Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut satu, Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, akhir-akhir ini menciptakan blunder. Mungkinkah Cak Imin sebenarnya adalah musuh dalam selimut bagi Anies Baswedan?
“The Trojan horse is full of excessive force” – Ice Cube, “Good Cop Bad Cop” (2017)
Pernah nggak sih merasa terbebani oleh keberadaan teman atau kawan yang dianggap “tidak berguna”? Hmm, mungkin, ini yang dirasakan Goku dan kawan-kawan terhadap Yamcha di franchise anime Dragon Ball.
Meski dulunya pernah menjadi lawan dari Goku, Yamcha dianggap oleh para penggemar Dragon Ball sebagai ‘beban’. Pasalnya, Goku dkk malah bisa tumbuh semakin kuat – membuat Yamcha semakin ketinggalan jauh.
Alhasil, ketika menghadapi musuh-musuhnya, Yamcha dianggap tidak berguna. Ujung-ujungnya, Goku dkk-lah yang harus menyelamatkan Yamcha dari ancaman dan musuh yang lebih kuat.
Nah, mungkin, situasi inilah yang juga tengah dirasakan oleh pasangan calon (paslon) nomor urut satu, Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar alias Cak Imin.
Bagaimana tidak? Akhir-akhir ini, Cak Imin dinilai kerap mengeluarkan pernyataan-pernyataan blunder.
Soal tukang becak yang tidak bisa menikmati jalan tol, misalnya, menuai kritik dari banyak pihak. Salah satunya datang dari mantan Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil yang menjelaskan bahwa, secara logika, jalan tol tetap bermanfaat karena bisa mempermudah distribusi barang yang dibutuhkan masyarakat.
Tidak hanya itu, Cak Imin juga sempat membuat sikap AMIN – sebutan Anies dan Imin – soal Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara simpang siur. Ketika Anies mengkritik IKN, Cak Imin justru tidak menunjukkan sikap yang jelas soal kelanjutan pembangunan IKN bila mereka terpilih.
Belum lagi, Cak Imin juga sempat blunder soal janji kampanyenya terkait Palestina. Ketika ditanyai oleh Deddy Corbuzier, Cak Imin-pun menjawab, “Itu biasa kampanye. Bahasa kampanye.”
Hmm, mungkinkah Cak Imin sebenarnya menjadi “beban” bagi koalisi AMIN? Apa mungkin ada siasat lebih di balik blunder–blunder ini?
Cak Imin Jadi “Beban”?
Semua orang tidak pernah luput dari kesalahan. Inipun termasuk para pejabat pemerintahan dan para politisi.
Kesalahan-kesalahan-pun bisa terjadi saat para politisi menjabat maupun saat berkampanye untuk memperoleh jabatan publik tersebut. Kesalahan-kesalahan inilah yang disebut sebagai political gaffe – atau yang sering disebut blunder di Indonesia.
Blunder politik dalam kampanye sebenarnya wajar terjadi. Namun, blunder atau political gaffe bisa menjadi kesalahan yang bersifat meaning-laden (sarat makna) – setidaknya itulah yang diungkapkan oleh Ian Sheinheit dan Cynthia J. Bogard dalam tulisan mereka yang berjudul Authenticity and Carrier Agents: The Social Construction of Political Gaffes.
Setiap peristiwa (event) dan kejadian (occurrence) selalu memiliki makna. Makna inilah yang akhirnya kemudian ditangkap dan dipahami oleh manusia
Sheinheit dan Bogard menjelaskan bahwa proses untuk sebuah gaffe bisa menjadi sarat makna adalah sebuah proses sosial. Ketika sudah menjadi sarat makna, gaffe atau blunder itu akhirnya memiliki dampak besar pada kampanye politik yang tengah dilakukan.
Bukan tidak mungkin, terdapat proses sosial yang membuat gaffe Cak Imin menjadi berdampak pada upaya kampanye AMIN. Di media sosial, misalnya, kritik Cak Imin terhadap pajak yang tidak ikut dinikmati hasilnya oleh tukang becak juga melalui proses sosial.
Namun, mungkinkah gaffe atau blunder yang dilakukan oleh Cak Imin adalah hanya kesalahan-kesalahan yang tidak disengaja? Mungkinkah ini pola yang memang dilakukan oleh Cak Imin?
‘Musuh dalam Selimut’ Anies?
Cak Imin bukanlah pemain baru dalam perpolitikan Indonesia. Bukan tidak mungkin, ketua umum (ketum) PKB tersebut sudah paham menganai karakter masyarakat Indonesia.
Namun, Cak Imin sendiri dikenal sebagai politikus yang pragmatis. Artinya, Cak Imin akan melakukan manuver-manuver politiknya berdasarkan kepentingan yang dimilikinya.
Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Cak Imin Adalah Tanda Anies Menang?, Cak Imin adalah politisi yang disebut-sebut oleh keluarga mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai politikus yang gak isok dijarno (tidak bisa dibiarkan).
Pernyataan itu berkaitan dengan bagaimana Cak Imin bisa ‘berkhianat’ apabila melihat kesempatan yang menguntungkannya. Setidaknya, hal inilah yang dirasakan Gus Dur dan keluarganya saat Cak Imin bermanuver di PKB bertahun-tahun silam.
Belum lagi, mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Poros Islam PKB: Strategi ‘Pendulum’?, Cak Imin bisa saja menggunakan daya tawarnya untuk memenuhi kepentingannya. Dalam arti lain, Cak Imin dianggap sebagai politikus yang bisa berpindah-pindah layaknya pendulum.
Ini juga bisa dilihat dari bagaimana Cak Imin – yang sempat jadi bakal cawapres untuk Prabowo Subianto – tiba-tiba diumumkan telah menjadi cawapres untuk Anies pada beberapa bulan yang lalu.
Bukan tidak mungkin, akhirnya, gaffe atau blunder Cak Imin juga dilakukan karena kepentingan tertentu. Apalagi, Cak Imin dan PKB sendiri juga masih menjadi bagian dari pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – menjadikannya tetap sebagai salah satu Jokowi’s men bila mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Jokowi Presiden Ter-powerful Setelah Soeharto?.
Lantas, mungkinkah Cak Imin tengah bermanuver saat menjadi cawapres Anies – misal menjadi seorang kuda troya (Trojan horse)? Mungkin, hanya Cak Imin yang bisa menjawab pertanyaan ini.
Yang jelas, gaffe atau blunder yang dilakukan Cak Imin terus-menerus bisa saja berdampak buruk terhadap Anies yang selalu mencitrakan diri sebagai capres yang intelektual. Bukan begitu? (A43)