Sudah resmi ditasbihkan, jika pemerintah akan memberlakukan impor beras, garam, dan daging kerbau. Tentu saja kebijakan impor tak harus melulu dipandang buruk.
PinterPolitik.com
[dropcap]S[/dropcap]etiap ada kebijakan impor, responnya akan mudah ditebak, yaitu suara bernada sumbang dari masyarakat maupun para praktisi. Suara sumbang tersebut, rata-rata akan menyatakan kalau impor adalah sebuah ironi mengingat Indonesia adalah negara kaya, sehingga seharusnya tak perlu bergantung pada impor dari negara lain.
Jika benar begitu, mengapa produksi pangan di Indonesia tak pernah bisa mencukupi besaran konsumsi masyarakat? Mungkin yang perlu dipersalahkan adalah manajeman pangan Pemerintah yang sepertinya sulit menemui jalan mulus dan sepertinya butuh banyak perbaikan.
Habis mau bagaimana lagi, dalam menyusun laporan data pangan saja, antar lembaga Pemerintah masih simpang-siur. Tiap lembaga dan kementerian yang mengurus komoditas memiliki sendiri kepentingannya, sehingga data mengenai luas lahan, total produksi, persediaan, hingga konsumsi bisa berbeda satu sama lain.
Namun begitu, dalam kesimpang siuran data dan laporan yang ada, satu hal yang pasti adalah tingginya angka konsumsi yang tak bisa dipenuhi oleh kapasitas produksi pangan. Bila harus mengeraskan otot dan memaksa diri melakukan swasembada, tentu hal tersebut hanya akan membawa perekonomian dan konsumsi masyarakat Indonesia terjungkal sia-sia.
Karena itu, sebenarnya impor tak harus selalu dipandang sebagai kebijakan yang buruk dari pemerintah. Apalagi bila kebijakan tersebut merupakakn ikhtiar pemerintah guna menambal dan menanggulangi kekurangan pasokan beras, daging, dan juga garam.
Impor, Jurus Pamungkas Terakhir?
Jika melihat dari kacamata yang lebih besar, keputusan pemerintah untuk melakukan impor beras, daging kerbau, dan garam, memang tak terlepas dari perbedaan cara pandang antara pemerintah dan masyarakat dalam melihat persoalan yang ada. Sebagai contoh, beras, dipandang dari segi politik ideologis. Ilusi bahwa Indonesia adalah negeri gemah ripah loh jinawi, adalah salah satu penyebab kalkulasi ekonomi terabaikan.
Dari sana, impian untuk menjadi negara swasembada pangan pun mekar. Bekal ilusi tanpa didasari oleh kenyataan ekonomi hanya akan mengantarkan pada kegagalan-kegagalan. Contohnya, di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pernah berupaya melawan prinsip-prinsip ekonomi demi mewujudkan swasembada beras. Dan hasilnya, seperti yang sudah bisa ditebak, problem beras ternyata tak juga bisa diatasi hingga kini.
Dari polemik seputar pangan itu, impor selalu menjadi pamungkas yang mumpuni. Impor adalah jurus pemerintah mengerem lonjakan harga beras. Sebaliknya, sikap alot pemerintah untuk mengulur-ulur harga pangan, hanya akan memicu gejolak harga yang pada akhirnya akan merugikan masyarakat dan pengusaha terkait.
Kebijakan impor patut dilakukan, sebagai jalan untuk membentuk persepsi kepada publik bahwa pasokan pangan dalam negeri akan selalu terjaga dalam situasi apapun. Sehingga seharusnya, kebijakan impor ini tak perlu dibenturkan dengan upaya peningkatan produksi dalam negeri.
Sebelum kembali meneruskan gaung dan jargon yang bersuara “Indonesia adalah negara kaya raya yang tak perlu impor”, ada baiknya kita menengok bagaimana kualitas sumber daya manusia, keberadaan lahan, ketersediaan teknologi dan pengetahuan, serta pelibatan “aktor-aktor” utama dalam produksi pangan (seperti petani, nelayan, dan lain-lain), yang masih sangat jauh panggang dari api untuk mendukung keberlangsungan pangan.
