Menghadapi koruptor memang bikin senewen. Selain penjara, apakah ada hukuman alternatif lain yang bisa membuat jera?
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]ublik masih dibuat terhenyak oleh rentetan drama Setya Novanto, tersangka kasus korupsi KTP- elektronik, sekaligus Ketua Golkar dan Ketua DPR RI. Menghadapi penahanan Setya, pihak DPR belakangan ini sedang giat menggodok rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait hukuman alternatif selain penjara. Pihak DPR mengungkapkan jika saat ini, penjara sudah sangat sesak dan butuh cara lain dalam memberikan hukuman.
Hukuman alternatif yang hendak dilahirkan adalah kerja sosial atau yang juga dikenal sebagai community service. Hukuman ini mewajibkan narapidana mengabdi dan melakukan kerja sosial secara nyata di masyarakat. Jenis hukuman ini memang masih sangat asing di Indonesia, sebab sejak dulu hukuman pidana dan perdata, diatasi dengan memasukkan tersangka ke dalam penjara.
Kini, melihat penjara semakin penuh sesaak, DPR berniat mengenalkan hukuman alternatif kerja sosial guna mengatasinya. Namun, bagaimana jika hukuman kerja sosial tersebut dikenakan pada para koruptor? Sebab DPR juga berencana hendak mengganjar para koruptor dengan hukuman sosial. Apakah efek hukuman kerja sosial bisa membuat para koruptor jera, atau malah meringankannya saja? Jika benar diberlakukan, apakah masyarakat siap menerimanya?
Penjara Membludak, Napi Kabur
Wacana menyelenggarakan hukuman alternatif selain penjara, memang mendapat dukungan dari berbagai pihak. Salah satunya dari Aman Riyadi, Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Ia memaparkan bahwa penghuni terbesar lapas di Indonesia saat ini adalah pengguna narkoba.
Bahkan di tahun 2017, kapasitas penjara di Indonesia hanya tersedia untuk 123. 295 orang, namun yang menghuni 229. 273 orang. Tak heran bila Aman mendukung adanya hukuman alternatif, “Undang-undangnya lebih banyak menggunakan pidana alternatif dan penggunaan diversi bukan hanya untuk anak, tapi juga untuk penggna narkotika yang betul-betul pengguna,” katanya.
Over crowded merupakan alasan yang paling nyata dihadapi dari peristiwa tersebut. Hal ini diamini oleh Dosen Politeknik Ilmu Pemasyarakatan (Poltekip) Kemenkum HAM, Akbar Hadi. “Sebenarnya, pemerintah perlu lebih serius menyelesaikan persoalan yang bersifat fundamental, yaitu adanya regulasi yang berdampak terjadinya over crowded di lapas dan rutan. Over crowded inilah yang sebenarnya menjadi akar dari semua persoalan di lapas dan rutan kita,” jelasnya.
Dukungan yang dikeluarkan Aman Riyadi dan Akbar Hadi, memang memiliki sisi selaras dan berlawanan dengan pihak DPR. Bila keduanya menempatkan hukuman alternatif kepada penghuni terbanyak di lapas maupun rutan, yakni bagi para pengguna narkoba. Sementara bagi anggota DPR, hukuman ini bisa saja dikenakan kepada koruptor dan juga pengguna narkoba.
Tak dapat ditampik jika hukuman kerja sosial bisa membuat kantong negara lebih untung. Bahkan dari kebijakan hukuman alternatif tersebut, pemerintah bisa menghemat pemasukan sampai sekitar Rp. 6 triliun. “Ini uang pajak kita lho, Rp. 6 triliun untuk pendidikan, pembangunan,” kata Aman Riyadi.
Jika DPR tetap akan mencanangkan hukuman kerja sosial bagi koruptor, alih-alih pengguna narkoba sebagai napi terbanyak yang menempati lapas dan rutan, akankah hal tersebut tetap akan mendatangkan keuntungan?
Kerja Sosial, Buat Jera Koruptor?
Bila menilik makna dan arti kerja sosial bagi para koruptor, hukuman tersebut jelas tidak sepadan dan terasa sangat ringan. Korupsi merupakan tindak kejahatan luar biasa yang memerlukan cara-cara tak biasa untuk menanggulanginya. Apalagi hukuman yang diberikan seharusnya memiliki efek jera. Karenanya, kerja sosial lebih terdengar seperti sebuah sistem kerja sukarela ketimbang hukuman berat.
Di Inggris, Belanda, dan Korea, hukuman kerja sosial memang dikenakan untuk tindak pidana ringan. Hanya mereka yang dikenai hukuman di bawah enam bulan penjara yang dikenai hukuman kerja sosial. Mereka wajib mengabdi pada masyarakat ‘kurang mampu’ selama beberapa waktu, tentu dengan pengawasan ketat, hingga masa hukumannya habis.
