Site icon PinterPolitik.com

Ilusi Mobil Listrik JK

Uji Coba Bus Listrik di Jakarta (Foto: Medcom.id/Nur Azizah)

Melalui Perpres dan PP terkait mobil listrik, pemerintah ingin mendorong  industri mobil listrik di Indonesia. Nantinya, mobil listrik diharapkan menjadi salah satu solusi bagi permasalahan polusi udara Jakarta. Namun, sepertinya pemerintah lupa bahwa mobil listrik hanya bebas polusi jika sumber listriknya juga bersih.


PinterPolitik.com

Peraturan Presiden (Perpres) dan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai mobil listrik sudah dicanangkan setidaknya sejak tahun 2017.

Sempat hilang dari pemberitaan, baru-baru ini keduanya muncul kembali setelah ramainya pemberitaan mengenai semakin buruknya kualitas udara Jakarta yang dalam dua bulan ke belakang sempat jadi yang terburuk di dunia.

Selain untuk mendorong pertumbuhan industri otomotif nasional, bertambahnya jumlah pemakaian mobil listrik di dalam negeri melalui Perpres ini juga diharapkan menjadi solusi terhadap permasalahan polusi udara.

Namun, apakah benar bertambahnya mobil listrik di indonesia, khususnya Jakarta, dapat menjadi solusi polusi udara?

Ilusi Mobil LIstrik

Emisi gas pembuangan kendaraan bermotor menjadi sumber utama polusi udara di Jakarta. Jumlah kendaraan di jalanan Jakarta yang sudah mencapai angka 20 juta per-hari, masih diperparah dengan aturan emisi yang tidak dipatuhi oleh sebagian pemilik kendaraan. 

Menyikapi permasalah ini, beberapa pejabat mengusulkan solusi berupa peningkatan penggunaan mobl listrik.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan misalnya, sejak beberapa waktu lalu mendorong konversi bus di Jakarta dari yang sebelumnya berbahan bakar fosil menjadi bus listrik.

Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) juga mengatakan bahwa mobil listrik adalah solusi bagi polusi udara Jakarta. Ia juga menambahkan bahwa Perpres mobil listrik akan selesai dalam waktu dekat.

Sesuai namanya, mobil listrik membutuhkan listrik sebagai sumber tenaga. Yang perlu dipertanyakan adalah dari mana listrik untuk mobil listrik berasal?

Menurut laporan dari Institute for Essential Service Reform (IESR), hingga tahun 2017, 88 persen listrik Indonesia dihasilkan dari energi fosil. Dari angka tersebut, 60 persennya berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang menggunakan batu bara.

Ya, sejauh ini porsi listrik dari Energi Baru Terbarukan (EBT) baru sebesar 12 persen. Angka pertumbuhanya pun mengalami penurunan pada 2015-2017.

Di sisi lain, porsi energi fosil nampaknya semakin meningkat. Hal ini juga beriringan dengan program untuk meningkatkan produksi listrik nasional sebesar 35.000 Mega Watt yang telah digulirkan sejak tahun 2014.

Sayangnya, dalam mengejar target, program ini lebih mengandalkan PLTU batu bara dibanding EBT. Dominasi PLTU batu bara terlihat dari dibangunnya PLTU-PLTU batu bara baru di seluruh wilayah Indonesia dan meningkatknya konsumsi batu bara dalam negeri.

Bahkan pada 2025 kebutuhan batu bara dalam negeri untuk kebutuhan pembangkit listrik diperkirakan naik 30 persen.

Hal ini sebenarnya sudah dapat diprediksi karena dalam peta jalan Kebijakan Energi Nasional (KEN), disebutkan juga bahwa batu bara tetap akan menjadi sumber energi lisrik utama Indonesia hingga tahun 2050.

Penggunaan batu bara bukan tanpa alasan. Selain karena batu bara merupakan sumber listrik yang paling murah, patut diduga ada pertalian antara bisnis batu bara dengan lingkar kekuasan pemerintah.

Pertalian ini pernah dibahas secara gamblang dalam film dokumenter berjudul “Sexy Killers” yang sempat ramai dibicarakan masyarakat.

Film ini memperlihatkan adanya pejabat-pejabat tinggi pemerintahan yang memiliki ataupun terlibat dalam bisnis pertambangan batu bara dan PLTU batu bara. Pertalian ini berpotensi kuat menjadi penyebab kenapa sumber listrik Indonesia masih bergantung pada batu bara.

Melihat kondisi sumber listrik saat ini, klaim bahwa kehadiran mobil listrik dapat menjadi solusi polusi udara mungkin kurang tepat.

Dalam wawancaranya dengan Tirto.id, juru kampanye Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, mengatakan bahwa mobil listrik hanya akan memindahkan polusi karena toh listriknya bersumber dari PLTU batu bara.

