Site icon PinterPolitik.com

HRS, Senjata PDIP Lumpuhkan Anies?

Berani Cabut Kewarganegaraan Habib Rizieq?

Habib Rizieq Shihab (Foto: Tribun Timur)

Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang merestui bebas bersyarat Habib Rizieq Shihab (HRS) sekilas menimbulkan satu tanda tanya besar. Mengapa sosok kontroversial yang jamak menekan pemerintah itu “dilepas” sebelum waktunya?


PinterPolitik.com

Habib Rizieq Shihab (HRS) seolah mendapat kado istimewa lebih dini sebelum hari ulang tahunnya pada 24 Agustus mendatang.

Kado itu diberikan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) yang memastikan eks pemimpin Front Pembela Islam (FPI) secara resmi bebas bersyarat kemarin.

Namun, Kepala Humas dan Protokol Ditjenpas Rika Aprianti menyebut bahwa bebas bersyarat itu bisa sewaktu-waktu dicabut jika HRS terbukti melakukan pelanggaran selama menjalani masa bimbingan.

Rika menambahkan, HRS telah memenuhi syarat administratif dan substantif untuk mendapatkan hak remisi dan integrasi sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Permenkumham) Nomor 3 Tahun 2018.

Balai Pemasyarakatan ke depan akan mengawal dan melakukan pembimbingan hingga masa bebas murninya, yakni pada 10 Juni 2023.

Setelah menghirup udara bebas, simpatisan menyambut mantan Imam Besar FPI di kediamannya di Jalan Petamburan III, Tanah Abang, Jakarta Pusat.

Meski disebut memenuhi syarat administrasi dan substantif, HRS mengatakan bahwa pembebasannya murni karena proses hukum, bukan karena bantuan aktor politik maupun kekuasaan.

Meski demikian, ia menyiratkan bahwa ada informasi-informasi yang tidak bisa disampaikan di balik pembebasannya dikarenakan ada persoalan tertentu.

“Bukan maksud kami untuk menyimpan informasi soal bebas bersyarat saya ini. Tapi memang ada hal-hal sensitif karena salah sedikit saja bisa tidak jadi bebas bersyarat ini,” begitu kata Habib Rizieq.

Kendati telah ditegaskannya sendiri, eksistensi hal sensitif agaknya kembali meninggalkan pertanyaan sederhana, mengapa HRS dibebaskan saat ini?

HRS dan FPI, Necessary Evil?

Jika diperhatikan lebih seksama, pembebasan HRS bisa saja memiliki alasan lain di luar konteks normatif telah memenuhi syarat. Apalagi, dinamika berbagai isu belakangan ini cukup memanas bersamaan dengan semakin dekatnya tahun politik 2024.

Terlebih lagi, reputasi alumni King Saud University itu cukup tersohor sebagai aktor yang berpengaruh dalam merespons dinamika politik dan pemerintahan tanah air.

Di dalam dunia politik, terdapat satu istilah menarik mengenai necessary evil. Russell J. Dalton dan Steven A. Weldon dalam Public images of political parties: A necessary evil? menjelaskannya sebagai frasa untuk menggambarkan objek yang meski memiliki sentimen negatif, namun tetap dibutuhkan dalam derajat-derajat tertentu akibat sebuah sistem maupun kepentingan (by design).

Keduanya memberikan predikat necessary evil kepada partai politik (parpol) dalam sebuah sistem demokrasi. Meskipun cukup sering mendapat hujatan dari publik karena kerap mengabaikan aspirasi, parpol menjadi satu-satunya instrumen yang dibutuhkan agar ekosistem politik dapat berjalan.

Menurut Dalton dan Weldon, eksistensi necessary evil merupakan bagian tak terpisahkan dari politik, entah itu parpol sebagai aktor utama maupun kelompok kepentingan.

HRS dan FPI sendiri merupakan variabel tak terpisahkan dari perpolitikan Indonesia. Sejak debutnya secara aktif di pemilihan presiden (Pilpres) 2014, HRS terus terlibat memainkan narasi politik yang menyedot perhatian luas, mulai dari pemilihan gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2017, hingga Pilpres 2019.

