Niccolò Machiavelli banyak dikenal karena bukunya Il Principe. Buku ini begitu masyhur karena disebut sebagai bukunya para diktator. Isinya mengguncang. Melumrahkan kebohongan, kelicikan, hingga pembunuhan. Lantas, seperti apa kisah penulisan dan isi buku yang dibaca Napoleon Bonaparte dan Adolf Hitler ini?
“Buku pedoman para diktator,” – Michael H. Hart
Ditulis pada tahun 1513, banyak pihak menyebut Il Principe merupakan lamaran pekerjaan (job application) Niccolò Machiavelli kepada keluarga Medici. Sekalipun bukan job application, tulis Nigel Feetham dalam Machiavelli’s The Prince: The Little Book That Shook The World, itu adalah proposal pengambil hati karena telah dituduh berkonspirasi.
Yang patut dikasihani, sebagaimana dicatat Feetham, tidak ada bukti keluarga Medici membaca Il Principe. Karya monumental itu sendiri baru diterbitkan pada 1532, lima tahun setelah Machiavelli meninggal dunia.
Mungkin Machiavelli tidak pernah membayangkan karyanya akan setenar ini. Seperti yang disimpulkan Feetham melalui surat-surat Machiavelli, hari-hari isolasinya di rumah pertanian setelah dilarang kembali ke Florence begitu membosankan. Setelah 14 tahun sebagai sekretaris Second Chancery, itu jelas adalah bencana bagi seorang yang memiliki intelegensi tinggi seperti Machiavelli.
Andrea Frediani dalam tulisannya Machiavelli exposed the brutal truth about politics in a ‘tell-all’ treatise, juga mencatat, hidup Machiavelli terbilang baik sebelum akhir tahun 1513. Ia adalah diplomat Florentine yang telah membangun reputasi sebagai analis politik yang cerdik.
Pada tahun 1512, administrasi Florence digulingkan oleh keluarga Medici. Kembalinya keluarga Medici ke kekuasaan membuat Machiavelli kehilangan posisi politiknya. Pada Februari 1513, sebuah konspirasi anti-Medici terungkap. Kabar soal hubungan Machiavelli dengan rezim sebelumnya membuatnya dicurigai. Ia kemudian ditangkap dan ditahan di penjara Bargello.
Di penjara Bargello, Machiavelli disiksa selama beberapa minggu dengan menggunakan strappado. Itu adalah metode penyiksaan, di mana tangan diikat ke belakang dan digantung dengan tali yang diikatkan ke pergelangan tangan untuk membuat lengan dan bahu terkilir.
Inspirasi Machiavelli
Menurut Andrea Frediani, dalam menulis Il Principe, Machiavelli sangat terinspirasi dari Cesare Borgia, putra tidak sah Paus Alexander VI, yang ditemuinya pertama kali pada musim panas tahun 1502. Seperti yang ditulis John M. Najemy dalam Machiavelli and Cesare Borgia: A Reconsideration of Chapter 7 of “The Prince”, Cesare Borgia adalah sosok paling berkesan dan begitu mendominasi dalam Il Principe.
Tulis Frediani, salah satu momen paling diingat Machiavelli dari Borgia adalah strateginya ketika membalik keadaan terpojok menjadi kemenangan yang mengejutkan. Pada tahun 1502, terjadi pemberontakan di berbagai negara kota Italia terhadap Borgia. Yang menarik, menyadari kalah jumlah, Borgia berpura-pura melakukan rekonsiliasi sembari dengan cerdik membangun pasukannya.
Pada akhir tahun 1502, Borgia berhasil membuat saingannya, Orsini, ke kota Senigallia, dan menghabisinya. Machiavelli ternyata mencatat kejadian-kejadian itu dengan cermat. Itu terlihat dalam kiriman laporannya pada tahun 1503. “Saya tidak akan pernah ragu untuk mengutip Cesare Borgia dan tindakannya,” tulis Machiavelli.
Buku Pedoman Diktator
Sebagaimana dicatat Andrea Frediani, setelah lebih dari 500 tahun, Il Principe masih menjadi rujukan dasar yang sangat diperlukan untuk studi sejarah dan ilmu politik. Il Principe adalah buku yang sangat mendasar, sebuah risalah klasik tentang pemerintahan.
Para filsuf abad ketujuh belas, seperti Benedict Spinoza membelanya. Pemikir radikal abad ke-18, Jean-Jacques Rousseau bahkan menulis, “seorang pria yang jujur dan warga negara yang baik,” dalam penilaiannya kepada Machiavelli.
Yang menarik, karena nasihat-nasihatnya yang terlampau jujur, seperti memandang lumrah kebohongan, kelicikan, hingga pembunuhan, Il Principe kemudian menjadi bacaan para pemimpin otoriter.
