Bagai gayung bersambut, manuver diplomasi India ke kawasan Asia Tenggara diterima dengan positif oleh ASEAN, termasuk juga oleh Indonesia.
[Artikel ini adalah analisis wawancara pinterpolitik.com dengan Jamil Maidan Flores, intelektual publik dalam bidang geopolitik, filsafat, dan sastra]
PinterPolitik.com
Upaya India untuk memenuhi visi luar negeri “Look East” terus digarap. Pada 4 Februari 2018 India telah menyerukan kerja sama pertahanan secara multilateral dengan seluruh negara anggota ASEAN. Langkah ini, menurut lembaga think tank pertahanan India Vivekananda International Foundation (VIF), adalah penting dan sangat strategis agar India mampu berperan menyelesaikan konflik di Laut Cina Selatan (LCS).
Sekretaris untuk Asia Timur Kementerian Luar Negeri India, Pritee Saran pun mengatakan bahwa India berkomitmen menjaga pertahanan maritim kawasan, tak hanya di Samudera Hindia sebagai “teras rumah” mereka, tetapi juga Samudera Pasifik dan khususnya terkait konflik di LCS.
“Look East” sendiri adalah seperangkat visi kebijakan luar negeri yang memosisikan Asia Tenggara sebagai kawasan strategis bagi India. Dengan visi yang ditelurkan pertama kali pada 1991 ini, India berupaya mengejar dominasi Tiongkok yang telah unggul terlebih dahulu di Asia Tenggara, utamanya sejak keberhasilan reformasi ekonomi Tiongkok tahun 1979.
India sepertinya tengah mendapatkan momentum “Look East”-nya. Seruan kerja sama pertahanan dengan ASEAN ini merupakan finalisasi diplomasi India yang telah sukses membangun kerja sama bilateral dengan satu per satu negara anggota ASEAN. Dalam tiga bulan terakhir, setidaknya India telah bertemu dengan Filipina, Singapura, dan Indonesia.
Saat ini mungkin adalah titik tertinggi relasi India dengan ASEAN—bertepatan dengan 25 tahun hubungan India-ASEAN—yang dapat menguntungkan kedua belah pihak. Dalam hal ini, Indonesia pun dapat mengambil keuntungan. (Baca juga: Indonesia, Menuju Panglima Indo-Pasifik)
Tulisan ini akan mengupas skema baru kekuatan di Asia-Pasifik (Indo-Pasifik) berdasarkan wawancara dengan Jamil Flores, intelektual publik dan ahli geopolitik Indonesia.
Ambisi India Salip Tiongkok
“Samudera Hindia, tentu saja, adalah halaman depan India. Dan proyek “string of pearls” Tiongkok di Samudera Hindia memberi para pemimpin India banyak hal yang perlu dikhawatirkan.”
-Jamil Flores-
India telah lama menunggu momentum untuk menyalip kedigdayaan ekonomi Tiongkok, yang sudah terlebih dahulu berkuasa dalam geoekonomi Asia Tenggara sejak tahun 1990-an.
Sementara reformasi dan liberalisasi ekonomi India sendiri baru dimulai tahun 1991—bersamaan dengan lahirnya visi “Look East” mereka. Baru pada 2014 India mulai menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. India mengalami percepatan ekonomi secara pesat, mencapai 7,2 % per tahun, dengan sektor manufaktur sebagai panglimanya.
Kemudian, setelah sukses menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan, India telah siap membangun kekuatan militer dan pertahanan kawasannya untuk melawan ambisi militer Tiongkok. Faktor inilah yang meyakinkan India, menurut Jamil Flores, untuk mengambil langkah diplomasi pertahanan dengan Amerika Serikat (AS) secara lebih ekstensif.
India dan AS mulai merealisasikan rencana ini melalui Quadrilateral Security Dialogue atau Quad pada November 2017 lalu, yang juga diikuti oleh Jepang dan Australia sebagai “mata AS di Asia”. Adanya kerja sama Quad, menurut jurnalis senior dari Tiongkok Cary Huang, berpotensi menjadi NATO versi Indian Rim, ketika Pacific Rim gagal membentuk pakta pertahanan. Ada banyak irisan kepentingan pertahanan India dan AS dalam kerja sama ini.
Bagi India, Quad memang menambah potensi mereka untuk menyalip Tiongkok dan menguasai poros baru geopolitik Asia.
