan hemat. Ya, Indomie rasanya selalu menjadi andalan ketika duit sedang menipis. Harganya yang murah, ditambah rasanya yang enak, membuatnya sebagai salah satu makanan yang paling dicintai orang-orang Indonesia.
Akan tetapi, kelezatan Indomie tidak hanya dinikmati orang Indonesia. Faktanya, Indomie beberapa kali mendapat apresiasi internasional. Contohnya seperti artikel dari koran asal Amerika Serikat (AS), Los Angeles (LA) Times, yang sempat viral beberapa waktu lalu, karena telah menempatkan Indomie rasa Barbeque sebagai produk mi instan paling enak di dunia.
Tidak hanya itu, Indomie juga ternyata dinobatkan sebagai salah satu produk yang paling sering dibeli oleh seluruh orang di dunia. Dalam survei yang dilakukan lembaga riset Kantar, yang bernama Global Brand Footprint 2021, Indomie menempati posisi ketujuh, dengan nilai Poin Jangkauan Konsumen (Consumer Reach Points) sebesar 2,2 miliar, tepat di bawah produk minuman asal AS, Pepsi.
Indomie sendiri kini telah diekspor ke lebih dari 80 negara, sehingga wajar bila merek makanan yang lahir tahun 1970 itu semakin populer.
Lantas, bagaimana sebenarnya produk mi instan bisa sukses di luar negeri?
Baca juga: Sejarah Perang Coca-Cola vs Pepsi
Tiru Kesuksesan McDonalds?
Direktur PT Indofood Sukses Makmur, Franciscus Welirang dalam sebuah wawancara dengan media Katadata, mengungkapkan bahwa awal mula bagaimana Indomie bisa sukses di luar negeri bermula dengan pendirian Direktorat Ekspor Indofood pada tahun 1992. Direktorat ini bertugas mengembangkan ekspor Indomie ke berbagai negara, dan aktif mempelajari semua izin impor di setiap negara.
Pada awalnya, ekspor Indomie difokuskan ke negara-negara dengan jumlah tenaga kerja Indonesia (TKI) terbanyak, seperti Arab Saudi, Hong Kong, dan Taiwan. Seiring perkembangan waktu, selain mengandalkan TKI, Indomie juga kemudian dibawa oleh para pelajar-pelajar Indonesia di luar negeri, sehingga Indomie juga populer di negara-negara seperti AS dan Australia, negara yang umumnya menjadi tujuan pelajar Indonesia.
Wientor Rah Mada dalam tulisannya Strategi Sukses Pengembangan Pasar Internasional Indomie Menguasai Niche Mie Instant Dunia, mengatakan, selain dengan pembangunan branding yang dibantu oleh masyarakat Indonesia di luar negeri, Indomie mampu mengukuhkan eksistensi internasionalnya dengan membangun sejumlah regional office dan pabrik di negara-negara tujuan ekspor utamanya.
Pembangunan fasilitas-fasilitas ini pada akhirnya dapat mempermudah proses distribusi produk Indomie ke konsumen di banyak wilayah, sehingga tidak heran, banyak kemudian warung-warung Indomie di luar negeri. Salah satu warga asing yang diuntungkan adalah seorang pemuda bernama Aboki di Nigeria, kabarnya ia berhasil menjadi jutawan hanya dengan berjualan Indomie. Lalu, Welirang juga mencontohkan keadaan di Arab Saudi yang setidaknya sudah ada lebih dari seribu warung yang khusus menjual Indomie.
Semua itu dikemas dengan cantik. Kemampuan Indomie menjaga cita rasa produk yang diekspor memiliki kualitas yang sama dengan apa yang dimakan dan dirasakan oleh orang-orang Indonesia juga menjadi poin yang penting. Bahkan, di beberapa negara, Indomie menciptakan rasa yang disesuaikan pada makanan kegemaran warga di sana, seperti rasa chicken tikka masala di Inggris, dan rasa biffsmak di Norwegia.
Faktor-faktor di atas tampaknya mampu mengingatkan kita pada satu produk lain yang juga mendapatkan kesuksesan internasional melalui strategi pemasaran yang tidak jauh berbeda, dia adalah McDonald’s (McD). Sebagai brand makanan cepat saji yang sering dianggap telah melakukan gebrakan terdahsyat dalam memasarkan produknya secara global, prinsip-prinsip pemasaran McD diberi julukan tersendiri, yaitu McDonaldisasi.
George Ritzer dalam bukunya The McDonaldization of Society, menjelaskan bahwa ada empat poin utama McDonaldisasi. Pertama, efisiensi, yang artinya penerapan metode yang dapat memuaskan keinginan konsumen tanpa perlu mengeluarkan tenaga atau waktu yang bisa merugikan.
Kedua, kalkulasi. Di era modern ini, Ritzer yakin bahwa kuantitas telah menjadi setara dengan kualitas, seperti banyaknya sesuatu atau kecepatan pengirimannya, dapat diartikan menjadi sesuatu yang sudah pasti bagus.
