Jika melihat daya beli masyarakat yang menurun atau postur APBN yang lebih banyak untuk bayar utang, banyak yang menyebut popularitas Jokowi seolah menjadi sebuah ‘ilusi’.
PinterPolitik.com
“Reality is merely an illusion, albeit a very persistent one” – Albert Einstein
[dropcap size=big]B[/dropcap]ulan September dan Oktober 2017 sepertinya menjadi bulan survei. Hampir semua pollster atau lembaga survei secara beruntun mengeluarkan hasil survei yang dibuat.
Umumnya survei-survei tersebut berbicara tentang perjalanan 3 tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan segala persoalan yang dihadapi. Mayoritas lembaga survei tersebut sependapat bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi berada di atas 55 persen.
Survei terbaru dari Litbang Kompas bahkan menunjukkan angka kepuasan masyarakat yang mencapai 70,8 persen, khususnya pada Oktober 2017. Angka ini merupakan yang tertinggi jika dibandingkan beberapa lembaga survei lain. Hal yang sama juga tergambar dalam hasil survei dari lembaga Indikator Politik dengan 68 persen yang puas terhadap Jokowi-JK dan 72 persen yakin dengan pemerintahan pasangan ini.
Namun, hampir semua lembaga survei juga menyoroti persoalan ekonomi yang dianggap sebagai masalah utama yang harus diatasi oleh Jokowi. Pertumbuhan ekonomi di triwulan II 2017 cenderung stabil, namun melambat dengan hanya 5,01 persen berbanding 5,18 persen pada periode yang sama di 2016. Jumlah penduduk miskin juga meningkat tipis 6,9 ribu jiwa jika dibandingkan pada tahun 2016.
Belum lagi jika bicara soal daya beli masyarakat yang cenderung turun dan membuat sepi sektor ritel. Beberapa ekonom, misalnya Mohammad Faisal dari Center of Reform on Economics (CORE) menyebut kenaikan harga-harga kebutuhan hidup yang diatur oleh pemerintah (administered prices) seperti tarif dasar listrik, gas elpiji, dan lain-lain, justru yang menjadi pendorong inflasi selama 6 bulan pertama tahun ini dan jumlahnya lebih tinggi dua kali lipat dibanding inflasi di periode yang sama tahun 2016 lalu.
Hal yang sama juga terjadi pada postur APBN yang lebih banyak digunakan untuk membayar utang. Sebagai catatan, antara tahun 2018-2019, utang pemerintah yang jatuh tempo berjumlah Rp 810 triliun.
Akibatnya, masyarakat masih merasa kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Survei dari Indikator Politik juga menyebutkan bahwa dari sisi angka pengangguran dan pengentasan kemiskinan, mayoritas masyarakat masih merasakan kesulitan.
Lalu, mengapa masyarakat masih percaya dan yakin pada pemerintahan Jokowi walaupun ekonomi cukup berantakan?
Ilusi Popularitas Jokowi
Survei Indikator Politik pada pertengahan September lalu menyebutkan 24 persen masyarakat menganggap pemenuhan kebutuhan sehari-hari semakin buruk, sementara 41 persen menganggap tidak ada perubahan berarti yang dilakukan oleh Jokowi. Hanya 34 persen yang merasa semakin baik. Hal yang sama juga terjadi pada angka pengangguran dan jumlah orang miskin.
Dari survei tersebut, keterangan ‘sama saja’ memang tidak bisa dijustifikasi sebagai ‘baik’ atau ‘buruk’. Namun, hal ini tentu berarti bahwa tidak ada perubahan yang dirasakan dan karenanya cenderung bersifat negatif. Jika digabungkan dengan yang menganggap kondisi semakin buruk, maka mayoritas masyarakat yang disurvei menganggap secara ekonomi pemerintahan Jokowi memang belum begitu baik.
Hal ini juga bisa dilihat dari kebijakan ekonomi menteri-menteri Jokowi yang terus menerus dikritik. Karena utang yang jatuh tempo mencapai Rp 810 triliun pada tahun 2018-2019, kebijakan ekonomi pemerintah menggenjot pendapatan dari sektor pajak menjadi semakin ‘gila-gilaan’. Penerimaan dari sektor pajak untuk tahun 2017 pun diprediksi meleset dari target yang mencapai Rp 1.283 triliun dengan hanya 89-92 persen pencapaian.
Akibatnya, pajak ditarik-tarik dari berbagai sektor yang justru menyengsarakan masyarakat menengah ke bawah dan dengan sisa 3 bulan sebelum memasuki 2018, pemerintah berharap menarik pajak mencapai Rp 513 triliun. Jumlah itu tentu saja sangat besar dan menunjukkan bahwa pemerintahan Jokowi sedang kelabakan.
Lihat saja, saat ini hampir semua barang dicari celah untuk dikenakan pajak. Telepon genggam misalnya, sekarang sudah harus dimasukkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak. Belum lagi rencana pemerintah untuk mengenakan pajak pada e-commerce, termasuk juga pajak pendapatan lewat iklan di media sosial – yang sering dilakukan oleh para seleb medsos.
