HomeNalar PolitikHukum Rimba, Hukum Penguasa?

Hukum Rimba, Hukum Penguasa?

Kecil Besar

Cuitan SBY mengenai hukum rimba, menimbulkan polemik. Benarkah hukum negara kita menganut hukum rimba?


PinterPolitik.com

“Orang baik tidak perlu hukum untuk memberitahu mereka agar bertindak secara bertanggung jawab, sementara orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang.” ~ Plato

[dropcap]H[/dropcap]ubungan PDI Perjuangan dan Demokrat yang sempat terlihat membaik, kini memanas lagi. Padahal dari rumor yang beredar, antara Jokowi dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah terlihat sama-sama sehati untuk berkoalisi di Pilpres 2019. Tapi sepertinya, koalisi ini masih harus melalui “jalan berbatu” karena baik Partai Banteng maupun Partai Mercy masih belum bisa berjalan bersisian.

Kondisi ini diawali oleh cuitan SBY di Twitter yang berharap tidak ada hukum rimba dalam menghadapi Pilpres yang akan berlangsung setahun lagi. Ia juga berharap, baik penegak hukum  maupun intelijen tidak menjadi alat politik.

Pernyataan Presiden keenam ini pun langsung mendapat reaksi pedas, baik dari Jaksa Agung HM. Prasetyo maupun Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto. Secara tegas, Prasetyo mengatakan negara ini tidak pernah menggunakan hukum rimba. Begitu juga dengan Hasto, PDI Perjuangan merasa bahwa pelaksanaan hukum yang ada telah sesuai dengan Pancasila.

Reaksi yang keras dari Jaksa Agung dan PDI Perjuangan ini, pada akhirnya menimbulkan praduga. Apakah SBY memang tengah menyentil lembaga hukum? Namun mengapa PDI Perjuangan juga ikut merasa kesal?

Banyak pihak menilai, cuitan Ketua Umum Demokrat yang mempertanyakan independensi lembaga yudikatif ini tak lepas dari dorongan kejaksaan agung dan kepolisian untuk membuka kembali Kasus Century. Bahkan Pengadilan Negeri pun telah meminta KPK untuk menetapkan mantan Gubernur Bank Indonesia yang juga mantan Wakil Presiden Boediono, sebagai tersangka.

Bila benar, apakah ini artinya SBY merasa posisinya tengah terancam? Tapi mengapa ia menganalogikannya dengan hukum rimba, apakah Demokrat merasa berada di pihak yang lemah?

Hukum Rimba Di mana-mana

Dalam keadaan terbaik, manusia binatang yang paling mulia; dipisahkan dari hukum dan keadilan, manusia adalah yang terburuk.” ~ Aristoteles

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hukum rimba diartikan sebagai hukum yang ditentukan melalui siapa yang lebih kuat dialah yang berkuasa. Dinamakan hukum rimba, karena biasanya aturan ini berlaku di hutan belantara, di mana binatang yang lebih kuat, mampu mengalahkan binatang yang lebih lemah untuk dijadikan mangsa.

Hukum rimba kerap digambarkan sebagai hukum tanpa aturan yang seolah tak adil dalam logika berpikir manusia. Namun tidak begitu bagi filsuf klasik Aristoteles. Menurut murid Plato yang hidup di Yunani pada tahun 322 Sebelum Masehi (SM) ini, manusia sebenarnya juga memiliki nafsu layaknya binatang buas, hanya saja posisinya lebih mulia.

Baca juga :  Andai Indonesia Jadi Negara Federasi

Oleh karena itulah, manusia mampu membuat hukum yang mengatur perilaku dalam memisahkan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Hukum, lanjut guru dari Alexander Agung ini, mampu mengekang nafsu seorang pemimpin. Sebab sebijaksana apapun manusia, ketika ia menjadi pemimpin atau berkuasa, maka nafsunya sebagai binatang buas tetap melekat didirinya.

Hakikat manusia sebagai binatang buas bagi manusia lainnya ini, juga seiring dengan ungkapan homo homini lupus milik Thomas Hobbes. Sehingga walau manusia memiliki hukum, namun dalam kenyataannya hukum rimba tetap ada di setiap sektor kehidupan, baik dibidang ekonomi, sosial, apalagi politik. Maraknya oligarki dan konglomerasi, menjadi bukti atas berlakunya hukum rimba ini.

Persaingan maupun kompetisi yang terjadi di setiap sektor kehidupan, berdasarkan teori evolusi Herbert Spencer, merupakan perilaku yang tak mungkin dihindari. Layaknya kehidupan di hutan belantara, hasrat manusia yang selalu ingin menakhlukkan manusia lainnya merupakan kondisi alamiah (state of nature) karena merupakan upayanya untuk terus berevolusi sesuai mekanisme alam.

Dalam bukunya, Social Static, Spencer menyatakan persaingan itu sebagai konsep Survival of The Fittest atau siapa yang mampu menempatkan diri dialah yang bertahan hidup. Karena itu, pernyataan Jaksa Agung kalau hukum rimba hanya dipakai oleh Tarzan, tidak bisa dibilang tepat. Walau negara telah menetapkan norma-norma dalam hukum, namun persaingan antar manusia maupun kelompok tidak akan bisa dielakkan.

