Pernyataan Ketua Umum ICMI, Jimly Asshiddiqie terkait dukungan 2 periode untuk Presiden Jokowi menimbulkan pertentangan di internal ICMI. Perdebatan tersebut membuka kembali sejarah ICMI yang didirikan oleh 3 kekuatan politik zaman Orde Baru.
PinterPolitik.com
“It is difficult to organize the masses for purposes of democratization and de-militarization if we don’t use the reason of religion.” – Adi Sasano, Ketua ICMI periode 2000-2005
[dropcap]A[/dropcap]roma Pilpres 2014 rupanya masih tersisa di tubuh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Pasalnya, pernyataan Ketua ICMI Jimly Asshiddiqie yang ingin mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk periode kepemimpinan berikutnya mendatangkan protes dari banyak pihak, terutama dari internal organisasi tersebut.
Jimly dianggap mengeluarkan pernyataan pribadi dan bukan pernyataan organisasi secara keseluruhan. Anggota ICMI juga menyebut tidak ada pertemuan atau musyawarah tertentu untuk deklarasi dukungan tersebut.
“Dengan tetap senantiasa berpikir kritis, ICMI tidak pernah ragu, tidak perlu dan tidak boleh ragu lagi untuk mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun.” – Jimly Asshiddiqie
Jika diamati, kata-kata yang diucapkan pada pembukaan Silaturahim Kerja Nasional ICMI Se-Indonesia dan HUT Ke-27 ICMI di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, Jumat (8/12/2017) ini memang seolah mengatasnamakan ICMI sebagai organisasi. ICMI bahkan disebut tidak boleh ragu mendukung Jokowi di 2019.
Jika Benar Jimly mengatasnamakan ICMI menggiring Opini utk mendukung pakde Jokowi 2 periode, sebaiknya segera mundur dari ICMI dan Bawaslu.
Banyak janji yang belum terpenuhi, kehidupan rakyat semakin sulit, bagai tak berempati.
Yang setuju RT
Yang Gak Like.— Eliya (@eliya_mkom) December 9, 2017
Perbincangan terkait topik ini menjadi menarik karena ICMI – setidaknya mayoritas tokoh termasuk Ketua Presidiumnya saat itu – mendukung Prabowo Subianto pada Pilpres 2014 lalu. Marwah Daud Ibrahim yang pada tahun itu menjabat sebagai Ketua Presidium ICMI menyebut keberadaan Hatta Rajasa sebagai cawapres Prabowo adalah faktor mengapa mayoritas anggotanya memberikan dukungan untuk mantan Danjen Kopassus tersebut.
Hatta Rajasa adalah anggota ICMI dan bahkan pernah menjadi salah satu Ketua Presidium organisasi yang didirikan oleh Presiden ke-3 RI, B.J. Habibie ini. Hatta menjadi Ketua Presidium ICMI untuk periode 2007-2008.
Masih adanya riak-riak penolakan di tubuh ICMI menimbulkan pertanyaan, apakah perbedaan dukungan ini menunjukkan pilihan politik ICMI belum solid? Lalu, bagaimana sebetulnya kelahiran organisasi yang pernah ditentang oleh militer ini?
ICMI: Cahaya Perubahan
Douglas Ramage dalam bukunya Politics in Indonesia: Democracy, Islam and the Ideology of Tolerance menyebut kelahiran ICMI sebagai salah satu kejadian politik paling berpengaruh dalam kurun waktu satu dekade terakhir kekuasaan Soekarno.
Kelahiran ICMI di akhir tahun 1990 dianggap sebagai sumber ‘cahaya’ bagi kondisi negara dan bagi kelompok Islam yang semakin suram karena kepemimpinan Soeharto dan kroni-kroninya. Tidak heran jika secara politis, posisi ICMI cukup penting hingga saat ini.
Berbeda dengan NU, ICMI adalah organisasi yang tidak didominasi oleh satu tokoh tertentu. Walaupun Habibie diposisikan sebagai Ketua Umum saat ICMI didirikan, banyak anggota ICMI yang justru mempertanyakan posisi Menteri Riset dan Teknologi Soeharto tersebut terhadap visi ICMI.
