Bukan Alissa, Yenny, maupun Anita, sosok Inayah Wahid justru yang paling mirip Presiden RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur)? Mengapa demikian?
“He did not prepare me to fight. If I had been a son, a sword thrust into my hand the moment I could walk… instead, I was given my father’s cup, taught the name of every lord and castle between Storm’s End and the Twins, but not the difference between hilt and foible. And they know it. And Daemon as well.” – Rhaenyra Targaryen, House of the Dragon (2022-sekarang)
Peribahasa yang mengatakan bahwa buah tidak jatuh jauh dari pohon memang ada benarnya. Sering kali, anak-anak akan memiliki sifat dan perilaku yang sama dengan orang tua mereka.
Banyak karakter dalam Game of Thrones (2011-2019) dan House of the Dragon (2022-sekarang) mencerminkan bagaimana sifat-sifat orang tua serta identitas keluarga mereka berperan penting dalam membentuk kepribadian dan ambisi mereka. Hal ini tidak hanya mencerminkan dinamika keluarga, tetapi juga menggambarkan bagaimana warisan budaya dan politik suatu keluarga dapat memengaruhi keputusan individu.
Dalam Game of Thrones, salah satu contoh paling jelas adalah hubungan antara Cersei Lannister dan Tywin Lannister. Keduanya berbagi sifat ambisius, cerdas, dan keinginan untuk menjaga kehormatan keluarga di atas segalanya. Tywin adalah figur yang strategis dan tanpa kompromi, sifat yang coba ditiru oleh Cersei, meskipun sering kali emosinya menghalangi keefektifan strateginya.
Contoh lain adalah Jon Snow, yang mewarisi rasa kehormatan dan tanggung jawab moral dari ayah angkatnya, Eddard Stark. Jon dan Ned sama-sama rela mengorbankan kepentingan pribadi demi melakukan apa yang mereka anggap benar.
Dalam House of the Dragon, dinamika ini juga terlihat dalam hubungan antara Rhaenyra Targaryen dan ayahnya, Viserys I Targaryen. Meskipun berbeda dalam pendekatan mereka terhadap kekuasaan, keduanya berbagi cinta mendalam terhadap keluarga dan keinginan untuk mempertahankan stabilitas kerajaan.
Rhaenyra juga memiliki sifat pemberontak yang mirip dengan pamannya, Daemon Targaryen, yang mencerminkan karakter khas keluarga Targaryen: ambisius, penuh gairah, dan terkadang sulit dikendalikan. Hal serupa terjadi pada Aemond Targaryen, yang mewarisi obsesi dengan kekuatan dan kehormatan dari tradisi Targaryen sebelumnya.
Dari contoh-contoh ini, terlihat bahwa banyak karakter di kedua serial tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh sifat individu orang tua mereka, tetapi juga nilai-nilai yang diwariskan oleh keluarga (house) mereka. Di dunia Westeros, warisan ini menentukan hubungan mereka dengan kekuasaan, kehormatan, dan keluarga.
Lantas, mengapa ini penting dalam dinamika politik, termasuk di Indonesia? Bagaimana ini bisa turut menggambarkan dinamika politik di Indonesia di masa kini?
Keluarga dalam Politik
Keluarga memiliki peran dalam banyak hal. Tidak jarang, banyak sifat dan perilaku seseorang terbentuk karena kebiasaan dan edukasi yang terjadi dalam lingkup keluarga.
Keluarga bisa dibilang menjadi lingkaran pertama dari sosialisasi seorang individu. Nilai, norma, dan prinsip kebanyakan dimulai ditanamkan pada individu dari lingkup ini.
Inipun berlaku dalam nilai-nilai politik. Seperti yang ditulis oleh Stanley Allen Renshon dalam tulisannya yang berjudul “Personality and Family Dynamics in the Political Socialization Process” dengan mengutip teori sosialisasi politik, orientasi politik seseorang akan terbangun melalui keluarga.
