Benarkah kunjungan Ma’ruf Amin ke Singapura tak terkait dengan kepentingan politiknya menjelang Pilpres 2019? Apa sebenarnya makna di balik kunjungan sang kiai dalam perspektif politik nasional maupun internasional?
PinterPolitik.com
Pada hari Rabu lalu, calon wakil presiden nomer urut 1, KH Ma’ruf Amin melakukan lawatan ke negeri singa dalam rangka bertemu Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong sekaligus memberikan kuliah umum di S. Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University (RSiS NTU) Singapura.
Menariknya, agenda kunjungan Ma’ruf disebut pihaknya atas dasar inisiatif sendiri. Didampingi keluarga dan Ketua Umum PKPI, Diaz Hendropriyono, kunjungan ini diklaim tidak ada hubungannya dengan kampanye Pilpres 2019. Disebut bahwa tujuan utama Ma’ruf adalah memberikan kuliah umum.
Lalu benarkah kunjungan Ma’ruf Amin ke Singapura tak terkait dengan kepentingan politiknya menjelang Pilpres 2019? Apa sebenarnya makna di balik kunjungan sang kiai dalam perspektif politik nasional maupun internasional?
Diplomasi Islam Wasathiyah Sang Kiai
Kunjungan Ma’ruf ke Singapura terbilang cukup menarik perhatian media internasional maupun nasional. Pasalnya, Ma’ruf datang dengan kapasitas salah satunya menyampaikan kuliah umum di salah satu kampus terbaik dunia, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University.
Dengan setelan sarung dan tak lupa peci sebagai ciri khasnya, ia menjelaskan tentang Islam Wasathiyah atau Islam moderat dihadapan ratusan mahasiswa.
Ma'ruf Amin menyebut, dirinya adalah pemakalah pertama yang memakai sarung dalam acara Kuliah Umum S. Rajaratnam School of Internasional Studies. https://t.co/UIeydnz45Q
— TEMPO.CO (@tempodotco) October 17, 2018
Lalu apa sebenarnya makna Islam Wasathiyah yang di ceramahkan sang kiai? Dan apakah diskursus ini memiliki arti secara politik?
Secara lebih luas, konsep Islam Wasathiyah adalah antitesis paham dan gerakan kelompok Islam radikal yang cenderung intoleran, dan mudah mengkafirkan (takfiri). Prinsip ini mengacu pada ajaran memperjuangkan nilai-nilai Islam yang moderat dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan.
Bahkan, istilah Wasathiyah sering digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama.
Dalam perspektif intelektual Barat, istilah Wasathiyah adalah manifestasi dari islam moderat yang tidak anti kapitalisme serta tidak bertentangan dengan sekularisme Barat, dan yang paling utama tidak menolak berbagai kepentingan Barat. Islam jenis ini di asosiasikan sebagai Islam yang ramah dan bisa jadi mitra Barat.
Langkah sang cawapres merupakan salah satu langkah diplomasi agama yang mungkin saja memiliki dampak krusial bagi politik Indonesia menjelang Pilpres 2019.
Menurut Luis Ritto, seorang mantan diplomat Uni Eropa meningkatnya politisasi agama di dunia menunjukkan bahwa agama semakin memainkan peran penting dalam panggung politik internasional.
Selain itu, ia juga menyebut bahwa diplomasi berbasis agama dapat menjadi alat yang berguna bagi kebijakan luar negeri bagi sebuah negara karena agama dapat menjadi salah salah satu instrument soft power sebuah negara.
Sebagai salah satu negara muslim demokrasi terbesar di dunia, tentu citra Islam moderat menjadi salah satu kekuatan Indonesia di mata internasional. Bisa jadi upaya diplomasi Ma’ruf Amin berkaitan dengan upaya pemulihan pandangan negatif Barat tentang Indonesia yang terjebak dalam pusara konservatisme Islam yang beberapa tahun terakhir merugikan citra Indonesia di mata dunia.
Terlepas dari agenda diplomasi agama, mungkinkah agenda diplomasi Islam wasathiyah ini juga bagian dari upaya Ma’ruf menepis anggapan negatif tentang dirinya yang dianggap oleh Barat sebagai sosok islamis radikal dan konservatif?
Mendekati Barat?
Selama beberapa tahun terakhir, para pengamat politik luar negeri melihat kecenderungan Islam memainkan peran penting dalam membentuk wacana politik di Indonesia.
Terlebih, pasca kasus penistaan agama yang dilakukan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di tahun 2016.
Pesan Ma'ruf Amin untuk milenial :
"Dibuang kelaut , jadilah pulau.
Di buang ke darat , jadilah gunung"
Kuliah umum KMA di Rajaratnam (RSIS NTU) Singapura, rabu 17 Oktober 2018.Cawapres 01 berkelas dunia, memberi motivasi optimis untuk kaum muda??
https://t.co/O9Fn7raLve— ?❣F꙯A꙯❣? (@FaGtng) October 17, 2018
Akibat turbulensi politik nasional yang disebabkan oleh diskursus agama tersebut, demokrasi di Indonesia menjadi pertaruhan di mata internasional.
Menurut the Economist Intelligence Units atau EIU, peringkat Indeks Demokrasi Indonesia pada tahun 2017, mengalami penurunan sebanyak 20 angka dari mulanya pada posisi 48 menjadi 68 pasca pemilihan gubernur DKI yang sarat akan politisasi agama.
