Keputusan pemerintah untuk memindahkan ibu kota ke Kalimantan Timur (Kaltim) ternyata tidak hanya mempengaruhi Indonesia. Pemindahan ini juga akan memberikan efek bagi negara lain, khususnya dalam bidang ekonomi, diplomasi, dan keamanan.
PinterPolitik.com
Indonesia memang mendapatkan sorotan internasional karena dalam lima tahun ke depan akan memindahkan ibu kotanya ke Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Sebagian besar pemberitaan media luar ini membahas alasan di balik pemindahan tersebut.
Namun, ada juga beberapa media yang mengangkat kekhawatiran dan dampak negatif pemindahan ibu kota.
“Mengganggu” Tetangga
Sebelumnya PinterPolitik sudah membahas dampak pemindahan ibu kota bagi sektor pertahanan Indonesia. Namun, nyatanya hal ini juga dapat mempengaruhi pertahanan negara lain.
Hal ini diungkapkan oleh Teuku Rezasyah, pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjadjaran.
Ia mengatakan bahwa pemindahan ibu kota ke Kaltim dapat menimbulkan kekhawatiran pertahanan-keamanan bagi negara tetangga, yaitu Malaysia, Brunei, dan Singapura.
Kekhawatiran ini muncul karena pemindahan ibu kota Indonesia juga diikuti oleh pemindahan besar-besaran kekuatan Tentara Nasional Indonesia (TNI), yang selama ini terpusat di Pulau Jawa, untuk kebutuhan pertahanan ibu kota baru. Atau dengan kata lain, kekuatan TNI akan semakin mendekat ke Malaysia dan Brunei.
Dalam hubungan internasional kondisi ini dikenal dengan istilah security dilemma alias dilema keamanan.
Menurut Ken Booth dan Nicolas J. Wheeler, dilema keamanan adalah suatu keadaan di mana peningkatan kapabilitas militer suatu negara menjadi sumber ketidakamanan bagi negara lain.
Dilema terjadi karena suatu negara tidak dapat mengetahui apakah peningkatan militer yang dilakukan negara lain memiliki tujuan defensif atau ofensif.
Booth dan Wheeler kemudian menjelaskan bahwa dilema keamanan terjadi di dua level.
Level pertama, yaitu bagaimana negara mengintepretasikan peningkatan militer negara lain, apakah akan dilihat sebagai suatu ancaman atau tidak.
Level kedua, yaitu apa respon yang harus diberikan negara. Apakah negara akan merespon peningkatan militer negara lain dengan tenang atau meresponnya dengan turut serta meningkatkan kapabilitas militernya.
Meskipun saat ini hubungan Indonesia dengan ketiga negara yang disebutkan sebelumnya cukup baik, sejarah membuktikan bahwa beberapa kali terjadi ketegangan bahkan konflik bersenjata, khususnya antara Indonesia dan Malaysia.
Konflik yang paling terkenal tentu saja Konfrontasi “Ganyang Malaysia” yang digaungkan oleh Sukarno melalui pidatonya yang berjudul Dwikora (Dwi Komando Rakyat) pada tahun 1963.
Pada saat itu Indonesia melaksanakan operasi militer dengan mengirimkan pasukannya ke Sabah dan Sarawak dengan tujuan mencegah pembentukan Federasi Malaysia dan mengusir Inggris. Tidak hanya di Kalimantan, Indonesia juga pernah mengirim marinirnya untuk meledakkan bom di Singapura.
Konflik lainnya terjadi berkaitan dengan sengketa wilayah perbatasan, yaitu sengketa Pulau Sipadan-Ligitan dan Perairan Ambalat.
Sengketa Sipadan-Ligitan telah selesai melalui putusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002 yang menetapkan bahwa Malaysia-lah yang berhak atas kedua pulau tersebut.
Sementara sengketa Ambalat masih terjadi hingga saat ini. Gesekan militer kedua negara pun kerap terjadi di perairan ini.
Pada tahun 2015 TNI pernah memprotes keras pesawat tempur Malaysia yang 9 kali memasuki wilayah udara Ambalat. Kemudian pada tahun 2016 giliran pemerintah Malaysia yang memprotes Indonesia karena pesawat tempurnya dicegat oleh pesawat TNI AU.
Dilema kemanan juga mungkin disebabkan oleh adanya perbedaan kondisi antara TNI dengan Angkatan Tentera Malaysia (ATM).
Dalam empat tahun ke belakang anggaran pertahanan Malaysia mengalami penurunan hingga 21 persen. Pemotongan anggaran pertahanan ini berdampak negatif pada menurunnya tingkat kesiapan ATM, khususnya angkatan udaranya.
Kondisi yang lebih baik dialami oleh TNI.
Tahun ini pemerintah mengalokasikan Rp 108 triliun untuk pertahanan alias dua kali lipat dari anggaran pertahanan Malaysia. Bahkan tahun depan anggaran pertahanan Indonesia akan naik 17 persen menjadi Rp 127 triliun.
Dengan adanya sejarah konflik dan ketimpangan kondisi pertahanan kedua negara, bisa jadi dalam aspek pertahanan, Malaysia akan terganggu dengan peningkatan kekuatan TNI di Kalimantan.
Jika merasa terganggu, mungkin dalam beberapa tahun ke depan kita akan melihat peningkatan kekuatan militer Malaysia di Sabah dan Sarawak yang kemudian, ironinya, bisa menjadi dilema keamanan bagi Indonesia.
