Site icon PinterPolitik.com

Husnuzan FPI Pada PKI, Mungkinkah?

Husnuzan FPI Pada PKI, Mungkinkah

Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab saat bertemu dengan Komisi III DPR pada 2017 silam. (Foto: indeksberita.com)

Pasca penusukan terhadap Syekh Ali Jaber, Front Pembela Islam (FPI) bereaksi dengan menyerukan siaga jihad untuk melawan upaya yang mereka katakan sebagai percobaan pembunuhan yang serupa dengan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI). Lantas mengapa PKI masih saja menjadi momok bagi sebagian kalangan dalam tatanan sosial-politik tanah air?


PinterPolitik.com

Lelucon “Assalamu’alaikum, yang gak jawab PKI!” mungkin tak asing lagi di kalangan milenial maupun generasi Z, yang sekaligus dapat memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana isu yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam persepsi segmen muda tersebut.

Namun bagi sebagian kalangan lainnya, isu seputar PKI masih sangat membekas dan terus diwaspadai, terlepas apakah hal itu berlatarbelakang filosofis, historis maupun politis, atau kombinasi ketiganya.

Hal tersebut tercermin dari reaksi salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) yang dinilai cukup signifikan dalam tatanan sosial-politik tanah air, yakni Front Pembela Islam (FPI).

Setelah insiden yang mereka anggap sebagai upaya pembunuhan terhadap Syekh Ali Jaber, seruan siaga jihad dikumandangkan baru-baru ini untuk melawan upaya yang dikatakan mirip dengan kekejaman PKI di masa lalu.

Reaksi semacam ini sebenarnya sudah bisa diperkirakan, mengingat sejumlah serangan terhadap kalangan ulama serta pemuka agama sebelumnya juga direspon dengan narasi yang kurang lebih serupa oleh aktor yang juga tak jauh berbeda.

Meski Syekh Ali Jaber sendiri telah menyerukan agar umat Islam secara umum jangan mudah diadu domba dengan isu yang berkembang atas insiden yang menimpanya, berbagai presumsi di akar rumput, terutama yang mengaitkannya dengan PKI tetap tak terbendung.

Lantas mengapa PKI masih saja menjadi justifikasi bagi sebagian kalangan saat ini atas insiden atau peristiwa tertentu? Dan apakah dampak repetisi tersebut bagi dinamika sosial-politik bangsa ke depannya?

Sebuah Luka Abadi

Mungkin saja diagnosa awal yang mengemuka dari aparat penegak hukum bahwa pelaku penusukan Syekh Ali Jaber memiliki gangguan kejiwaan turut memicu berbagai praduga. Hal ini mengingat bahwa telah empat kali kasus serupa seperti yang sebelumnya terjadi juga disimpulkan dilakukan oleh orang tak waras, yang kemudian dinilai menimbulkan tafsir yang “mencurigakan” bagi sebagian pihak.

Kendati demikian, faktor terbesarnya justru lebih dalam dan dinilai berhulu pada sebuah luka abadi yang ditimbulkan di masa lalu.

Meredith Weiss dalam Political Violence in South and South East Asia mengkaji bagaimana political violence mendefinisikan kondisi sosial-politik di negara-negara seperti Kamboja, India, Thailand, Filipina, serta Indonesia.

Weiss menjelaskan bagaimana political violence yang dilakukan oleh Khmer Merah di Kamboja, gesekan antara pendatang Islam dan pribumi Hindu di India, hingga bagaimana PKI menjadi musuh di Indonesia, sangat berpengaruh dan meninggalkan warisan yang kuat sebagai repertoar, pengingat, bahkan luka yang membentuk lanskap politik di masing-masing negara hingga kini.

Singkatnya, political violence membentuk apa yang oleh Weiss disebut sebagai cultural legacy atau warisan budaya mendalam dan sangat signifikan dalam mendefinisikan tatanan sosial-politik.

Agaknya memang demikian. Cultural legacy berupa kesumat kaum Muslim terhadap PKI sendiri bermula dari Peristiwa Madiun yang terjadi tepat pada hari ini 72 tahun silam.

Plus, Peristiwa Kanigoro pada 13 Januari 1965 yang juga semakin memperparah luka sebelumnya, sekaligus menasbihkan bahwa PKI merupakan antagonis bagi umat Islam di tanah air.

Political violence yang dilakukan PKI terhadap sejumlah kalangan, termasuk pada para ulama, pemuka agama, dan simbol Islam ditengarai menanamkan – bukan hanya memori kolektif – tetapi juga luka yang sangat dalam bagi kalangan Muslim republik. Berbagai literatur juga tentu dapat publik temukan untuk memahami mengapa postulat tersebut memiliki signifikansi yang cukup kuat.

Puncaknya terjadi pada peristiwa Gerakan 30 September (G30S). Meski peristiwa ini masih menimbulkan sekelumit perdebatan hingga kini, nyatanya sejak saat itu politik negara dan visi kaum Muslim memiliki chemistry secara tidak langsung dalam memandang PKI sebagai bahaya laten.

Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966 kemudian menjadi instrumen hukum yang cukup ampuh dalam memberangus PKI, bahkan membuat Indonesia seperti yang dikatakan oleh David Bourchier dalam Two Decades of Ideological Contestation in Indonesia: From Democratic Cosmopolitanism to Religious Nationalism sempat menjadi negara yang cenderung minim dari friksi ideologi politik “asing” yang berkonfrontasi dengan kaum Muslim, khususnya pada era Soeharto.