Hukum Sebagai Alat Penguasa

“Bukan kebijaksanaan tapi kekuasaanlah yang menciptakan hukum.” ~ Thomas Hobbes

Keberadaan hukum tak akan pernah lepas dari kekuasaan, seperti yang dikatakan Hobbes di atas. Sebab hukum publik yang berisi perintah-perintah tersebut, dibuat dan disahkan oleh kekuasaan tertinggi negara. Pernyataan ini juga diamini oleh Filsuf dan Ahli Matematika Inggris, Bertrand William Russell yang menyatakan kalau pemerintahan bisa saja ada tanpa hukum, tapi tak mungkin ada hukum tanpa pemerintah.

Walau hukum sejatinya dibuat untuk mengontrol penguasa, namun karena hukum itu sendiri dibuat dan disahkan oleh penguasa, fungsinya menjadi sangat rentan untuk digunakan sebagai senjata untuk memperkuat kekuasaannya. Kondisi ini sendiri pernah terjadi di era orde baru (Orba), di mana Soeharto menggunakan konstitusi dan parlemen untuk melanggengkan kekuasaannya hingga 32 tahun.

Selama lebih dari tiga dekade pemerintahannya, Soeharto telah menempatkan hukum sebagai “alat” untuk memperkuat kekuasaannya. Walaupun sebenarnya masyarakat diberikan hak politik independen, namun sebagai otoritas tertinggi, ia bisa memberikan perintah-perintah yang dilindungi undang-undang dan hukum itu sendiri, sehingga secara umum masyarakat harus menaatinya.

Praktik menggunakan hukum sebagai perintah dari pemegang kekuasaan ini, sesuai dengan teori law is command of a lawgiver-nya John Austin. Pencipta teori analitical legal positivism ini, berkeyakinan kalau hukum itu harus memiliki empat unsur, yaitu adanya seorang penguasa (souvereighnity), pemberi perintah (command), kewajiban untuk menaatinya (duty), dan sanksi bagi yang tidak taat (sanction).

Baca juga :  The War: Prabowo vs Mafia Migas

Ketika Orba tumbang, era reformasi tidak serta merta menumbangkan otoritas penguasa atas hukum, sehingga hukum seolah hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Lebih parah lagi, hukum juga seolah ‘dikuasai’ oleh para oligark kekuasaan maupun kekayaan. Fakta ini dapat terlihat dari bagaimana lembaga yudikatif seolah sulit dan begitu berbelit dalam menyelesaikan kasus-kasus besar, terutama yang melibatkan para elit politik.

Sebut saja kasus-kasus yang kini masih mangkrak di meja KPK, seperti Kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Pelindo 2, korupsi di PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), kasus perpanjangan kontrak pelabuhan Jakarta International Container Terminal (JICT), kasus korupsi di Petral, maupun kasus Century. Di duga, kasus-kasus tersebut melibatkan tak hanya pejabat, tapi juga penguasa sendiri.

Di sisi lain, lembaga-lembaga yudikatif – baik itu Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK, juga tak lepas dari intervensi penguasa atau partai yang berkuasa. Sehingga bukan tak mungkin bila lembaga-lembaga tersebut pada akhirnya diduga hanya menjadi ‘alat tekan’ bagi penguasa maupun partai yang berkuasa, seperti yang menjadi keprihatinan SBY dalam cuitan-nya di Twitter.

Bagi masyarakat awam, adanya intervensi “orang-orang berpengaruh” di lembaga penegak keadilan tersebut sudah bukan rahasia lagi. Bila kasus BLBI diduga melibatkan para elit di Partai Banteng, maka Kasus Century yang saat ini tengah diusik-usik kembali disinyalir juga berkaitan dengan Partai Mercy. Atau bisa jadi juga, SBY sebenarnya hanya merasa prihatin dengan status tersangka yang kini disandang Boediono. Sejauh ini, pihak Demokrat pun sudah memberikan sanggahan-sanggahan.

Di tahun politik, terutama menjelang Pilpres 2019, segala sesuatu sangat mungkin untuk dipolitisir. Sikap Jaksa Agung Prasetyo yang tak lain kader Partai Nasdem dan PDI Perjuangan yang begitu responsif, bisa jadi juga merupakan upaya untuk memperuncing permasalahan demi mendulang opini negatif bagi Demokrat. Bahkan disinyalir, salah satu menteri di kabinet Jokowi yaitu Sri Mulyani pun bisa terbawa-bawa dalam Kasus Century.

Menjelang pergantian kekuasaan seperti tahun ini, mau tak mau, hukum rimba akan kembali berlaku. Partai-partai kuat dan berkuasa, akan berupaya mempertahankan atau merebut kekuasaan dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan. Seperti yang diungkap Plato di awal tulisan, sebaik apapun hukum diberlakukan, orang-orang jahat akan menemukan jalan di sekitar undang-undang untuk melakukan kejahatannya. (R24)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...