Jika mau mengambil satu contoh, misalnya petani, mereka sebagai aktor utama pengadaan sumber pangan selama ini, tak pernah benar-benar dilibatkan. Lebih buruk lagi, bahkan aktor utama ini, hanya mendapatkan insentif kesejahteraan yang kecil dari kerja kerasnya.
Menurut data dari pakar pertanian dan agribisnis, Mukhamad Najib, 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia ternyata adalah petani gurem yang memiliki lahan kurang dari 0,2 Ha. Padahal untuk bertahan, mereka setidaknya harus memiliki minimal 1 Ha tanah. Melihat kenyataan ini, apakah masih kaget bila menerima kenyataan jika 60 persen petani Indonesia masuk dalam kategori miskin? (pendapatan di bawah 2 dollar US perhari).
Lantas keberadaan lahan yang kian menyempit berganti dengan pembangunan pabrik, kian meruncing. Di daerah Kendheng, misalnya, pembangunan pabrik semen menggeser sawah warga dan juga sumber air. Sementara di pesisir pantai, tempat para nelayan mengolah garam laut mulai disesaki oleh pembangunan resor pariwisata.
Keterbatasan lahan ini pula tak disokong dengan kemajuan pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan dalam dunia pangan. Jepang saja, sebagai negara yang memiliki keterbatasan lahan, bisa mengolah pengetahuan dan teknologinya, sehingga berhasil meningkatkan produktifitas dan efisiensi yang tinggi. Akhirnya, Jepang malah berhasil menyediakan pangan masyarakatnya dengan baik, walau memiliki lahan yang sangat terbatas.
Yang Makmur Karena Impor
Jepang boleh saja memaksimalkan teknologi dan pengetahuannya untuk menyiasati keterbatasan lahan di negaranya. Sementara Indonesia, tentu saja masih sangat jauh untuk mencapai perkembangan tersebut.
Sementara itu, negara maju lainnya, seperti Amerika Serikat (AS) dan Singapura juga tak lepas dari ketergantungannya dengan impor. Amerika Serikat, seperti yang diketahui, sangat bergantung dengan impor tekstil, karet, sawit, hasil hutan, bahkan kakao dari Indonesia. Ini pun belum termasuk bagaimana ketergantungan AS terhadap minyak dan gas dari Israel serta negara-negaar Timur Tengah lainnya.
Di sisi lain, Singapura, sebagai salah satu negara maju yang tingkat korupsinya terendah di dunia, juga sangat bergantung pada bahan makanan dan air dari Malaysia serta Indonesia. Seperti yang diketahui bersama, Singapura memang sangat maju dalam perkembangan teknologi dan infrastruktur, tetapi untuk air dan bahan makanan, negara tersebut harus bertopang pada impor negara lain.
Hal yang sama juga terjadi pada Tiongkok. Salah satu negara berpopulasi terbesar di dunia ini, bahkan tak mampu menyediakan konsumsi pangan untuk seluruh warganya. Untuk mengatasi hal tersebut, Tiongkok menanami lahan di daerah Selatan dan Barat, serta bertanam di lahan negara lain, misalnya di Afrika.
dengan demikian, kebijakan pemerintah untuk mengimpor beras, garam, dan daging kerbau, tak perlu terus-menerus dianggap sebagai sebuah kemunduran. Sebaliknya, jika tanpa ada kesiapan dari pemerintah dan masyarakat, produksi pangan digenjot paksa, hal itu sama saja melempar Indonesia ke masa bercocok tanam. Padahal di banyak negara, saat ini sudah mulai bergerak di dunia digital.
Adalah tugas pemerintah untuk terus memprioritaskan pasokan pangan, baik beras, daging, dan garam, dengan harga yang terjangkau. Untuk meraih tujuan itu, sebenarnya tidak perlu menjadi hal yang tabu bagi pemerintah untuk melakukan impor sebagai salah satu cara dalam meredam harga dan mengamankan pasokan.
Impor juga berkhasiat memberi efek terapi kejut kepada pedagang nakal yang terbiasa menimbun beras, daging, atau garam, pada saat produksi pangan di dalam negeri tak cukup. Selain itu, sepanjang pemerintah tak bermain-main dengan menyuburkan korupsi, maka impor adalah salah satu cara pelurus liku kekurangan konsumsi pangan dalam negeri. (Berbagai sumber/A27)