Lantas pertanyaannya, mengapa isu kebangkitan PKI kembali muncul dan lagi-lagi bersinggungan dengan kalangan religius Muslim dalam beberapa waktu terakhir?

Prabowo Turut Andil?

Dalam publikasinya, Bourchier lebih lanjut menyebut jika berseminya kembali isu komunisme yang bermuara pada intoleransi dan gesekan sosial yang melibatkan umat Islam merupakan salah satu residu yang tidak terlepas dari pengaruh dinamika politik pasca Pilpres tahun 2014 silam.

Mungkin argumen tersebut benar adanya, ketika sejak periode waktu yang lama Indonesia dikatakan Bourchier sebagai negara demokratis yang kosmopolitan. Isu intoleransi cukup minim dan diskursus mengenai komunisme atau PKI tak sampai menimbulkan paranoid tersendiri.

Sayangnya, masih menurut Bourchier, Prabowo Subianto menggunakan pendekatan strategi populis otoritarian dengan menggaet kelompok sektarian dalam koalisi politik oposisinya terhadap kekuasaan Joko Widodo (Jokowi).

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 menjadi kulminasi panasnya kelanjutan tarung politik antara Prabowo dan Jokowi di Pilpres sebelumnya, di mana dalam implementasi strategi dengan menggaet kelompok Islam tersebut, terbangun bumbu politik sedemikian rupa yang salah satunya bertransformasi menjadi narasi kebangkitan komunisme.

Rupanya tak hanya sekadar narasi, dalam perjalanannya, ihwal tersebut bahkan dikatakan Bourchier membentuk semacam paradigma baru berupa religious nationalism atau nasionalisme religius yang sayangnya menimbulkan konsekuensi atas beragam buih intoleransi dan gesekan sosial-politik yang kental di akar rumput masyarakat. Termasuk yang dicocoklogikan sedemikian rupa dengan tudingan komunisme.

Religious nationalism tersebut paling tidak juga dapat terlihat dari berbagai reaksi atas penyerangan terhadap sejumlah ulama dan pemuka agama yang tercatat sejak tahun 2018.

Namun getirnya, reaksi tersebut dinilai kurang proporsional ketika seluruh kasus yang ada dikaitkan dengan isu kebangkitan PKI oleh kelompok tertentu. Luka lama mendalam atas political violence masa lalu seperti yang dijelaskan oleh Weiss mungkin saja menjadi justifikasi. Jika mengacu pada penjabatan Bourchier, paranoid tersebut tak menutup kemungkinan erat dengan nuansa politis karena bermuara dari religious nationalism yang juga lahir dari dinamika politik.

Lalu, bagaimana kalkulasi dan dampak dari tren berkembangnya religious nationalism serta isu kebangkitan PKI yang seolah terpelihara itu?

Perlu Ditanggapi Serius

Yang tampak, berbagai dinamika isu reinkarnasi PKI hanya digaungkan oleh kelompok yang dinilai itu-itu saja. Ya, sejak Prabowo bergabung dengan kekuasaan, FPI plus kelompok turunannya seperti GNPF Ulama maupun PA 212 tampaknya sedang berusaha menemukan signifikansi baru, termasuk secara politik.

Terlebih, meski kerap senada dalam sejumlah isu, oposisi pemerintah yang notabene bernuansa Islam yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), juga sampai sejauh ini tampak belum ingin terikat dalam kontrak politik yang benar-benar jelas dengan kelompok tersebut.

Boleh jadi hal tersebut ingin menjadikan isu berbau PKI menjadi salah satu upaya vokal dalam memperkuat religious nationalism yang telah terkonstruksi, termasuk pasca penusukan Syekh Ali Jaber.

Akan tetapi, hal tersebut tetap tidak dapat terus dibiarkan dan dipandang sebelah mata. Verena Beittinger-Lee dalam (Un)Civil Society and Political Change in Indonesia menyebut kelompok seperti FPI berdasarkan sejarahnya memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam disrupsi dan dekonsolidasi sosial masyarakat di tanah air.

Seperti yang dikemukakan oleh pengamat politik dan keamanan Universitas Indonesia (UI) Dr. Sri Yunanto, bahwa narasi spekulatif FPI terkini setelah penusukan Syekh Ali Jaber dinilai memiliki nuansa “adu domba” dengan cara memprovokasi umat Islam untuk mendiskreditkan atau mendelegitimasi pemerintah dengan mengaitkan kasus tersebut dengan PKI, yang berpotensi memunculkan penghakiman sepihak.

Pada titik ini, penyelesaian secara tuntas, jelas, dan konsisten dari penegak hukum dalam merespon kasus-kasus yang rentan “dimainkan” dinilai menjadi kunci dalam melawan narasi spekulatif nan destruktif tersebut.

Apalagi secara khusus, Presiden Jokowi telah memerintahkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Polri, dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengusut secara tuntas berbagai kasus penyerangan terhadap ulama yang telah lalu.

Sebuah mandat yang agaknya cukup positif jika diimplementasikan dan dikomunikasikan dengan baik untuk meredam penyalahgunaan isu yang dapat bermuara pada dekonstruksi stabilitas sosial dan politik di Indonesia. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version