Dengan demikian, jika DPR mampu meloloskan KUHP hukuman alternatif kerja sosial, maka pekerjaan rumah berupa tatanan birokasi harus lebih dulu diperbaiki. Kerja sosial mengharuskan pengawasan ketat dan penuh. Sementara selama ini, pengawasan yang terjadi di lingkungan dan rutan, sangat rawan dipermainkan.
Berita tentang adanya “fasilitas tambahan” di kamar penjara terhadap napi ‘kaya raya’, sudah sangat familiar terdengar. Bahkan praktek jual beli Narkoba juga tak berhenti di balik penjara. Praktek tersebut tentu tak akan mulus berjalan, bila didukung dengan pengawasan ketat dari aparat dan kelompok birokrat penjara. Mau tak mau, peran aparat penjara yang terkadang ikut berkontribusi sebagai penghambat pemberlakuan hukuman, harus mendapat pengawasan pula.
Berdasarkan realita yang ada, kerja sosial yang diberlakukan di Inggris, Belanda, dan Korea, sudah berada dalam pengawasan yang ketat, sistematis, dan tangguh secara sistem birokratis. Di sisi lain, ketiga negara tersebut tak memberlakukan hukuman kerja sosial kepada koruptor. Sebab hukuman bagi koruptor tak akan kurang dari 6 bulan hukuman kurungan.
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Padjajaran Bandung, Prof. Romli Atmasasmita mengatakan, jika DPR hendak meniru konsep hukuman kerja sosial seperti yang dilakukan ketiga negara tersebut, maka kurang tepat bila diterapkan dalam kasus korupsi. Apabila hendak diterapkan pada tindak pidana korupsi, jenis hukuman itu harus dimasukkan sebagai ketentuan baru dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain aparat, masyarakat diperkirakan juga belum siap menerima bentuk hukuman alternatif selain penjara. Selama ini, penjara memang dianggap sebagai satu-satunya metode hukuman yang dapat membuat jera. Hal ini bisa dilihat dari sikap reaktif yang lahir dari masyarakat, begitu melihat terpidana yang tidak masuk bui.
Lantas, bagaimana kira-kira wacana hukuman alternatif kerja sosial di Indonesia akan berlangsung?
Perpaduan Hukuman Untuk Koruptor
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Patra Zen, mengatakan bahwa hukuman alternatif kerja sosial bisa menjadi hukuman tambahan bagi koruptor selain penjara. Menurutnya, sanksi sosial untuk terpidana kasus korupsi perlu diperberat. Kerja sosial dapat mendorong efek jera dan malu sehingga tidak mau lagi berbuat korupsi.
Romli Atmasasmita pun setuju dengan pandangan tersebut, sebab sebagai hukuman tambahan, bukan hukuman utama, koruptor bisa melihat bagaimana kondisi masyarakat miskin yang terkena imbas akibat ulahnya. “Paling tidak supaya mereka (terpidana korupsi) bisa melihat langsung, misalnya kondisi masyarakat miskin yang pastinya juga terimbas akibat ulah para koruptor,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Romli dan Patra, tambahan hukuman kerja sosial sebetulnya berguna dalam memperbaiki persepsi pada perkara korupsi. Sehingga hukuman tidak terpaku pada koruptornya saja, tetapi juga dampak pada rakyat yang menjadi korbannya. Jika ada terdakwa korupsi, perhatian utama bukanlah pada martabat koruptor tersebut tetap terlindungi atau tidak. Namun, bagaimana penderitaan yang harus ditanggung masyarakat, seperti kemiskinan dan kebodohan, yang diakibatkan oleh perbuatannya,” tambah Bambang Widjojanto.
Terlepas dari berbagai masukan dan respon dari berbagai kelompok ahli terhadap rancangan KUHP hukuman alternatif, kerja sosial memang patut diperhitungkan oleh DPR. Selain bermanfaat mengatasi sesaknya penjara di Indonesia, kerja sosial juga bisa memberi kontribusi pada masyarakat secara nyata. Tentu, hukuman kerja sosial perlu kajian lebih lanjut, yakni jenis napi seperti apa yang wajib mendapat hukuman kerja sosial.
Di sampingi itu, pekerjaan rumah yang cukup berat juga masih berada di pihak aparat negara sebagai penyelenggara kebijakan. Reformasi sistem tak hanya bisa sempurna dalam tataran KUHP dan Undang-Undang saja, tetapi juga mental para pejabat yang berada di lingkungan penjara juga perlu mengikuti. Sebab, percuma saja, jika KUHP hukuman alternatif sudah ‘rapi’ tersusun, tapi malah dirusak oleh aparatnya sendiri. (Berbagai Sumber/A27)