Keraguan terhadap mobil listrik juga terjadi di India. Sama seperti di Indonesia, keraguan ini muncul karena pemberian insentif pada mobil listrik dilangsungkan ketika sumber listrik nasional masih didominasi oleh energi fosil.

Bukan hanya mobil listriknya itu sendiri, pembangunan industri pendukungnya, seperti pabrik mobil dan baterai listrik, tentunya juga membutuhkan listrik yang lagi-lagi berpotensi mengandalkan PLTU batu bara.

Alih-alih mengurangi polusi udara Jakarta, bisa jadi kehadiran mobil listrik malah meningkatkan kebutuhan akan PLTU batu bara yang pada akhirnya, menambah polusi udara itu sendiri.

Menurut Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), PLTU batu bara di sekitar Jakarta memiliki kontribusi sebesar 20-30 persen terhadap buruknya kualitas udara Jakarta.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Dinas Lingkungah Hidup Jakarta juga mengatakan hal yang sama bahwa PLTU batu bara turut berkontribusi pada polusi udara Ibu Kota.

Tidak berhenti di udara, baterai lithium-ion yang digunakan mobil listrik juga berpotensi membawa permasalahan lingkungan lainnya.

Ketika sudah tidak digunakan lagi, baterai ini memerlukan perawatan khusus karena mengandung unsur seperti lithium dan kobalt yang berbahaya dan dapat mencemari udara dan air.

Tahun lalu, ketika diwawancara oleh CNN Indonesia, Direktur Jenderal ILMATE Kementerian Perindustrian, Harjanto, menyatakan bahwa Indonesia belum siap mengolah limbah baterai mobil listrik.

Siapa Ambil Untung?

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani, melalui presentasinya dalam acara GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2019, menjabarkan poin-poin utama dalam Perpres dan PP mobil listrik yang sedang disusun pemernitah.

Perpres dan PP ini mengatur berbagai insentif bagi industri otomotif dalam negeri yang ingin mengembangkan ataupun menjual mobil listrik. Insentif-insetif yang akan diberikan pemerintah antara lain potongan pajak, bea masuk, dan kemudahan impor.

Sejauh ini usaha pemerintah untuk mendorong industri mobil listrik di dalam negeri disambut baik oleh para pelaku bisnis. Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto bahkan menargetkan Indonesia akan mendapatakan investasi baru sebesar Rp 100 triliun dari industri mobil listrik.

Sejauh ini, investor terbesar berasal dari Jepang, Korea Selatan, dan Tiongkok.

Dari Jepang, ada Toyota dan SoftBank yang menyiapkan investasi sebesar Rp 28 triliun guna mengembangkan mobil listrik di Indonesia.

Korea Selatan juga tidak mau ketinggalan di mana Hyundai berencana membangun dua pabrik mobil listrik baru di Indonesia. Pabrik pertama rencananya akan dibangun di Karawang dengan nilai investasi sebesar Rp 14 triliun. Sementara pemerintah menawarkan pabrik kedua untuk dibangun di Jawa Tengah.

Kemudian produsen mobil listrik asal Tiongkok, BYD dan JAC, juga berencana untuk membangun lini produksi di Indonesia.

Masuknya investasi besar dari berbagai negara ini sering menjadi lahan korupsi ataupun suap.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Muhammad Nawir Messi, mengatkaan bahwa korupsi menjadi salah satu hambatan investasi asing.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah berpresan kepada perusahaan-perusahaan asing agar tidak lagi memberikan suap kepada pejabat Indonesia.

KPK juga pernah mengingatkan kepada perusahana-perusahaan BUMN untuk mewaspadai investasi asing yang rawan akan korupsi, suap, ataupun gratifikasi.

Melihat kondisi listrik Indonesia, bisa jadi salah satu pihak yang paling diuntungkan dengan bertambahnya mobil listrik adalah para pengusaha tambang batu bara dan PLTU batu bara. 

Bertambahnya mobil listrik akan meningkatkan kebutuhan listrik di tengah-tengah kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan batu bara dalam memenuhi kebutuhan listrik.

Peningkatan industri mobil listrik juga rawan konflik kepentingan melalui tender ataupun proyek baru.

Yang sejauh ini terlihat mungkin keiikutsertaan merek bus listrik Mobil Anak Bangsa (MAB) milik Kepala Staf Presiden Moeldoko dalam uji coba bus listrik oleh PT TransJakarta.

Di tengah kondisi sumber listrik Indonesia, peningkatan penggunaan mobil listrik justru berpotensi kontraproduktif dengan semangat mengurangi polusi udara Jakarta.

Selain itu, dengan adanya potensi konflik kepentingan, bisa jadi polusi udara hanya dijadikan sebagai pemanis untuk melegitimasi masuknya investasi asing dan meningkatnya kebutuhan akan tambang dan PLTU batu bara.

Oleh sebab itu, pemerintah perlu mengkaji secara komperhensif segala  kebutuhan energi dan limbah yang akan ditimbulkan dari insentif mobil listrik. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version