Ketiga, prediktabilitas. Konsumen ingin jaminan bahwa produk dan layanan yang ditawarkan akan sama dari waktu ke waktu dan di semua tempat. Konsumen akan senang jika ke McD karena mereka tahu bahwa McD tidak akan memiliki rasa yang berbeda jika kita membelinya di luar negeri.
Keempat, kontrol, yaitu standarisasi yang semakin waktu semakin disesuaikan dengan meningkatnya peran mesin sebagai pengambil kreativitas manusia.
Dari keempat poin di atas, kita bisa melihat bahwa ada indikasi Indomie telah menerapkan konsep McDonaldisasi. Dengan pembangunan pabrik dan fasilitas distribusi yang agresif di luar negeri, Indomie bisa menjawab permasalahan efisiensi dan kalkulasi, karena dari proses produksi dan distribusinya tidak terlalu perlu bergantung pada produksi di Indonesia secara berlebihan.
Lalu, untuk prediktabilitas, tentu sudah terjawab dengan bagaimana rasa Indomie bisa sama-sama enak entah dimakan di Indonesia ataupun di luar negeri. Sebagai nilai plus, seperti restoran McD yang setiap waktunya mengeluarkan menu yang disesuaikan dengan selera orang Indonesia, Indomie juga menerbitkan rasa-rasa yang menjadi makanan kesukaan masyarakat di banyak negara.
Lalu, jika Indomie memang memiliki potensi yang kuat sebagai sebuah produk global, mungkinkah produk mi instan ini dijadikan sebagai alat politik luar negeri Indonesia?
Baca juga: Makna Bulu Tangkis Bagi Jokowi
Kesempatan Perkuat Identitas Nasional?
Studi mengenai keterkaitan antara makanan dan politik internasional di era modern cukup banyak diteliti dalam lingkungan hubungan internasional. Hal ini terdorong oleh adanya interaksi transnasional yang semakin intens dengan adanya fenomena globalisasi. Oleh karena itu, muncul pandangan bahwa makanan tidak lagi berfungsi sebagai suatu produk, melainkan mampu menjadi sesuatu yang dapat menciptakan rasa keterikatan emosional nasionalisme dengan penduduk asalnya.
Penjelasan di atas merupakan pengertian dari suatu konsep yang bernama gastronasionalisme. Michaela De Soucey dalam tulisannya Gastronationalism, memaparkan bahwa tidak hanya makanan itu sendiri, tetapi segala proses, mulai dari produksi sampai konsumsi, makanan mampu menstimulasikan rasa nasionalisme dan identitas nasional.
Baca juga: Mencari Strategi ‘Indonesian Wave’ Sandiaga
Soucey juga menyebutkan, fenomena gastronasionalisme adalah bukti nyata bahwa dalam dunia yang modern, negara sebagai entitas politik tradisional mulai dihadapi permasalahan-permasalahan yang super rumit. Karena makanan telah menjadi aktor internasional, maka secara sosiologis, masyarakat dari suatu negara menjadi merasa perlu mempertahankan nama baik makanannya karena makanan dianggap telah menjadi sebagian dari negara mereka.
Ini kemudian dibuktikan dengan sejumlah berita yang mengatakan ada beberapa negara yang mulai mengaku Indomie adalah produk asli negara mereka, bukan dari Indonesia, contohnya seperti yang terjadi di Nigeria dan Malaysia. Sebagai respons, banyak warganet yang berusaha mempertahankan nama baik Indonesia dengan menegaskan bahwa Indomie adalah produk asli Indonesia.
Namun, ini tentu tidak mengartikan meningkatnya peran Indomie dalam dunia internasional telah menjadi ancaman bagi Indonesia. Indomie yang telah berhasil menembus pasar internasional, menyimpan segudang manfaat politik bagi Indonesia. Dalam suatu konsep yang disebut gastrodiplomasi, dikatakan bahwa makanan sesungguhnya telah menjadi alat diplomasi modern.
Paul Rockower dalam tulisannya The State of Gastrodiplomacy, menilai bahwa diplomasi melalui makanan dapat berdampak lebih efektif dari diplomasi konvensional yang dilakukan oleh para elite diplomat, karena makanan mampu menyentuh audiens yang lebih luas, tidak hanya segelintir orang yang terlibat dalam rapat multilateral.
Oleh karena itu, meski apa yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia cukup mendukung kiprah Indomie di panggung internasional, kita masih perlu melakukan upaya-upaya yang dapat menekankan bahwa Indomie adalah produk Indonesia.
Mungkin, kita bisa meniru apa yang dilakukan oleh Korea Selatan (Korsel), di mana mereka memiliki sejumlah lembaga riset yang memang difokuskan dalam menjadikan suatu produk makanannya mampu menjadi produk internasional unggulan. Contohnya seperti pendirian World Institute of Kimchi, suatu badan yang tidak hanya menjamin mutu makanan kimchi, tetapi juga melakukan inovasi baru agar produksi kimchi bisa sesuai dengan kepentingan nasional Korsel.
Barang kali, kita pun bisa punya World Institute of Indomie? (D74)
Baca juga: Olahraga, Harga Diri Xi Jinping?