Sebelum membahas apa saja keuntungan India, adakah kerugian mereka bergabung dalam Quad? Menurut Jamil Flores, setidaknya India sendiri sempat ragu untuk menjalin kerja sama pertahanan dengan AS, bila melihat hubungan kedua negara pada era Perang Dingin lalu. India memang lebih dekat dengan Uni Soviet dan menjadikan negara komunis tersebut rekan dagang mereka yang utama sepanjang Perang Dingin.
India pun masih melihat adanya kedekatan AS dengan Pakistan, tetangga mereka yang paling sering berpanas-dingin. Sekalipun AS telah mencabut bantuan militer kepada Pakistan pada akhir 2017, sejarah kedekatan AS-Pakistan tetap menjadi kerugian moril yang perlu selalu diperhatikan oleh India.
Dengan segala keraguan itu, mau tak mau, India tetap bergabung dengan Quad guna mengawasi “string of pearl” Tiongkok yang semakin berkembang secara militer, seiring dengan semakin besarnya kepentingan distribusi minyak Tiongkok di Samudera Hindia.
Quad sukses dibangun sebagai supratruktur atau penopang regional, maka India akhirnya memiliki kesempatan untuk membangun infrastruktur regional dengan ASEAN, yang manuver-manuvernya dapat dilihat dalam tiga bulan terakhir. Modal diplomasi India rasanya telah mencukupi untuk “menghantam” Tiongkok di Asia Tenggara, dengan hubungan positif dengan seluruh negara anggota ASEAN.
Sementara dengan Indonesia khususnya, pendekatan India merupakan kelanjutan dari hubungan baik, namun belum produktif, antara kedua negara. Apakah sambutan baik diberikan oleh Indonesia? Tentu saja. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arramanatha Nasir menyebut prioritas diplomasi pemerintah di tahun 2018 ini memang untuk terus meningkatkan hubungan baik dengan India. Bahkan, menurut Jamil Flores, Indonesia-India memiliki suatu ‘hubungan natural yang tak terbantahkan sejak lama’.
Kedekatan ini terbukti belakangan, dengan kerja sama ekonomi senilai US$ 25 miliar pada 2015 dan tentu saja saat India akhirnya menjadi tuan rumah India-ASEAN Commemorative Summit beberapa waktu lalu, yang juga mengundang Menteri Retno Marsudi sebagai salah satu keynote speaker.
Tak hanya bagi Indonesia, pertemuan ini adalah bagian penting dari grand design strategi India di LCS, Pacific Rim, sekaligus Indian Rim.
Dengan Amerika Serikat, Indonesia Lebih Untung?
“String of Pearls” seolah menjadi “Jalur Sutra Maritim”, yang bahkan lebih mengkhawatirkan di India. Di sebelah utara India, Cina sedang membangun jalan sutera darat. Mengingat semua faktor ini, India tidak memiliki pilihan selain untuk meningkatkan hubungan keamanan yang lebih dekat dengan AS”
-Jamil Flores-
India akhirnya mampu melewati hambatan sejarah abu-abu mereka dengan AS untuk kemajuan ekonomi dan pertahanannya di kawasan. Pertanyaannya, apakah Indonesia juga mampu?
Ada satu poin menarik dari wawancara dengan Jamil Flores tentang kekuatan AS dalam skema geopolitik ini. Menurut Jamil Flores, kekuatan AS patut diperhitungkan secara positif, karena melalui kerja sama dengan AS, Jepang, dan Australia, Indonesia memiliki alternatif solusi penyelesaian konflik dengan Tiongkok di LCS.
“Tidak seperti Tiongkok—yang merupakan ancaman potensial bagi Indonesia di Laut Natuna—Jepang dan Australia sama sekali bukan merupakan ancaman potensial bagi Indonesia,” ujar Jamil Flores. AS, melalui Jepang dan Australia, dinilai mampu mengimbangi ambisi dan agresi Tiongkok di LCS.
“Dan kehadiran mereka di Pasifik Barat, khususnya di LCS, seharusnya menenangkan Indonesia,” menurut Jamil Flores.
Argumen ini menarik bila ditinjau berdasarkan faktor kekuatan militer negara-negara Asia. Jika melihat poros Pacific Rim (Asia Timur-Asia Tenggara) yang diprakarsai oleh Tiongkok, maka Tiongkok jelas adalah kekuatan militer sekaligus ekonomi yang begitu adidaya. Negara-negara ASEAN yang hampir semuanya adalah negara berkembang, tentu masih terseok secara ekonomi dan militer di hadapan Tiongkok.