Namun, jika dilihat dari kondisi politik saat itu, sangat mungkin Habibie diposisikan sebagai ketua mengingat kedekatannya dengan Soeharto. Jabatan menteri yang saat itu telah disandangnya selama lebih dari 10 tahun, membuat ia dianggap sebagai salah satu orang kepercayaan Soeharto. Habibie-lah salah satu alasan mengapa ICMI mendapatkan legitimasi Soeharto dan dibiarkan – bahkan didukung – untuk berkembang.
Walaupun posisi Habibie penting di ICMI, namun Ramage juga menyebut perannya tidak begitu besar dalam hal ideologi dan arah pergerakan organisasi tersebut. Hal inilah yang membuat ICMI cenderung memiliki kekuatan politik yang tersebar di beberapa orang dan kelompok. Kepengurusannya diisi oleh orang-orang birokrat yang dekat dengan Habibie – tentu saja dengan Soeharto – sementara aktivitasnya dijalankan oleh aktivis-aktivis muslim yang butuh legitimasi politik justru untuk menurunkan Soeharto dari jabatannya.
Sejak didirikan, kekuatan politik ICMI terbagi dalam 3 kelompok besar, yakni para ahli teologi Islam dan scholar, para aktivis dan politisi Islam, serta kelompok terakhir adalah para birokrat pemerintahan.
Para teolog dan scholar ini terlihat dalam diri Nurcholis Majid (Cak Nur) dan Dawam Rahardjo. Keduanya bersama dengan Abdurrahman Wahid (di luar ICMI) dianggap sebagai para pemikir revolusioner Islam paling berpengaruh di tahun 70-an.
Sementara, para aktivis dan politisi bisa dilihat dari anggota ICMI yang berhubungan dengan Muhammadiyah, termasuk para pengikut mantan Perdana Menteri Indonesia sekaligus Ketua Masyumi, Mohammad Natsir. Nama Amien Rais, Dawam Rahardjo, Sri Bintang Pamungkas, Adi Sasono, Nasir Tamara, Din Syamsuddin, dan Imaduddin Abdul Rahim merupakan barisan aktivis – sekaligus scholar – yang masuk dalam kelompok tersebut.
ICMI parah,….. Jikalau Jimly dukung Jokowi it's Ok, tetapi Tidak Etis mengatasnamakan ICMI, apalagi ICMI organisasi independen dan bukan ormas politik
— Kahar Mudakir (@KaharMudakir1) December 8, 2017
Adapun para birokrat masuk melalui Habibie. Karena legitimasi ICMI yang terlihat lewat fakta Soeharto ‘memberi izin’ – apalagi ia dekat dengan Habibie – maka beberapa bawahannya pun ikut bergabung dengan ICMI. Nama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, Menteri Perhubungan Haryanto Dhanutirto, dan petinggi di Badan Pusat Statistik (BPS) Soetjipto Wirosardjono merupakan beberapa birokrat yang menjadi bagian dari ICMI.
Hingga kini, ketiga kelompok ini masih memiliki andil dalam mempengaruhi arah ICMI – yang oleh Cak Nur disebut menjadi terlalu ‘politis’.
ICMI dianggap penting karena memberikan ‘suara’ pada Islam yang dianggap cenderung didominasi oleh NU dan Muhammadiyah, atau oleh pemikir revolusioner macam Abdurrahman Wahid dan Nurcholis Majid. Islam juga direpresi oleh Orde Baru sebagai bagian dari penerapan asas tunggal Pancasila, sehingga kehilangan ekses politiknya.
ICMI dan Legitimasi Soeharto
Kelahiran ICMI juga dianggap sebagai perubahan pendekatan Soeharto terhadap Islam karena penilaiannya terhadap kubu militer. Soeharto mulai melihat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) semakin sulit dikendalikan dan mulai muncul riak-riak berkurangnya dukungan pada sang jenderal besar itu, seiring menguatnya ‘faksi merah putih’ atau kelompok nasionalis di militer.
Akibatnya, beberapa pihak menyebut ICMI digunakan sebagai ‘alat’ Soeharto untuk ‘menghijaukan’atau memasukkan dogma Islam ke dalam militer. Selain itu, Soeharto juga menarik kekuatan Islam ke kubunya karena hanya Islam yang mampu menandingi posisi militer saat itu.
