Diumumkannya dua kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur semakin menunjukkan keseriusan pemerintah, terutama Jokowi, dalam memindahkan ibu kota Indonesia. Namun, di sisi lain, pemindahan ibu kota tersebut menuai banyak kritik dan berpotensi terhambat. Kekuatan politik Jokowi pun akan diuji, apakah sang presiden benar-benar bisa memindahkan ibu kota negara?
PinterPolitik.com
Dua kabupaten yang dipilih adalah Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara. Pemerintah menargetkan pembangunan infrastruktur yang diperlukan sudah dimulai tahun 2020 dan pada tahun 2024 ibu kota sudah tidak lagi di Jakarta.
Adalah hal yang lumrah jika kebijakan pemerintah menuai kritik, termasuk dalam hal pemindahan ibu kota ini. Namun, kritik yang diterima pemerintah – khususnya Jokowi – nampaknya cukup masif.
Kritik datang dari semua kalangan, mulai dari politisi, akademisi, hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan mencakup semua aspek, baik ekonomi, hukum, sosial, dan lingkungan. Mampukah Jokowi bertahan dari semua kritik tersebut?
Kepercayaan Diri Jokowi
Dalam aspek ekonomi, kritik langsung datang dari empat ekonom senior, yaitu Prof David Henley dari Leiden University, ekonom Didik Junaedi Rachbini, ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Fadhil Hasan, dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Emil Salim.
Menurut mereka, pemindahan ibu kota ke Kalimantan belum diperlukan dan tidak didasari oleh kajian yang matang. Hal ini dilihat dari beberapa pernyataan pejabat seperti Ketua MPR, Ketua DPR, dan Kemendagri yang belum menerima naskah akademik.
Mereka juga mengingatkan bahwa di negara lain pemindahan ibu kota terbukti gagal dengan alasan politik ataupun anggaran.
LSM Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) juga mengatakan bahwa pemindahan ibu kota tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat.
Menurut Walhi, pemindahan ibu kota terkesan otoriter karena tidak melibatkan masyarakat, terutama masyarakat Kalimantan. JATAM mengatakan bahwa tidak adanya transparansi terlihat dari tidak dipublikasikannya kajian, yang menurut pemerintah menjadi dasar rencana pemindahan ibu kota, ke masyarakat.
Tidak berhenti di situ, JATAM bahkan mencurigai pemindahan ibu kota hanya jadi ambisi satu orang dan tidak lebih dari kompensasi politik atau bagi-bagi proyek pasca Pilpres.
Kemungkinan adanya motif tersembunyi dalam pemindahan ibu kota juga disampaikan oleh pengamat politik Ade Reza Hariyadi. Ia melihat adanya keanehan bahwa program strategis selevel pemindahan ibu kota tidak ada dalam visi-misi Jokowi, baik dalam Pilpres 2014 maupun 2019.
Tantangan terbesar mungkin ada dalam aspek legalitas. Hingga saat ini, pemerintah belum memiliki dasar hukum untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kaltim.
Menurut Anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera, pemerintah setidaknya perlu membahas dan merevisi 6 undang-undang (UU) terkait pemindahan ibu kota.
UU ini berkaitan dengan penetapan Provinsi DKI Jakarta sebagai lokasi ibu kota, status otonomi dan kekhususan wilayah Kaltim sebagai wilayah ibu kota baru, serta status beberapa lembaga atau kementerian negara yang lokasi kantornya harus berada di ibu kota.
Aspek legalitas ini menjadi tantangan besar karena tanpa ada dasar hukum yang jelas, pembangunan ibu kota baru yang direncanakan dimulai tahun depan tidak bisa dilaksanakan.
Dengan segudang kritik dan tantangan yang ada, cukup masuk akal jika banyak pihak menilai Jokowi memindahkan ibu kota secara tergesa-gesa dan tidak transparan.
Namun, dengan semua kritik dan tantangan yang ada, Jokowi terus maju dengan rencana pemindahan ibu kota. Bahkan ia yakin semua persoalan bisa diselesaikan dalam waktu 5 tahun.
Lalu, mengapa Jokowi bisa “se-PD” ini?