Menarik Dana Asing
Di sisi lain, pemindahan ibu kota bisa menarik investor dan konsulat asing.
Hingga saat ini, investor ataupun konsulat pembangunan dari beberapa negara seperti Inggris dan Australia sudah menyatakan minatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan ibu kota baru.
Dari banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia, ada satu investasi yang nampaknya selalu mendapat perhatian khusus, yaitu Belt Road Initiative (BRI) dari Tiongkok.
BRI sendiri dinilai beberapa pihak berisiko bahkan berbahaya untuk diambil oleh pemerintah Indonesia, salah satunya karena dinilai sebagai usaha Tiongkok untuk mempengaruhi negara yang menerima investasinya.
Di sisi lain, pemerintah memang membutuhkan dana investasi asing untuk membantu pembiayaan pemindahan ibu kota yang mencapai Rp 466 triliun dengan hanya 19 persen darinya diambil dari APBN.
Adanya kebutuhan anggaran ini bisa jadi menjadi incaran Tiongkok ataupun ditawarkan sendiri oleh pemerintah Indonesia kepada negara tersebut.
Kemungkinan masuknya investasi asal Tiongkok dalam pemindahan ibu kota bukan suatu hal yang mustahil.
Sebelumnya pemerintah sudah pernah menawarkan 28 proyek infrastruktur dengan total nilai mencapai Rp 1.296 triliun ke Tiongkok.
Selain itu pemerintah juga sudah menyetujui program BRI di mana empat dari 9 proyek priotasnya berada di sebelah ibu kota baru, yaitu di Kalimantan Utara.
Dapat Pengaruhi Diplomasi
Selain masalah pertahanan dan ekonomi, pemindahan ibu kota juga berpotensi mempengaruhi diplomasi Indonesia dengan negara-negara sahabat.
Tidak hanya instansi milik pemerintah Indonesia yang harus hijrah ke Kaltim, instansi-instansi milik negara lain dan organisasi internasional juga ditengarai akan ikut pindah.
Sinyal pemindahan kedutaan besar (kedubes) atau kantor perwakilan ini pun sudah diberikan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas, Bambang Brojonegoro.
Bambang mengatakan bahwa pemerintah akan meminta kedubes-kedubes negara asing untuk ikut pindah.
Nantinya pemerintah akan membantu pemindahan kedubes-kedubes tersebut ke ibu kota baru, salah satunya dengan menciptakan daerah khusus untuk kantor-kantor kedutaan di Kaltim.
Tapi, apakah kedubes ini harus benar-benar pindah?
Memang, hampir semua negara menempatkan kedubes-nya di ibu kota atau pusat pemerintah negara penerima. Hal ini dilakukan untuk mempermudah komunikasi atau pertemuan antara pemerintah negara asing yang diwakili oleh kedubesnya, dengan pemerintah negara penerima.
Pindahnya kedubes ataupun kantor perwakilan lembaga internasional juga bisa dipengaruhi oleh status Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) yang akan dicabut dari Jakarta dan dipindahkan ke ibu kota baru.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007, disebutkan bahwa DKI memiliki peran sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional.
Namun, pemindahan ini bukan tanpa hambatan. Pendirian kedubes bisa membutuhkan dana yang besar, tergantung dari luas dan standar yang diinginkan oleh negara asalnya.
Ambil contoh kedubes AS yang renovasinya baru selesai pada Maret 2019 kemarin. Renovasi ini memakan biaya Rp 3,7 triliun dan menjadikannya sebagai salah satu kedutaan terbesar AS di dunia.
Contoh lainnya adalah gedung sekretariat ASEAN yang baru diresmikan Jokowi tiga minggu yang lalu. Gedung ini menelan biaya sebesar Rp 448 miliar.
Dengan alasan biaya, bisa saja beberapa negara asing menolak memindahkan kedubesnya ke Kaltim. Terlebih lagi karena mereka tetap memiliki kepentingan di Jakarta yang tetap menjadi pusat perekonomian Indonesia.
Jika tidak memindahkan kantornya, negara atau organisasi asing memiliki pilihan lain, misalnya dengan membuka kantor-kantor perwakilan, seperti Konsulat Jenderal, di ibu kota baru.
Praktik ini sudah dilakukan contohnya oleh AS dan Australia yang meskipun Kedubesnya berada di Jakarta, keduanya memiliki kantor Konsulat di Bali, Medan, dan Surabaya.
Jika membandingkan dengan negara lain yang juga memindahkan ibu kotanya, seperti Malaysia dan Korea Selatan, memang tidak semua kedubes atau kantor perwakilan organisasi internasional ikut pindah.
Sejauh ini baru dua negara yang menyatakan akan memindahkan Kedubesnya ke Kaltim, yaitu Belanda dan Australia.
Selain pengaruh pertahanan, ekonomi, dan diplomasi, sebenarnya ada satu hal lagi yang dipengaruhi oleh pemindahan ibu kota.
Entah disengaja atau tidak, nampaknya sorotan dunia internasional terhadap konflik di Papua sedikit-banyak tergantikan oleh isu pemindahan ibu kota, terlebih lagi dengan terus dibatasinya akses informasi di Papua. Tak ada yang tahu pasti. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.