Dukungan Soeharto terhadap ICMI juga menggambarkan keberhasilan penerapan dan doktriniasai asas tunggal pada tahun-tahun sebelumnya untuk merepresi suara-suara yang ingin mendirikan negara Islam Indonesia – cita-cita yang kembali menyeruak ke permukaan beberapa tahun belakangan ini. Soeharto mendukung ICMI karena menganggap cita-cita negara Islam sudah hilang karena kuatnya doktrin asas tunggal.
Selain peleburan partai-partai Islam ke dalam PPP, ICMI adalah satu-satunya organisasi besar berasaskan Islam yang didirikan di zaman Soeharto. ICMI adalah perwujudan cara Soeharto memperbaiki hubungannya dengan Islam. ICMI dianggap sebagai the new Masyumi dan menjadi pemersatu gerakan Islam Indonesia yang untuk beberapa saat terpecah.
Karena berisikan scholar dan aktivis, ICMI akhirnya juga menyuarakan demokrasi dan demiliterisasi. Beberapa tokoh, misalnya Amien Rais, juga menyoroti masalah ‘Kristenisasi’ yang dianggap kuat terjadi di Indonesia sejak tahun 70-an. Sementara di bidang ekonomi, para aktivis ICMI cenderung ingin menyuarakan ekonomi pembangunan yang lebih menyejahterakan rakyat kecil – visi yang berbeda dengan teknokrasi ala Habibie.
Karena gagasan-gagasannya itu – terutama terkait demokrasi dan demiliterisasi – ICMI sempat ditentang oleh beberapa faksi di militer. Letnan Jenderal Harsudiyono Hartas merupakan salah satu petinggi ABRI yang mempertanyakan posisi ICMI terhadap Pancasila. Ia menyebut posisi ICMI yang mengedepankan Islam dibanding kepentingan nasional bertentang dengan Pancasila.
Sebagai negara beragama, menurut Hartas, Pancasila harus dikedepankan demi terciptanya toleransi yang menjamin keberlangsungan negara. Jika ada ancaman terhadap toleransi, maka – ipso facto (dengan sendirinya) – menjadi ancaman bagi keutuhan negara. ICMI dianggap cenderung mendorong Islam ke ranah politik dan mengarah ke politik sektarian.
Bahkan, perdebatan yang saat itu muncul juga menyinggung peran Center for Strategic and International Strategies (CSIS) – think tank yang diisi oleh para cendikiawan Katolik, namun didirikan oleh dua jenderal muslim: Ali Moertopo dan Soedjono Humardhani. Namun, perdebatan-perdebatan tersebut tidak mendapatkan artikulasi karena Soeharto sendiri mendukung ICMI.
Pada akhirnya, ICMI pun menjadi salah satu organisasi politik yang ikut menggerakan reformasi di tahun 1998. Beberapa pihak menyebut posisi Habibie di ICMI menjadi salah satu alasan yang membuatnya mendapatkan kesempatan menjadi presiden menggantikan Soeharto.
Jalan Politik di 2019
Hingga saat ini, ICMI masih menjadi kekuatan politik dominan karena berisikan cendikiawan muslim yang berpengaruh. Pertarungan politik di internal organisasi ini juga akan mempengaruhi siapa yang akan menang di Pilpres 2019.
Walaupun dalam konteks yang berbeda, pertaruhan 3 kubu di ICMI masih akan terus terjadi. Saat ini ICMI dipimpin oleh Jimly, yang oleh beberapa pihak disebut cenderung dekat dengan Habibie. Artinya, kubu birokratlah yang saat ini memimpin di ICMI.
Fakta bahwa Hatta Rajasa adalah anggota ICMI, dan politisi yang paling sering mengkritik Jokowi – Amien Rais – juga adalah anggota ICMI, tentu menjadi variabel menarik untuk melihat dukungan ICMI di 2019. Jika masih ada protes di sana-sini, itu artinya dukungan politik ICMI masih terbelah.
Melihat manuver Jimly yang menjalin kerja sama dengan kelompok nasionalis, serta Habibie yang semakin dekat dengan Jokowi, akankah ICMI mampu memenangkan Jokowi untuk periode berikutnya? Ataukah, anggota-anggotanya malah kembali mendukung Prabowo seperti di Pilpres 2014? Menarik untuk ditunggu. (S13)