Lebih keras lagi pungut pajak buat pemerintah, sampai2 ada wacana yang pegang handphone pun dipungut pajaknya.. Terlaluuuuuuuu… !!!!!
— Princess Syalwa (@syalwa2015) September 17, 2017
Sementara itu, kebijakan menaikan administered prices, misalnya harga tarif listrik dan elpiji justru tidak pro masyarakat kelas bawah. Di lain pihak, sin tax – istilah pajak untuk produk yang bisa menyebabkan gangguan kesehatan, misalnya rokok – justru tidak disentuh. Padahal, tingkat kerugian yang disebabkan rokok telah membebani anggaran negara, terutama dalam hal anggaran jaminan kesehatan.
Adapun penurunan daya beli paling dirasakan oleh para pedagang dan ikut menyebabkan turunnya sektor ritel – termasuk beberapa ritel yang menutup gerai-gerainya.
Jika sedemikian buruk, lalu mengapa mayoritas masyarakat masih puas dengan kinerja Jokowi-JK? Apakah ilusi popularitas ini begitu dahsyat, sehebat aksi Demian di America’s Got Talent?
Jokowi dan Political Trust
Faktanya, kepercayaan politik atau political trust merupakan hal yang sangat vital bagi sebuah pemerintahan. Jika sebuah pemerintahan mendapatkan political trust yang besar dari masyarakatnya, maka pemerintahan itu akan tetap kokoh. Adapun political trust memiliki beberapa elemen, antara lain care (perhatian), competence (kemampuan), accountability (akuntabilitas) dan reliability (dapat diandalkan).
Secara teori, political trust selalu mengalami penurunan ketika ekonomi suatu negara memasuki masa-masa yang sulit. Amerika Serikat merupakan salah satu negara yang pernah mengalami hal tersebut di akhir tahun 1970-an dan awal 1990-an.
Namun, hal yang berbeda terlihat pada pemerintahan Jokowi yang walaupun secara ekonomi masih dikeluhkan di sana-sini, namun masih memiliki kepercayaan yang tinggi dari masyarakatnya.
Dengan segala program pembangunan dan blusukan ke daerah, Jokowi tetap mampu mempertahankan 3 elemen utama political trust, yaitu care, akuntabilitas, dan perasaan dapat diandalkan. Ketiga elemen tersebut mampu menutupi kompetensi menteri-menteri ekonominya yang – mengutip pernyataan mantan Menko Kemaritiman, Rizal Ramli – banyak ngeles dan konservatif.
Jangan miskinkan Kaum yg sudah miskin ???? pic.twitter.com/RvrA2TzLrr
— Dr. Rizal Ramli (@RamliRizal) October 16, 2017
Aksi Jokowi yang terjun langsung ke lokasi-lokasi pembangunan dan program-program kesejahterannya juga membuat masyarakat bisa melihat perhatian seorang pemimpin dan sikapnya yang dapat diandalkan. Sosok Jokowi yang bersih dan mengedepankan pemberantasan korupsi pun membuatnya dianggap sebagai sosok yang punya akuntabilitas. Hal inilah yang membuat presiden tanpa partai politik dan tanpa latar belakang militer ini bisa langgeng kekuasaannya.
Trust memang menjadi hal yang sangat penting bagi seorang pemimpin politik. Dalam filosofi kepemimpinan di Tiongkok kuno dan di Romawi kuno, trust bahkan lebih penting daripada makanan dan senjata – walaupun dua faktor tersebut juga mempunyai hubungan saling mempengaruhi terhadap kepercayaan masyarakat pada pemimpinnya.
Political trust yang dimiliki Jokowi inilah yang membuat dirinya tetap akan kokoh sebagai pemimpin di tengah segala ‘angin ribut’ yang terjadi. Selama Jokowi bisa mempertahankan political trust ini, pemerintahannya akan baik-baik saja, bahkan memungkinkannya untuk terpilih lagi pada periode berikutnya – kecuali ada hal yang luar biasa sedang terjadi, misalnya yang membuat nilai tukar rupiah anjlok, katakanlah menyentuh angka Rp 17.000 per dollar AS atau ada kudeta bersenjata.
Lalu, apakah ilusi popularitas ini adalah hal yang baik? Bagi Jokowi, ya. Tetapi, bagi kepentingan masyarakat, Jokowi mungkin perlu mendengar berbagai masukan khususnya untuk kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi.
Jika terjebak pada pembayaran utang dan mengedepankan prinsip creditor first, sementara pembiayaan pembangunan infrastruktur juga masih menambah beban utang lagi, maka lama kelamaan dampak langsung akan dirasakan oleh masyarakat sendiri. Yang kaya akan semakin kaya, sementara yang miskin semakin miskin.
Jokowi masih bisa berbangga karena harga-harga kebutuhan pokok masih bisa terjaga. Namun, jika dampak fiskal kebijakan ekonomi sudah mempengaruhi harga bawang dan beras di pasar, maka Jokowi juga perlu was-was. Setinggi apa pun political trust, persoalan perut tetaplah nomor satu. (S13)