Boleh jadi, ini juga yang berlaku dalam dinamika politik, khususnya pada mereka yang sudah besar di lingkungan keluarga politik. Keluarga Targaryen, misalnya, memiliki nilai-nilai politik yang turut diteruskan dari keturunan ke keturunan.
Nilai persatuan yang dimiliki oleh Rhaenyra, misalnya, merupakan warisan nilai yang selalu diajarkan oleh ayahnya, Viserys. Atas alasan inilah, akhirnya Rhaenyra berusaha menjaga prinsip tersebut dengan memerangi Aegon.
Besar kemungkinan, hal ini juga terjadi dalam dinamika keluarga politik Indonesia. Keluarga Soekarno, misalnya, memiliki sejumlah nilai yang diwariskan pada anaknya, yakni Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri.
Selain keluarga Soekarno, terdapat juga keluarga Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Anak-anak Gus Dur, seperti Alissa Wahid, Yenny Wahid, Anita Wahid, dan Inayah Wahid, aktif dalam mendorong nilai-nilai pluralisme dari ayahnya.
Namun, jika Megawati kini bisa menjadi salah satu tokoh politik terkuat di Indonesia, bagaimana dengan nasib anak-anak Gus Dur? Mampukah mereka memiliki kekuatan besar seperti mendiang ayahnya di masa lampau?
Inayah Wahid, the Next ‘Gus Dur’?
Menariknya, anak-anak Gus Dur tidak serta merta memiliki karier politik sesukses Megawati. Bahkan, karena dinamika politik yang terjadi, mereka terdepak dari partai yang dibangun oleh Gus Dur sendiri, yakni PKB.
Namun, bukan berarti Alissa, Yenny, Anita, dan Inayah tidak memiliki modal politik. Modal utama dari mereka sebenarnya adalah Gus Dur sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, merekalah yang merupakan sosok-sosok yang menjadi ahli waris atas nilai-nilai Gus Dur, mengingat mereka merupakan anak–anak yang dididik dalam lingkungan keluarga Gus Dur.
Namun, itu saja belum tentu cukup. Agar publik bisa mempersepsikan bahwa mereka penerus Gus Dur, perlu legitimasi tertentu. Salah satunya adalah kesamaan persona dengan Gus Dur sendiri.
Mengacu pada buku Magedah E. Shabo yang berjudul Techniques of Propaganda and Persuasion, terdapat sebuah teknik persuasi yang disebut sebagai asosiasi (association) atau propaganda transfer. Teknik ini menghubungkan satu individu, kelompok, atau objek dengan individu, kelompok, atau objek lainnya.
Gus Dur, misalnya, dinilai memiliki gaya humor yang unik. Kerap kali, Gus Dur memiliki puchlines yang bisa digunakan dalam retorika politiknya, selain nilai dan gagasan politik yang beliau miliki.
Namun, dari anak-anak Gus Dur, menariknya terdapat satu putrinya yang cukup mewarisi satu sisi ini. Dia adalah Inayah Wahid yang akhir-akhir ini viral dengan lelucon-lelucon politiknya, bahkan turut menyindir banyak pihak seperti Wakil Presiden (Wapres) RI Gibran Rakabuming Raka dan komedian kondang bernama Kiky Saputri.
Bukan tidak mungkin, gaya humor ini justru sangat mudah diasosiasikan dengan gaya humor Gus Dur. Publik akan lebih mudah juga membedakan Inayah Wahid dengan anak-anak trah lainnya, entah itu trah Soekarnno, trah Soeharto, trah Djojohadikusimo, maupun trah Joko Widodo (Jokowi).
Well, bila asosiasi demikian benar bisa terjadi, bukan tidak mungkin, layaknya Rhaenyra dan Viserys, publik bisa saja melihat sosok Gus Dur pada Inayah. Mari kita tunggu kelanjutan dan masa depan karier politik Inayah. (A43)