Christopher Richard Wade Dettling dalam tulisannya Napoléon And Machiavelli: Bonapartism Is Machiavellism, menyebut Napoleon Bonaparte adalah seorang Machiavellian. Bonapartisme adalah Machiavellisme, tulisnya. Dalam sebuah catatan, Napoleon disebut pernah mengatakan bahwa Machiavelli adalah satu-satunya buku yang bisa ia baca.
Mengutip History, Adolf Hitler disebut menyimpan salinan Il Principe di samping tempat tidurnya. Joseph Stalin juga diketahui telah membaca dan membubuhi keterangan pada salinan buku Il Principe-nya. John Joseph Gotti Jr., gangster Amerika Serikat (AS) yang merupakan bos keluarga kriminal Gambino di New York City, juga diketahui mengutip Il Principe.
Abedi Ardakani Mohammad dan Mohebzadeh Qolamreza dalam tulisannya “Machiavellianism And Fascism” (Looking At The Two Prince And Mein Kampf), menyebutkan nilai-nilai Machiavelli menjadi prinsip dan dasar fasisme. Mein Kampf, manifesto otobiografi Hitler mengambil nilai-nilainya dari Il Principe.
Dalam salah satu nasihatnya yang terkenal, Machiavelli menulis, “Manusia akan membela orang yang mereka takuti, dibanding yang mereka cintai. Rasa takut tidak akan pernah gagal.” Menurut Machiavelli, cinta dilakukan atas kuasa sendiri, sementara ketakutan adalah buah dari kekuasaan.
Penekanan tersebut terlihat dari cara pemimpin otoriter mempertahankan kekuasaannya. Seperti yang dicatat Hannah Arendt dalam bukunya The Origins of Totalitarianism, menebar teror adalah rumus paling mendasar bagi pemimpin totaliter.
Tidak heran kemudian, atas isinya yang jujur, serta pengaruhnya, Michael H. Hart sampai memberi julukan kepada Il Principe sebagai “Buku pedoman para diktator”.
Ada yang Luput
Namun, agaknya banyak yang kurang utuh membaca dan menafsirkan Il Principe. Meskipun benar disarankan berbagai tindakan kejahatan demi mempertahankan kekuasaan, dan bahkan mempromosikan pentingnya seorang penguasa untuk ditakuti, Machiavelli selalu mewanti-wanti agar seorang penguasa tidak boleh dibenci oleh rakyatnya.
Yang menarik adalah, Machiavelli menyebut ditakuti dengan dibenci tidaklah sama, bahkan cinta disebut dapat berjalan bersamaan dengan ketakutan. Kasus ini dicontohkan dalam kepemimpinan Hannibal, di mana ia sangat dihormati dan dipatuhi oleh pasukan besarnya, bukan karena kebaikan dan kemurahan hati, melainkan kekejamannya yang melampaui kemanusiaan.
Kasus Hannibal tampaknya menjawab, mengapa pemimpin-pemimpin totaliter seperti Hitler dan Stalin mendapat cinta yang besar dari rakyatnya meskipun dikenal begitu kejam.
Apa yang harus dihindari oleh penguasa bukanlah ditakuti rakyatnya, melainkan dibenci dan dipandang hina. Menurut Machiavelli, penguasa akan dibenci apabila ia tamak, merampas properti, dan pasangan bawahannya. Sementara penguasa akan dipandang hina apabila ia tidak memiliki pendirian, sembrono, lemah, penakut, dan tidak tegas.
Dan yang terpenting dari itu semua, seorang penguasa harus memastikan rakyatnya puas dengan pemerintahannya. Menurut Machiavelli, rasa kepuasan adalah jaminan dari rencana pihak-pihak yang ingin mengkudeta penguasa. Pemerintahan akan tetap berhasil dipertahankan selama rakyat mendukung dan bersama sang penguasa.
Dalam bagian-bagian akhir Il Principe, Machiavelli bahkan memberi nasihat-nasihat penuh moral. Misalnya, Machiavelli menulis, “penguasa yang bijaksana dan dapat mengatur pemerintahannya dengan baik telah belajar dengan sangat rajin untuk tidak membuat para bangsawan melakukan yang tidak-tidak, dan memberikan kepuasan kepada masyarakat dan menjaga mereka bahagia.”
Menariknya, Machiavelli telah memberi nasihat untuk membuat lembaga pengawas independen, tidak di bawah raja langsung, yang disebut dengan hakim ketiga. Tugas mereka adalah mengawasi para bangsawan dan menjaga kepentingan rakyat menjadi yang terdepan.
Itu lah Il Principe, karya Machiavelli yang masyhur. Penuh kejujuran, namun tidak melupakan nasihat-nasihat moral. (R53)