Pertengahan Agustus lalu, Menteri ESDM Ignasius Jonan dengan sumringah mengatakan kalau pemerintah berhasil menaklukan Freeport. Namun, klaimnya itu ternyata dianulir pihak Freeport awal Oktober ini.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]ontroversi ini mencuat saat surat dari PT Freeport-McMoran kepada pemerintah yang ditujukan pada Menteri Keuangan bocor. Membuat publik kembali mempertanyakan status kepemilikan saham perusahaan tambang yang sudah 50 tahun berdiri di Indonesia itu.
Seperti yang kita ketahui, Januari lalu, PT Freeport Indonesia sempat memprotes pemerintah yang ingin mengganti perjanjian Kontrak Karya (KK) dengan peraturan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Dalam peraturan baru ini, Freeport diharuskan melepas 51 persen sahamnya kepada pemerintah dan membangun smelter. (Baca juga: Freeport Antara Nasionalisme dan Bisnis)
Mandeknya negosiasi antara Freeport Indonesia dengan pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), membuat induk perusahaan Freeport Indonesia di Amerika Serikat, Freeport McMoran, turun langsung. Bahkan Richard Adkerson, Chief Executive Officer (CEO) Freeport McMoran, sendiri yang datang ke Jakarta.
Walau begitu, Menteri ESDM Ignasius Jonan pantang mundur. Bahkan semakin berani dengan memberlakukan larangan ekspor konsentrat pada perusahaan raksasa ini. Larangan ini membuat Freeport Indonesia terpaksa melepaskan ribuan karyawannya dan mengancam akan membawa permasalahan ini ke meja Arbitrase Internasional.
Sikap keras Jonan, pada akhirnya membuat Adkerson tekuk lutut dan bersedia menerima perubahan perjanjian dari KK menjadi IUPK. Artinya, Freeport setuju untuk melepaskan 51 persen sahamnya untuk dikuasai Indonesia. Namun bocoran surat dari Freeport yang beredar, menyatakan hal yang sebaliknya.
Surat yang ditandatangani Adkerson tersebut, menyatakan kalau Freeport Indonesia masih belum sepenuhnya sepakat mengenai pelepasan 51 persen saham tersebut. Ia juga menganggap pemerintah telah salah mengerti mengenai kesepakatan tersebut. Lalu bagaimana sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengenai hal ini?
Negosiasi Alot Jonan
Awal tahun ini, Jonan kembali menarik perhatian media saat berhadapan dengan Freeport. Sebagai Menteri ESDM, ia bertanggung jawab dalam penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas PP Nomor 23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (PP Minerba).
Peraturan pemerintah tersebut melarang seluruh peserta KK mengekspor konsentrat tambang. Pelarangan ini tentu menjadi tamparan keras bagi Freeport, saham mereka di Amerika pun turun drastis. Mereka terpaksa merumahkan ribuan karyawan dan mengancam akan membawa masalah ini ke Arbitrase Internasional. (Baca juga: Freeport Ancam Arbitrase, Pemerintah Jangan Takut)
Juga berbekal peraturan tersebut, Jonan mulai meminta Freeport untuk mengubah KK yang izinnya mencapai 50 tahun, dengan IUPK yang hanya memberi izin operasi hingga 20 tahun, itupun dengan mengharuskan perpanjangan izin setelah 10 tahun.
IUPK juga mengharuskan Freeport mendivestasikan 51 persen sahamnya pada pemerintah, serta membangun smelter atau fasilitas pengolahan hasil tambang. Peraturan tersebut tentu dianggap sangat memberatkan dan merugikan Freeport, sehingga negosiasi yang terjadi antara Jonan dengan Adkerson pun berlangsung alot.
Sebagai alat kompromi, Jonan menerbitkan Permen ESDM Nomor 28/2017 yang memberi izin Freeport melakukan ekspor konsentrat kembali. Izin ini, dalih Jonan, bersifat sementara saja dan adalah yang paling efektif untuk melunakkan Freeport saat ini. Poin pentingnya sekarang, menurutnya, adalah smelter telah dijanjikan dan divestasi 51 persen disetujui secara prinsip.
Cara yang dilakukan Jonan ini memang efektif, buktinya Adkerson akhirnya setuju untuk mengubah perjanjian KK menjadi IUPK. Persetujuan ini prestasi membanggakan bagi Jonan dan juga Indonesia, pada akhirnya Freeport akan dapat dikuasai pemerintah Indonesia.
“Menurut saya, semata-mata dorongan ini dari kesungguhan dan kegigihan Bapak Presiden untuk bisa mengimplementasikan peraturan perundangan yang ada, dan juga tetap memberikan suasana kondusif bagi para investor baik asing maupun domestik.”
-Ignasius Jonan-
Sebagai Menteri ESDM, tugas Jonan memang hanya membuat Freeport setuju untuk mengubah kontraknya. Karena urusan divestasi saham Freeport ke pemerintah Indonesia bergantung pada negosiasi antara Freeport dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dan bila urusan hitung-hitungan tersebut selesai, akan menjadi tanggung jawab Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno.
Setelah Adkerson menyatakan persetujuannya untuk mengubah KK menjadi IUPK, dihadapan media, Jonan mengatakan kalau Freeport telah setuju menyerahkan 51 sahamnya pada Indonesia. Pernyataan Jonan inilah yang mengakibatkan Adkerson menulis surat yang kemudian bocor (atau dibocorkan) ke publik.
Polemik Surat Freeport
Keberhasilan menaklukkan sikap keras Freeport agar tunduk pada peraturan pemerintah Indonesia, tentu bagi Jonan adalah prestasi yang luar biasa membanggakan. Oleh karena itu, ia ingin membagi berita gembira itu pada media secepatnya.
