Ijtima Ulama III beberapa waktu lalu digelar guna memberikan rekomendasi pada masyarakat terkait perlawanan terhadap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2019. Menyusul kegiatan tersebut, ribuan ulama lainnya menggelar Multaqo Ulama yang sebaliknya menyerukan perdamaian.
PinterPolitik.com
“They forgettin’ that it’s me. Akhi, tell ‘em I ain’t gone. Wallahi,” – Frank Ocean, musisi R&B asal Amerika Serikat
Ijtima Ulama III yang digelar bertepatan pada Hari Buruh 2019 tersebut menghasilkan lima poin usulan. Poin-poin rekomendasi tersebut berangkat dari asumsi yang menyebut bahwa Pemilu 2019 dipenuhi dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif.
Dengan menyimpulkan adanya kecurangan, pertemuan Ijtima tersebut mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) untuk mendiskualifikasi pencalonan paslon nomor urut 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin. Hasil Ijtima tersebut juga mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam melawan kecurangan-kecurangan yang terjadi.
Namun, pelaksanaan Ijtima tersebut dianggap bersifat politis dan memihak kubu paslon nomor urut 02, Prabowo Subanto-Sandiaga Uno. Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Ace Hasan Syadzily, menyebut kegiatan tersebut merupakan manuver politik kubu 02 yang ugal-ugalan yang berkedok perkumpulan ulama.
Agama dan Nasionalisme merupakan dua kutub yang saling menguatkan
"Jadilah orang yang beragama dan nasionalis, serta nasionalis yang beragama"
Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj, MA @saidaqil #HubbulWathon #NUCare #Kiyai #NU pic.twitter.com/QxlviuYkPr
— NU Care (@nucare_lazisnu) April 30, 2019
Beberapa hari setelah pelaksanaan Ijtima Ulama III, ribuan ulama lainnya mengadakan kegiatan pertemuan yang berbeda, yaitu Multaqo Ulama. Salah satu hadirin dalam kegiatan tersebut, Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj, menilai bahwa kegiatan tersebut lah yang merupakan kegiatan ulama sebenarnya.
Pertemuan Multaqo tersebut mengajak masyarakat untuk menjaga perdamaian, keamanan, dan situasi yang kondusif pasca Pemilu yang kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadan. Masyarakat juga diimbau untuk menghindari aksi-aksi yang provokatif, serta yang berlawanan dengan konstitusi dan aturan hukum.
Dengan poin-poin rekomendasinya yang masing-masing berbeda, dua pertemuan tersebut terlihat saling berseberangan dalam menanggapi isu dugaan kecurangan Pemilu 2019. Apa latar belakang yang mendasari perbedaan ulama-ulama ini? Lalu, mengapa ulama menjadi penting bagi kontestasi politik dalam Pemilu 2019?
Tradisionalis vs Puritanis
Guna memahami kelompok-kelompok ulama yang kini saling berseberangan terkait situasi pasca-Pemilu 2019, kita perlu melihat kembali ke belakang mengenai bagaimana kelompok-kelompok Islam di Indonesia terbentuk.
Dalam tulisan Nina Nurmila yang berjudul “The Indonesian Muslim Feminist Reinterpretation of Inheritance”, dijelaskan bahwa kehadiran Islam di Indonesia dimulai dengan penyebarannya di Aceh yang pada abad ke-7 merupakan kota pelabuhan dan perdagangan yang sibuk. Aceh juga menjadi tempat singgah sementara bagi pendatang-pendatang Muslim yang turut menyebarkan agama Islam di kepulauan Indonesia dengan kecakapannya dalam berdagang.
Hampir sama dengan di Aceh, sunan-sunan Wali Songo juga menyebarkan agama Islam di pulau Jawa dengan cara-cara damai, terutama melalui medium budaya – seperti wayang – yang dikombinasikan dengan nilai-nilai Islam. Dengan cara kombinasi budaya oleh Wali Songo, nilai-nilai budaya Jawa juga turut tercampur dalam ajaran-ajaran Islam di pulau ini, seperti tradisi warga untuk mengadakan slametan.
Kombinasi ajaran Islam dan budaya Jawa yang membentuk praktik-praktik Islam baru ini memicu kemunculan kelompok Muslim lain yang memiliki visi yang berbeda. Banyak cendekiawan-cendekiawan Muslim Indonesia yang pergi belajar ke kota-kota Timur Tengah – seperti Mekkah, Madinah, dan Kairo – membawa perspektif baru bagi Muslim di Indonesia.