Di sisi lain, poros Quad memberi alternatif kekuatan militer pendukung negara-negara ASEAN. India-Jepang khususnya adalah kekuatan militer yang dapat mengimbangi Tiongkok. India adalah kekuatan militer terbesar keempat di dunia versi Global Fire Power, satu peringkat di bawah Tiongkok. Sementara Jepang ada di peringkat ketujuh versi survey yang sama.
Kedua negara itu, sangat bisa mewakili kegeraman AS akan konflik LCS, yang terhambat oleh kondisi geografis.
“AS tidak dapat menahan ambisi Tiongkok di LCS sendirian, karenanya mereka membutuhkan bantuan Jepang dan Australia untuk mengawasi militer Tiongkok. Dan AS juga membutuhkan India untuk mengawasi Tiongkok di Samudera Hindia,” ujar Jamil Flores.
Bukan hanya secara militer, secara ekonomi pun ada keuntungan yang dapat diambil oleh ASEAN, khususnya Indonesia, dari poros India-AS.
Jepang dan Australia, melalui pertemuan bilateral kedua negara, menyebut akan mendorong kerja sama sektor jasa dan investasi di Asia Tenggara. Lalu, bila kepentingan AS ada juga di sana, sangat mungkin sektor regulasi hak intelektual, regulasi ketenagakerjaan antar negara, serta pengadaan barang-jasa yang lebih masif dapat didorong di ASEAN. Asumsi ini menengok kepada perjanjian Trans-Pacific Partnership (TPP) yang sudah dibatalkan oleh AS, yang bisa saja dimasukkan kembali poin-poin perjanjiannya bila poros ini terbentuk.
Sementara Indonesia telah memiliki hubungan ekonomi yang besar dengan Tiongkok, khususnya sejak Presiden Joko Widodo menjabat. Di era Jokowi, Indonesia memang mengalami peningkatan kerja sama ekonomi dengan Tiongkok. Walaupun Tiongkok belum mampu membawa pengaruh OBOR cukup besar di Indonesia, nyatanya sentimen isu pro-Tiongkok tetap ada.
Lalu, perlukah Indonesia melirik poros baru bentukan AS ini?
Karena lebih besarnya cakupan kerja sama dan jumlah investasi yang kemungkinan diteken dengan AS dibandingkan dengan Tiongkok, maka Indonesia dapat sungguh mempertimbangkannya. Bagi Jokowi sendiri, tentunya sentimen anti-Tiongkok dapat diminimalisasi seiring menjauhnya kerja sama ekonomi dengan Tiongkok dan mendekatnya dengan poros ekonomi lain.
Lebih dari urusan rezim Jokowi saja, kerja sama ini berpotensi berbuah baik bagi hubungan AS-Indonesia, karena Indonesia dapat menjadi aktor AS di Samudera Pasifik, sama halnya seperti India yang sudah menjadi aktor AS di Samudera Hindia.
Apa yang dapat menjadi “kendaraan” Indonesia untuk mengejar tujuan ini?
Jamil Flores meyakini, East Asia Summit (EAS) dan Indian Ocean Rim Association (IORA) dapat menjadi “kendaraan” yang paling efektif. EAS adalah forum yang saat ini tengah dipimpin oleh ASEAN, sementara IORA tengah dipimpin oleh Indonesia. Indonesia dapat pula menggunakan ASEAN sebagai medium diplomasi yang efektif dengan kedua organisasi.
“ASEAN memiliki Perjanjian Amina dan kerjasama-kerjasama yang mengikat secara hukum di Asia Tenggara, yang semua anggota EAS non-ASEAN dapat mengaksesnya,” ujar Jamil Flores.
Di samping dapat memanfaatkan EAS, Indonesia juga dapat memanfaatkan IORA lebih efektif lagi. Menurut Jamil Flores, walaupun IORA adalah organisasi yang longgar dan tidak seketat ASEAN, namun dapat bermanfaat untuk mempromosikan kerja sama ekonomi dan budaya. Tinggal kerja sama pertahanan yang kali ini tengah diusahakan oleh Quad dan ASEAN, khususnya Indonesia.
“Indonesia berperan sebagai titik tumpu antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Indonesia milik kedua samudera, dan karena itu tidak mampu keluar dari IORA dan ASEAN, bersama dengan forum yang dipimpin ASEAN, termasuk EAS,” jelas Jamil Flores.
Dengan begitu, peluang Indonesia untuk “menjabat” pemimpin di poros baru ini terbuka lebar. EAS dan IORA akan terus menjadi “senjata” diplomasi dan penguatan kerja sama Indonesia dengan poros AS di Asia, yakni India, Jepang, dan Australia. (R17)