Debat capres dan cawapres tak hanya jadi panggung bagi para kandidat yang berlaga, tetapi juga bagi para pengiklan.
Pinterpolitik.com
[dropcap]D[/dropcap]ebat capres dan cawapres beberapa waktu lalu menyisakan banyak cerita. Umumnya, performa dan substansi debat kerap menjadi pembicaraan utama. Sajian yang hadir di panggung debat selama lebih kurang dua jam menjadi hal yang lebih banyak dibicarakan dari gelaran tersebut.
Tampaknya, sedikit orang yang menyoroti manakala kamera lokasi debat dimatikan dan diisi dengan jeda iklan. Padahal, bagi sebagian orang – terutama di media sosial – tidak sedikit yang membahas penempatan iklan dan beberapa bahkan membuat lelucon dari iklan-iklan komersil tersebut.
Bagi pemerhati Pemilu seperti Perludem atau lembaga negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perkara iklan ini penting disoroti karena sifat dari gelaran debat tersebut yang didanai oleh APBN. Hal ini tentu penting diketahui, tetapi ada juga aspek lain yang menarik dibahas.
Salah satunya adalah terkait penempatan iklan produk tertentu saat jeda debat tersebut. Hal ini terutama karena produk-produk yang hadir di jeda iklan tersebut memiliki pola-pola tersendiri.
Lalu, apakah sebenarnya yang tergambar dari penempatan iklan-iklan tersebut saat kamera tak menyorot kandidat? Apakah iklan-iklan tersebut hanya lewat begitu saja atau menjadi refleksi dari hal spesifik tertentu?
Waktu Menaruh Iklan
Debat presiden ternyata menjadi salah satu waktu di mana para pengiklan mau mengeluarkan banyak dana untuk mempromosikan produknya. Jika tidak percaya, tengok saja bagaimana praktik yang terjadi di Amerika Serikat (AS).
Berdasarkan artikel yang ditulis di laman Washington Post, debat presiden yang ditayangkan di televisi merupakan salah satu momen bagi pengiklan untuk menempatkan promosi produk mereka. Layaknya jeda di kala pertandingan football dalam tajuk Super Bowl, debat capres di AS boleh jadi setara gelaran olahraga spektakuler tersebut dalam konteks politik.
Sebenarnya, debat capres di AS tak serupa dengan yang terjadi di Indonesia. Meski disiarkan secara langsung oleh stasiun-stasiun televisi, panggung tersebut tak menyediakan jeda iklan. Meski demikian, hal ini tak menghentikan para pengiklan untuk mempromosikan produk-produk mereka.
Ada beragam produk yang hadir di iklan-iklan jelang dan pasca pertunjukan debat capres di negeri Paman Sam tersebut. Produk-produk seperti layanan keuangan, mobil, bir, hingga film-film menjadi iklan yang mendominasi di waktu-waktu tersebut.
Tentu ada alasan mengapa para pengiklan tersebut mau berusaha menjual produk-produk mereka di masa debat capres. Pada tahun 1980, misalnya 80 juta pasang mata menjadi saksi debat antara Jimmy Carter dan Ronald Reagan. Selain itu, pada tahun 2012, dua debat pertama antara Barack Obama dan Mitt Romney rata-rata ditonton oleh 66 juta pemirsa.
Jika uang yang menjadi hitungannya, stasiun-stasiun televisi juga meraup cukup banyak uang dari belanja para pengiklan tersebut. Angka yang dipatok untuk menaruh promosi produk sebelum dan sesudah debat tersebut lebih dari US$ 200 ribu (Rp 2,8 miliar) untuk iklan selama 30 detik.
Begitu besarnya belanja iklan di masa debat presiden ini membuat Paul Rittenberg, seorang eksekutif iklan untuk Fox News menyebut bahwa ini adalah semacam Super Bowl untuk stasiun televisi seperti mereka. Hal ini merujuk pada potensi penonton debat capres di tahun 2016 yang diprediksi mencapai, 90-100 juta penonton, setara dengan Super Bowl.
Berlomba Pasang Iklan
Hal serupa tampak terjadi dalam debat capres dan cawapres di Indonesia. Banyak produk berlomba-lomba untuk mendapatkan slot iklan di gelaran politik lima tahunan tersebut. Satu hal yang membuatnya berbeda dengan kondisi di AS adalah adanya jeda iklan di antara segmen debat capres dan cawapres di Indonesia.
Berdasarkan data dari Adstensity, sebagaimana dikutip oleh Indotelko, belanja iklan di gelaran debat capres dan cawapres memang cukup tinggi. Pada debat pertama, belanja iklan tersebut mencapai Rp 118,03 miliar pada 7 stasiun televisi nasional.