Panggung Pembuktian Kekuatan
Pemindahan ibu kota nampaknya akan menjadi ujian terbesar bagi kepresidenan yang kuat alias strong presidency yang terlihat ingin dibangun Jokowi. Kekuatan ini utamanya akan diuji dalam aspek politik.
Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, tantangan terbesar ada dalam aspek legalitas.
Selain karena ada lebih dari satu UU yang harus direvisi, Jokowi juga akan sangat bergantung kepada DPR untuk meloloskan semua UU dan anggaran yang diperlukan untuk memindahkan ibu kota.
Lolos-tidaknya UU dan anggaran ini kemudian akan sangat bergantung pada hubungan antara sang eksekutif dengan legislatif utamanya dengan parpol yang ada di DPR.
Menurut Stephen Skowronek, kekuatan atau kesuksesan seorang presiden memang bergantung pada lingkungan politiknya.
Kekuatan ini dilihat dari apakah seorang presiden berafiliasi atau malah menentang “komitmen politik” yang sudah ada, dalam hal ini komitmen yang ada di antara parpol-parpol di DPR.
Walaupun sejauh ini baik MPR, DPR, dan DPD memberikan sinyal dukungan, tidak menutup kemungkinan ada lobi dan kompromi politk yang harus dilakukan Jokowi.
Fokus lobi dan kompromi politik ini utamanya akan dirasakan kepada PDIP dan Gerindra, dua partai yang saat ini lagi “mesra-mesranya” berkat kumbo-kumbo politik yang terjadi.
Kedekatan Jokowi terhadap kedua partai ini menjadi penting karena berdasarkan hasil perolehan suara pada Pileg 2019, keduanya diprediksi akan menguasi lebih dari sepertiga kursi DPR.
Di sinilah dua kepentingan bertemu.
Jokowi memerlukan DPR untuk meloloskan kebutuhan legalitas dan anggaran ibu kota baru. Di sisi lain PDIP-Gerindra, dan partai lainnya di DPR, juga memiliki kepentingan sendiri. Adapun kepentingan parpol yang sedang ramai dibicarakan adalah terkait pembagian jatah kursi menteri dan rencana amendemen UUD 1945.
Untuk masalah jatah menteri, Jokowi membatasi parpol karena beberapa minggu yang lalu ia sudah mengatakan bahwa 55 persen kabinet barunya akan diisi oleh menteri non-parpol.
Sementara untuk rencana amendemen UUD 1945 yang diajukan oleh sebagian besar parpol, Jokowi secara tegas menolaknya karena menganggap amendemen tersebut berpotensi melemahkan jabatan seorang presiden.
Yang menjadi pertanyaannya adalah apakah demi berdirinya ibu kota baru Jokowi akan mengubah pendiriannya dalam dua kepentingan parpol di atas?
Atau mungkin ada bentuk kompromi lain selain kursi menteri dan amendemen UUD 1945?
Tidak ada yang tahu pasti. Namun, bisa saja bentuk kompromi yang lain adalah dalam bentuk lahan.
Diberitakan bahwa ada beberapa penguasaha besar yang memiliki lahan di Kaltim. Pengusaha ini pun secara jelas memiliki pertalian dengan partai politik, mulai dari Sandiaga Uno hingga Aburizal Bakrie.
Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan menyebutkan bahwa Prabowo Subianto juga memiliki lahan di sekitar lokasi ibu kota baru. Hal senada juga diutarakan oleh JATAM yang mengatakan bahwa adik Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, adalah salah satu pihak yang paling diuntungkan atas pemindahan ibu kota ini.
Dugaan kepemilikikan lahan ini direspon secara berbeda-beda oleh elite-elite Partai Gerindra.
Menurut Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo, Prabowo dan Hashim memang memiliki tanah di lokasi ibu kota baru. Sementara menurut Juru Bicara Prabowo Subianto, Dahnil Anzar Simanjuntak, lahan yang ada di Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam bukan milik Prabowo.
Pada akhirnya, pemindahan ibu kota memang menjadi pertaruhan Jokowi. Persoalannya adalah apakah strong presidency Jokowi akan bisa ditunjukkan dengan keberhasilannya memindahkan ibu kota, atau jangan-jangan pemindahan ibu kota malah melemahkannya karena harus melakukan lobi dan kompromi politik? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F51)
Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.