Salah satu tokoh Islam pembawa visi Islam baru tersebut adalah KH Ahmad Dahlan. Di tengah-tengah praktik Islam yang tercampur dengan budaya-budaya lokal, Dahlan memperjuangkan misinya untuk memurnikan Islam di Indonesia dengan mendirikan organisasi Muhammadiyah pada November 1912.
Berdirinya Muhammadiyah ini tentunya menjadi penantang bagi Islam yang tercampur dengan budaya lokal, yaitu kelompok Islam tradisional. Berdasarkan tulisan yang berjudul Gerakan Pemikiran Muhammadiyah di situs organisasi tersebut, Muhammadiyah berupaya untuk menawarkan ajaran-ajaran Islam yang lebih puritan dengan menghapus budaya-budaya lama dan menggantikannya dengan budaya dan etos yang baru.
Diskursus sebagai pengetahuan dan kekuatan memiliki hubungan yang mengartikan satu sama lain. Share on XPengaruh dari seruan purifikasi kelompok puritan ini dapat dijelaskan dengan menggunakan hubungan konseptual antara diskursus (discourse) dan kekuatan (power) milik filsuf Prancis, Michel Foucault. Foucault menilai bahwa diskursus sebagai pengetahuan dan kekuatan memiliki hubungan yang mengartikan satu sama lain.
Bagi Foucault, pengetahuan dan kebenaran mendasari kekuatan. Begitu juga sebaliknya, dengan pengetahuan yang lebih banyak, kekuatan untuk memengaruhi diskursus juga lebih besar.
Jika kita aplikasikan konsep-konsep Foucault tersebut dalam memahami pengaruh seruan purifikasi di Indonesia, kelompok-kelompok puritan ini bisa saja meraih kekuatan dengan diskursus kebenaran berupa pengetahuan Islam. Dengan kekuatan yang tumbuh tersebut, kelompok ini memengaruhi relasi kekuatan di kalangan Muslim dengan melemahkan pengaruh kelompok Islam tradisional.
Jika memang kehadiran kelompok puritan berpengaruh pada relasi kekuatan di kalangan Muslim, respons apa yang lantas diberikan oleh kelompok Islam tradisional? Apakah kelompok tradisional hanya tinggal diam?
Menurut Faisal Islam dalam tulisannya yang berjudul “The Nahdlatul Ulama”, kelompok Islam tradisional tentunya tidak tinggal diam dalam menanggapi seruan-seruan purifikasi Islam di Jawa dan Sumatera Barat (Kaum Padri) yang dianggap terinspirasi oleh Wahabisme – gerakan purifikasi Islam yang dicetuskan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Jazirah Arab.
Melihat perdebatan agama di antara keduanya, gerakan politik Islam lain, Sarekat Islam (SI), berinisiatif untuk menjalankan berbagai Kongres Islam sebanyak lima kali pada tahun 1922-1926 untuk menengahi kelompok Islam tradisional dan puritan yang kongres kelima lebih memilih KH Mas Mansyur (Muhammadiyah) sebagai perwakilan untuk memenuhi undangan Raja Arab Saudi, Ibnu Saud, mengenai pembentukan khilafah baru.
Dengan perasaan teralienasi, kelompok tradisional membentuk komite baru dan menemui Ibnu Saud secara langsung, yaitu Komite Hijaz yang menjadi cikal bakal berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi ini nantinya menjadi wadah bagi aktivisme tokoh-tokoh Islam yang besar dari pesantren – menjadi pesaing bagi Muhammadiyah yang banyak diisi oleh cendekiawan Muslim yang belajar di Timur Tengah.
Jebakan Umara?
Persaingan antara kelompok tradisional dengan kelompok puritan ini tidak berhenti di era kolonial Belanda tersebut. Kontestasi di antara keduanya masih berlanjut hingga kini, termasuk imbasnya terhadap polarisasi politik dalam Pemilu 2019.
Menurut Jajat Burhanudin dan Kees van Dijk dalam bukunya yang berjudul Islam in Indonesia, berbagai kelompok puritan dan fundamentalis baru juga turut mewarnai perpolitikan Islam Indonesia di era kontemporer, seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Laskar Jihad.
FPI misalnya, terlihat aktif dalam mendukung Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019. Tokoh dan massa FPI, seperti Sobri Lubis dan Slamet Maarif, secara aktif menginisiasi dan terlibat dalam berbagai gerakan, organisasi, dan tindakan yang mendukung paslon tersebut, seperti Presidium Alumni 212 dan tiga jilid Ijtima Ulama.