Angka tersebut mengalami lonjakan pada gelaran kedua. Di debat yang hanya melibatkan kandidat presiden tersebut, total belanja iklan mencapai Rp 339,14 miliar pada 11 stasiun televisi nasional.
Tak hanya itu, perolehan pendapatan yang diperoleh dari iklan di debat tersebut mencapai Rp 457,17 miliar dari dua kali penyelenggaraan debat. Beberapa televisi bahkan menikmati pendapatan iklan dengan persentase cukup besar melalui hal tersebut.
Jika diperhatikan, ada beberapa produk yang tersaji di layar penonton ketika debat masuk ke jeda iklan. Merujuk pada Indotelko, pada debat pertama, produk-produk yang memasuki 10 besar jumlah iklan berasal dari KPU, air mineral, cat pelapis bocor, pipa, keuangan, rokok, otomotif, yogurt, zat pembersih, dan kopi.
Hal yang mirip terjadi juga pada debat kedua. Sepuluh besar produk pembelanja iklan di debat capres ini di antaranya popok bayi, KPU, yogurt, obat-obatan, mie instan, cat pelapis bocor, susu, telekomunikasi, mobil, dan rokok.
Merujuk pada temuan tersebut, terlihat bahwa ada beberapa jenis produk yang secara konsisten masuk ke jeda-jeda iklan pada debat capres. Industri-industri yang dua kali masuk 10 besar pembelanja iklan tersebut di antaranya cat pelapis bocor, yogurt, mobil dan juga rokok. Berdasarkan kondisi tersebut, boleh jadi ada hal yang bisa tergambar dari penempatan iklan-iklan tersebut.
Kelas yang Menjadi Kunci
Terlihat bahwa produk-produk yang menaruh iklan ketika debat capres dan cawapres seperti mengincar kelompok kelas tertentu. Dalam konteks tersebut, kelas menengah ke atas boleh jadi adalah kelompok yang diincar oleh produk-produk tersebut. Produk seperti olahan susu, jasa keuangan, dan home improvement boleh jadi bukan kebutuhan dari masyarakat bawah kebanyakan.
Tak hanya itu,terlihat bahwa produk mobil juga belanja iklan cukup jor-joran di gelaran tersebut. Jika melihat rentang harganya, kedua produk mobil yang hadir di jeda iklan memang tergolong sulit disentuh masyarakat bawah. Secara pola, para pelaku usaha industri otomotif memang terlihat menjadikan debat sebagai peluang bagi mereka. Hal ini terlihat dari fakta bahwa hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di AS.
Jika melihat pada rating televisi yang dilansir dari laman Tempo, pada etimasi kelas Upper Middle, tayangan debat capres meraup posisi 2 dengan TVR 3,5 dan share 13,9. Memang, ini masih kalah dari televisi yang menayangkan program hiburan. Akan tetapi, rating tersebut menggambarkan bahwa acara debat capres memang menjadi magnet bagi masyarakat kelas menengah.
Debat capres menjadi panggung tersendiri bagi para pengiklan Share on XBerdasarkan kondisi-kondisi tersebut, dapat diasumsikan bahwa panggung debat beberapa waktu terakhir ini cenderung disaksikan oleh masyarakat kelas menengah. Para pengiklan tentu sudah melakukan riset tentang segmentasi masyarakat penonton debat dan boleh jadi hasilnya kelas menengahlah yang paling banyak menonton acara tersebut.
Kelas menengah sendiri kerap dianggap sebagai kelas yang menjadi penentu dari hasil Pemilu. Christophe Jaffrelot misalnya menyebut bahwa kemampuan untuk mengkapitalisasi kelas menengah dan kelas menengah baru dapat memberikan kemenangan pada suatu kandidat.
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, kelas menengah ini dianggap sebagai kelompok yang menggerakkan aktivisme politik di Tanah Air. Hal ini disebutkan dalam penelitian yang dibuat oleh Wasisto Raharjo Jati. Ini misalnya tergambar dari aktivisme kelas tersebut pada Pilpres 2014.
Berdasarkan kondisi tersebut, terlihat bahwa kelas menengah menjadi kelompok masyarakat yang paling diharapkan memberi pengaruh di Pemilu 2019. Gelaran debat bisa saja diharapkan mampu membuat kelas ini mau memilih dan dalam kadar tertentu menyebarkan pilihannya tersebut.
Lalu, bagaimana suara kelas menengah ini akan berlabuh? Apakah kandidat nomor urut 01 atau 02? Jawabannya mungkin baru akan tersaji di 17 April nanti. (H33)