HomeNalar PolitikHukuman Mati Bagi Teroris?

Hukuman Mati Bagi Teroris?

Kecil Besar

Menghadapi situasi di mana terorisme mulai merajalela di tanah air, Litbang Kompas menemukan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia setuju dengan pemberian hukuman mati bagi para pelaku teroris.


PinterPolitik.com

[dropcap size=big]S[/dropcap]aat ini, para anggota parlemen tengah melakukan revisi UU No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “RUU Terorisme kita segera selesaikan. Sebaiknya memang semuanya bisa bersama-sama antara TNI dan Polri, dan kehendak Pemerintah maupun DPR bisa menjembatani ini agar bisa selesai secepatnya,” ujar Ketua DPR Setya Novanto di Jakarta, Senin (5/6).

Setya Novanto yang sering disapa Setnov mengaku, DPR sudah bekerja keras dan akan terus berkomunikasi dengan pemerintah guna menyelesaikan RUU tersebut. “Nanti kita akan terus adakan harmonisasi mengenai tugas dan tanggung jawabnya antara TNI dan Polri supaya semua bisa sinkron,” lanjutnya lagi.

Sementara itu menurut Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, revisi UU Terorisme memang perlu dilakukan. Sebab, dalam UU tersebut, terorisme masih diberi ruang, sehingga perlu ada tindakan tegas dari aparat. “Kalau kita masih menggunakan undang-undang terorisme yang sekarang, kita sangat memanjakan para teroris,” jelas Gatot di Masjid Islamic Center UAD, Minggu (4/6).

Memperjelas Kewenangan TNI

Gatot sepakat bila kewenangan TNI dapat masuk dalam revisi UU Terorisme, karena saat ini Indonesia dalam keadaan darurat, bukan karena keinginan pihak tertentu. “Saya tidak menyebutkan keinginan tertentu, tetapi kita kan sekarang sedang darurat teroris. Teroris adalah kejahatan negara,” katanya.

Menurutnya, kejahatan negara harus diatasi secara efektif, termasuk terorisme. Soal perbandingan kewenangan TNI dengan Polri yang selama ini memang bertindak memberantas terorisme, Gatot hanya menyatakan seharusnya semua elemen bisa bahu-membahu menangani terorisme.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Tito Karnavian meski menyetujui pelibatan TNI dalam menangani terorisme, karena TNI punya potensi intelijen, teritorial, dan tim penindakan. Namun ia mengingatkan kalau supremasi hukum dan hak asasi manusia harus tetap dikedepankan dalam kerja-kerja penegakan hukum.

Baca juga :  Andai Indonesia Jadi Negara Federasi

“Tapi prinsip penanganan terorisme, karena ini negara demokrasi yang mengutamakan supremasi hukum dan human rights, maka prinsipnya adalah ‘due process of law’, tetap pada penegakan hukum,” kata Tito di Istana Bogor, Senin (29/5) lalu. Sementara, menurut Tito, TNI sudah terbiasa menerapkan prinsip kill or to be kill dalam melakukan kegiatan operasinya.

Publik Sepakat Hukuman Mati

Menyikapi penegakan hukuman bagi teroris, Litbang Kompas memperlihatkan temuan hasil surveinya yang dipublikasikan di Harian Kompas, Senin (5/6). Dari survei itu, sebanyak 89,3 persen responden menyatakan setuju terhadap vonis mati untuk para teroris yang tertangkap. Hanya 9,7 persen yang tidak setuju dan 1 persen tidak tahu atau tidak menjawab.

Peneliti Litbang Kompas, Andreas Yoga Prasetyo menyatakan, vonis terhadap para simpatisan dan pembantu teroris kerap kali minim yang akhirnya kurang memberikan rasa aman dari ancaman terorisme berikutnya. Tak heran, persepsi publik makin mengental dalam cara penanganan teroris dan pendukungnya.

Rata-rata hampir 90 responden setuju cara yang lebih tegas oleh negara, misalnya pada pengenaan vonis yang optimal oleh hakim. “Pengenaan hukuman mati untuk pelaku teror, misalnya, disetujui 89,3 persen responden dan hanya 9,7 persen responden yang menolak,” katanya.

Metode penelitian dalam jajak pendapat ini dilakukan melalui telepon yang diselenggarakan Litbang Kompas pada 31 Mei sampai 2 Juni 2017. Respondennya sebanyak 514 yang dipilih secara acak di 14 kota di Indonesia. Jajak pendapat ini memiliki tingkat kepercayaan 95 persen dengan nirpencuplikan (margin of error) lebih kurang 4,3 persen.

Hukuman Mati Bagi Teroris

Hukuman Mati Bukan Efek Jera

Sementara itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menolak ancaman pidana mati bagi teroris masuk dalam revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain menilai tidak berguna, langkah itu juga dianggap akan menegaskan bahwa pelaku terorisme adalah pahlawan ideologis.

Baca juga :  Dari Deng Xiaoping, Sumitro, hingga Danantara

Dalam draf revisi UU Terorisme yang telah disampaikan Pemerintah kepada DPR, ancaman pidana mati bagi pelaku tindak pidana terorisme setidaknya diatur oleh dua pasal, yakni di Pasal 6 dan 14.

“Kajian apakah ancaman pidana mati cukup efektif untuk menanggulangi tindak pidana terorisme di Indonesia tidak cukup kuat dan evaluasi terhadap eksekusi mati selama ini juga tidak ada dari Pemerintah. Kami secara tegas menolak ancaman pidana mati masuk dalam revisi UU Terorisme,” kata Direktur Ekesekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, Jumat (6/5/2016).

Menurutnya, ancaman pidana mati juga tidak tepat digunakan. Selain hanya akan melahirkan kasus teror lainnya, ancaman pidana mati juga akan melahirkan perlawanan yang lebih besar. Apalagi extra judicial killing (pembunuhan di luar proses peradilan) juga kerap dilakukan penegak hukum kepada terduga teroris di Indonesia, sehingga telah melakukan pembunuhan, tanpa melewati proses persidangan.

 

Berdasarkan catatan ICJR, lanjut Supriyadi, setelah terpidana mati kasus terorisme pembajakan pesawat Garuda Airways dengan kode DC-9 Wolya Imran bin Mohammed Zein dieksekusi, pemerintah Indonesia telah mengeksekusi mati sejumlah terpidana kasus terorisme, mulai dari trio kasus Pembajakan Woyla hingga pelaku Bom Bali.

Namun, langkah tersebut tidak diikuti dengan penurunan angka tindak terorisme di Indonesia. Sampai saat ini, tindak terorisme masih merajalela. “Ini membuktikan bahwa ancaman pidana mati sama sekali tidak memberikan efek jera bagi teroris,”  tukasnya.

Karena itu, ia meminta DPR melihat lebih jernih lagi kenyataan dan fakta ini. “Kebijakan untuk menghapuskan pidana mati dalam tindak pidana terorisme harus dilihat dalam agenda yang lebih besar,” katanya lagi. Ancaman pidana mati juga akan merusak program deradikalisasi yang diharapkan pemerintah, karena teroris akan merasa terhormat dan merasa dirinya mati terhormat. Bagaimana pendapatmu?

(Berbagai sumber/R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...