Di sisi lain, kelompok Islam tradisional yang telah menjelma menjadi NU memposisikan diri sebagai lawan dari kelompok fundamentalis FPI. Hal ini terlihat dari bagaimana tokoh dan afiliasi NU secara aktif terlibat dalam kampanye dan dukungan politik bagi paslon tersebut, seperti pencalonan Ma’ruf sebagai wakil presiden dan dukungan Ketua PBNU Said Aqil terhadap Jokowi.
Jika kita perhatikan kembali, pola kompetisi antara tradisionalis dan puritanis kali ini tidak hanya sebatas pada tingkat pengetahuan dan ajaran agama. Kali ini, kepentingan politis umara – pemimpin pemerintahan non-ulama – juga melibatkan para ulama ini.
Jika memang begitu, apa yang mendasari hubungan ulama-umara dalam dinamika politik Pemilu 2019? Apa dampak lain dari hubungan di antara keduanya tersebut?
Hubungan ulama dan pemimpin negara ini bisa kita lihat dari bagaimana negara Arab Saudi berdiri. Joseph A. Kechichian dalam tulisannya yang berjudul “The Role of the Ulama in the Politics of an Islamic State” menjelaskan bahwa aliansi antara Raja Muhammad Ibnu Saud dengan Muhammad bin Abdul Wahhab – ulama pencetus Wahabisme –merupakan hubungan yang saling memberi legitimasi di antara kekuasaan agama dan otoritas di Arab Saudi hingga era kontemporer.
Hal yang mirip juga terjadi di Indonesia. Martin van Bruinessen dalam tulisannya yang berjudul “Indonesia’s Ulama and Politics” menjelaskan bahwa ulama dan umara memang memiliki hubungan tertentu. Bagi umara, dukungan ulama menjadi pihak yang mempengaruhi legitimasinya.
Namun, para ulama di Indonesia mungkin tidak memperoleh pengaruh seluas ulama di Arab Saudi dari kedekatannya dengan umara. Menurut Bruinessen, terdapat juga dilema dan disparitas moral ketika pihak-pihak umara yang didukungnya memiliki tendensi untuk menyalahgunakan kekuasaan, seperti korupsi. Bruinessen melihat bahwa para ulama ini pun tak berdaya dalam mengkontrol perilaku-perilaku umara tersebut.
Tendensi tersebut juga terlihat dalam Pemilu 2019. Menurut Edward Aspinall dalam tulisannya yang berjudul Indonesia’s Election and the Return of Ideological Competition di New Mandala, pengakomodasian dan jaringan personal, pragmatisme, serta patronase tetap akan menjadi fondasi dasar politik Indonesia.
Mungkin, keterbatasan pengaruh dalam pemerintahan dalam perannya sebagai pelengkap kekuasaan para umara tersebut mungkin membuat beberapa ulama belajar. Perluasan pengaruhnya pun terlihat dari adanya kontrak politik antara Prabowo dengan beberapa ulama dalam Ijtima Ulama II.
Meskipun begitu, tidak menutup kemungkinan juga Prabowo tidak mengikuti saran para ulama – mengingat sebelumnya mantan Danjen Kopassus tersebut tidak menuruti usulan para ulama dalam Ijtima Ulama I terkait nama-nama cawapres potensial. Prabowo akhirnya lebih memilih Sandi yang namanya tak muncul dalam rekomendasi ulama sebagai cawapres andalannya.
Terlepas dari dinamika politik Indonesia yang problematis tersebut, polarisasi politik antara kelompok Islam tradisional dan puritan dalam Pemilu 2019 mungkin tetap memiliki pengaruh di masa mendatang. Aspinall menjelaskan bahwa tatanan politik baru seperti ini tidak menutup kemungkinan dapat bangkit ke depannya di tengah-tengah tatanan lama yang dipenuhi dengan pragmatisme politik.
Intinya, pengaruh ulama di Indonesia kali ini mungkin hanya menjadi pelengkap legitimasi para umara. Dalam situasi pasca-Pemilu yang masih panas ini, masing-masing kelompok Islam tersebut terlihat bermanuver untuk meyakinkan kemenangan masing-masing umaranya, Jokowi dan Prabowo.
Selain itu, jika pengaruh ulama dalam perpolitikan Indonesia terus tumbuh, tidak menutup kemungkinan polarisasi yang kini eksis dalam Pemilu 2019 dapat memberikan energi perubahan baru bagi Indonesia, seperti yang terjadi dalam perjuangan kemerdekaan dulu.
Pada akhirnya, lirik Frank Ocean di awal tulisan pun mungkin menjadi relevan. Para umara mungkin lupa apabila ulama sebenarnya memiliki pengaruh yang sengat besar dan tetap akan stay dalam memengaruhi dinamika politik Indonesia ke depan. Menarik untuk ditunggu. (A43)