Namun tidak begitu dengan Freeport, dalam hal ini Adkerson. Sebab sebelum adanya kesepakatan mengenai teknis divestasi saham dengan menteri keuangan, Freeport menganggap kesepakatan untuk melakukan divestasi 51 persen saham belum final.
Sikap Adkerson ini dipicu dari mandeknya negosiasi dengan Menteri Keuangan. Menurut sejumlah sumber, mentoknya negosiasi ini diakibatkan adanya perbedaan yang sulit dipertemukan antara keinginan Freeport dengan pemerintah.
Dalam suratnya, Adkerson memaparkan poin apa saja yang masih menjadi penghalang bagi Freeport untuk menyerahkan sahamnya. Pertama, Freeport ingin pemerintah memberlakukan kebijakan pajak dengan sistem nail down (perpajakan tetap). Namun, pemerintah menginginkan pemberlakuan pajak prevailing (pajak tidak tetap).
Kedua, pemerintah meminta Freeport menyelesaikan divestasinya hingga 31 Desember 2018. Freeport menganggap belum ada obligasi divestasi mereka kepada pemerintah. Karena sebelumnya, Freeport sudah melepas sahamnya sebesar 30 persen ke pemerintah.
Ketiga, pemerintah ingin valuasi saham diukur dari perhitungan bisnis pada 2021. Sementara Freeport yang masih memiliki izin hingga 2041, tentu menuntut valuasi dihitung dengan nilai saham di tahun berakhirnya izin operasi.
Empat, pemerintah meminta take over divestasi 51 saham tersebut diberikan tanpa melalui pasar modal. Sedang Freeport tentu ingin nilai sahamnya dihitung melalui pasar modal. Walau dalam suratnya, Adkerson mengaku bersedia menegosiasikan hal ini.
Lima, pemerintah ingin agar kesepakatan divestasi telah diselesaikan lebih dulu oleh Freeport dengan Rio Tinto (perusahaan tambang rekanan). Namun, Freeport meminta pemerintah yang bernegosiasi sendiri dengan Rio Tinto.
Terakhir, pemerintah ingin BUMN tambang segera mendapat uji tuntas (due diligence) akses data di Grasberg. Sementara itu, Freeport membalas bahwa saat ini mereka sedang menyiapkan ruang data untuk uji tuntas itu.
Poin-poin di atas ini, menurut Adkerson, harus disepakati terlebih dulu bila pemerintah ingin mendapatkan 51 persen divestasi saham tersebut. Surat yang ditandatangani sendiri oleh Adkerson ini, seakan menihilkan kembali klaim keberhasilan Jonan.
Surat tersebut juga dikirimkan hanya ke Kementerian Keuangan, tanpa ada tembusan ke Kementerian ESDM. Apakah Adkerson tidak menganggap penting keterlibatan Jonan mengenai divestasi saham ini, atau karena ia sudah tidak menghormati Jonan lagi?
Akibat ‘Gaduh’ Jonan
Sebagai produsen emas terbesar dan tembaga kedua terbesar di dunia, keberadaan Freeport bagi Indonesia maupun Amerika Serikat sama pentingnya. Namun sebagai perusahaan tambang pertama di Indonesia yang menyumbang banyak pemasukan bagi negara, Freeport memang terkenal ‘sulit diatur’ sejak dulu. (Baca juga: Tunduknya Freeport dan Kembalinya Wibawa Pemerintah)
Namun sikap gegabah Jonan yang langsung mengumumkan bahwa Freeport akhirnya bertekuk lutut dan bersedia menyerahkan 51 persen sahamnya, tentu tak bisa diterima begitu saja oleh Adkerson. Apalagi negosiasi dengan Sri Mulyani pun terbukti akan sama alotnya.
Beredarnya surat Adkerson ke publik, bisa jadi indikasi perlawanan dari Freeport. Buktinya, siapa coba yang mungkin membocorkan surat resmi korporat ke pemerintah kalau bukan si pengirimnya sendiri? Tidak adanya carbon copy (cc) atau tembusan ke Jonan, juga memperlihatkan kalau Adkerson sudah enggan berurusan dengan Jonan.
Pernyataan Jonan juga membuat berita menjadi simpang siur dan membingungkan rakyat. Menimbulkan kegaduhan, begitulah teguran yang dilontarkan Jokowi pada menteri-menterinya.
Seharusnya Jonan mampu menahan diri untuk tidak membanggakan upayanya sendiri, sebelum Adkerson benar-benar menandatangani kesepakatan divestasi saham Freeport. Padahal untuk mencapainya, Freeport masih bernegosiasi dengan kementerian lain. Langkah penerbitan Permen no. 28/2017 juga adalah salah langkah Jonan. Aturan itu—seperti ujaran Jokowi—menghambat investasi perusahaan lain dan sekali lagi gagal melemahkan Freeport.
“I don’t mind how much my Ministers talk, so long as they do what I say.”
-Margaret Thatcher-
Bocornya surat Adkerson mendapatkan tanggapan cepat dari Kementerian Keuangan, Jumat (7/10) kemarin, Sri Mulyani memanggil Direktur Eksekutif sekaligus Vice President Freeport Indonesia Tony Wenas, serta perwakilan Freeport lainnya, untuk kembali bernegosiasi demi ‘memenangkan kembali’ proses divestasi saham Freeport yang sempat disinggung dalam surat tersebut.
Di pertemuan itu, Jokowi memerintahkan Kementerian ESDM untuk ikut terlibat dalam negosiasi divestasi saham tersebut. Padahal sebelumnya, Jonan telah melimpahkan wewenang divestasi Freeport ke Kementerian BUMN, yaitu ke tangan Menteri Rini Soemarno. Bisa jadi ini ‘hukuman’ bagi Jonan karena sudah membuat gaduh. (R17)