Terlebih, menurut Vedi R Hadiz dalam jurnalnya berjudul Indonesia’s year of democratic setbacks: towards a new phase of deepening illiberalism, tahun 2017 merupakan tahun di mana demokrasi di Indonesia kembali menjadi illiberal atau adanya ancaman kebebasan sipil.
Hadiz juga menyebutkan konflik seputar pemilihan gubernur DKI Jakarta yang sarat akan polarisasi dan politisasi agama, juga menguatkan munculnya dorongan politik anti-pluralis dan intoleransi.
Pasca kekalahan Ahok dari kursi gubernur DKI, politisasi Islam juga disebut oleh banyak pengamat akan digunakan untuk mencoba melengserkan posisi petahana dari kursi kekuasaan di Pilpres 2019 nanti. Salah satu jalan untuk meredamnya adalah dengan menunjuk Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden yang akan mendampingi Jokowi pada Pilpres 2019
Namun, semenjak sosok Kiai Ma’ruf Amin ditunjuk sebagai cawapres, pemberitaan beberapa media internasional tentang sosok Ma’ruf Amin memang terkesan agak sumbang. Bahkan, pesimisme terhadap sosoknya semakin menguat karena dirinya dianggap sebagai representasi Islamis konservatif.
Bahkan, sosok kiai tersebut juga disinyalir memberi jalan pada Aksi Bela Islam berjilid-jilid, yakni sebuah upaya pengerahan masa dengan tujuan mendelegitimasi kekuasaan Jokowi dan menyebabkan diskursus anti non-muslim menyeruak ke publik.
Kekhawatiran pandangan internasional ini bukan berarti tanpa alasan. Dengan penunjukan Ma’ruf, beberapa pengamat khawatir bahwa Ma’ruf nantinya akan membuat kebijakan yang cenderung islamis ketika ia meraih kekuasaan.
Human Rights Watch mengemukakan kekhawatiran mereka bahwa penunjukan Ma’ruf bisa jadi akan menghambat realisasi janji Jokowi untuk meningkatkan kualitas hak asasi manusia di Indonesia.
Mengingat sosok Ma’ruf Amin sebelumnya adalah bagian dari aktor yang mencoba menggunakan agama sebagai alat untuk menegakkan agenda-agenda intoleransi.
Menurut laporan Human Rights Watch, Ia dianggap telah memainkan peran penting dalam agenda diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas.
Bahkan selama dua dekade terakhir menjabat sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ma’ruf telah mengeluarkan fatwa terhadap hak-hak minoritas agama, termasuk terhadap komunitas Ahmadiyah dan Syiah, serta kelompok LGBT.
Mungkin saja kunjungan Ma'ruf Amin ke negeri Singa tersebut adalah upaya membalikkan persepsi negatif Barat tentang dirinya yang dianggap pro politik Islam konservatif Share on XMeskipun pesan moderasi Islam kepada dunia internasional yang di sampaikan Ma’ruf di Singapura sangat bertolak belakang dengan citra Ma’ruf Amin selama ini yang dianggap sosok yang konservatif, mungkin saja ini adalah upaya membalikkan persepsi negatif Barat tentang dirinya yang dianggap pro politik Islam konservatif.
Sehingga sangat naif jika menganggap bahwa kunjungan Ma’ruf Amin ini tak terkait dengan agenda Pilpres 2019. Langkah tersebut bisa saja sangat berhubungan dengan Pilpres 2019 karena Ma’ruf berkepentingan untuk mencari dukungan Barat terhadap sosok dirinya.
Terlebih, Singapura adalah satu-satunya negara di Asia Tenggara yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai pintu gerbang Barat di kawasan ini. Karena Singapura memiliki kedekatan hubungan dagang dengan banyak negara Barat. Sehingga, posisi Singapura secara politik regionalisme dapat dikatakan penting sebagai jembatan antara bangsa Asia dan Barat.
Dengan mencari legitimasi internasional, Singapura menjadi panggung yang tepat bagi sang kiai untuk mengkonstruksikan siapa dirinya.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat Ian Clark dalam bukunya Legitimacy in International Society yang berpendapat bahwa mencari pengakuan internasional penting bagi sebuah negara atau bagi seorang pemimpin negara.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa, dalam upaya pencarian legitimasi tersebut, sang kiai menekankan pada tiga aspek penting. Pertama, memulihkan citra Indonesia yang tercoreng akibat dianggap mengalami kegagalan demokrasi dengan kecenderungan menjadi negara Islam konservatif adalah penting. Mengingat, Indonesia selama ini menjadi salah satu negara demokrasi terbesar dunia.
Kedua, dengan merubah citra sosoknya yang awalnya dianggap konservatif menjadi lebih terbuka dengan barat akan lebih menguntungkan dalam konteks kerja sama dengan Barat di masa mendatang ketika ia memimpin.
Dan ketiga, mengembalikan kepercayaan investor ditengah anggapan bahwa Indonesia kembali menjadi negara otoriter dan konservatif sangat penting bagi pemulihan kondisi ekonomi nasional akibat guncangan ekonomi global.
Hal ini selaras dengan peringatan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla, bahwa menjaga stabilitas iklim investasi ditengah kondisi politik menjelang Pilpres 2019 saat ini menjadi tugas penting untuk para kandidat yang akan bertarung.
Jika kunjungan Ma’ruf Amin dikatakan sebagai upaya mendekati Barat, tentu hal tersebut sangat relevan mengingat 2019 tidak hanya menjadi pertarungan politik bagi aktor dalam negeri, tetapi juga sebagai pertaruhan bagi kepercayaan dunia internasional terhadap citra Indonesia, salah satunya adalah kepercayaan negara-negara Barat. (M39)