Meski demikian, politik identitas kental yang menjadi karakter manuvernya tak jarang mendapat sentimen negatif dikarenakan cukup provokatif dan konfrontatif. Inilah yang meninggalkan kesan bahwa dibebaskannya HRS kemungkinan dikarenakan kecenderungan necessary evil yang melekat padanya dan dapat digunakan untuk tujuan tertentu. Benarkah demikian?

Ketika telah sampai di titik praduga tersebut, probabilitas yang menjadi alasan kedua mengapa HRS dibebaskan kiranya dapat ditelisik.

Dari sisi pemerintah, sebagai pemberi restu, karakter vokal HRS boleh jadi dapat menetralkan suhu atas sejumlah isu panas yang berkelindan di publik beberapa waktu terakhir.

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa setiap pernyataan HRS selalu mendapat perhatian media dan respons masyarakat, plus membuat sosok 56 tahun itu bagaikan media darling dengan “kebisingannya”.

Konteks tersebut cukup selaras dengan apa yang ditulis oleh Ed Rogers dalam The Politics of Noise, bahwa kebisingan politik dapat membuat publik menjadi tidak fokus pada masalah prominen yang tengah terjadi karena lebih menyibukkan diri untuk membahas kebisingan politik yang tercipta.

Teori komunikasi publik mengenai manajemen isu dapat digunakan untuk memahami terciptanya kebisingan politik.

Manajemen isu merupakan proses strategis dan antisipatif yang membantu organisasi – dalam konteks ini adalah pemerintah – untuk mendeteksi dan merespons berbagai perubahan tren atau isu yang muncul di lingkungan sosial-politik.

Dikarenakan eskalasi tren maupun isu tersebut dapat mengkristal menjadi suatu masalah yang dapat berdampak destruktif, maka organisasi terkait perlu untuk memberikan reaksi yang tepat untuk mencegah terjadinya kristalisasi masalah.

Salah satu caranya dengan melepas isu atau pemantik isu lain agar potensi masalah yang tengah terjadi tidak mengkristal. Inilah yang kemudian dikenal sebagai pengalihan isu.

Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya yang berjudul PKI Senjata Ilegal dan Pengalihan Isu?, secara empiris dikatakan bahwa pengalihan isu adalah hal yang sangat lumrah terjadi – khususnya sebagai strategi politik pemerintahan yang berkuasa.

Dengan menggunakan berbagai instrumen yang dimiliki, kapabilitas untuk mengalihkan isu tampaknya sangat dimungkinkan untuk dimaksimalkan demi menciptakan situasi yang lebih “netral”.

Itu dipertegas dengan argumen Ashani Amarasinghe dalam tulisannya Diverting Domestic Turmoil, yang mengatakan bahwa isu adalah sebuah alat politik yang berfungsi membelokkan perhatian publik dari isu lain yang sedang terjadi.

Pada konteks HRS, pembebasan bersyaratnya bersamaan dengan beberapa eskalasi isu kurang positif yang mendapat sorotan tajam publik. 

Cukup sulit memang untuk membuktikannya, namun hal itu bukan tidak mungkin memiliki irisan, terutama dalam konteks pasang surut isu.

Selain dua kemungkinan tersebut, terdapat satu yang kiranya cukup menarik untuk dicermati lebih lanjut di balik bebas bersyarat HRS dari jeruji besi. Apakah itu?

Taktik Jatuhkan Anies?

Restu Kemenkumham dapat dipastikan mengiringi pembebasan bersyarat Habib Rizieq. Akan tetapi, Yasonna Laoly yang memimpin kementerian itu berasal dari PDIP, parpol yang selama ini jamak diketahui merupakan musuh abadi HRS.

Ihwal itulah yang menimbulkan tanda tanya besar dari maksud secara politik di baliknya, meski tendensi politis telah dibantah HRS, dan pastinya akan ditampik pula oleh partai banteng.

HRS diprediksi akan segera ikut andil dalam mewarnai blantika politik dan pemerintahan. Apalagi, koalisi parpol dan nama-nama calon presiden (capres) semakin mengerucut seiring kian dekatnya pendaftaran kandidat RI-1 pada 7 sampai 13 September 2023.

Di dua edisi pilpres sebelumnya, HRS memiliki keterkaitan erat dengan Prabowo Subianto sebagaimana dijelaskan Aziz Anwar Fachrudin dalam Questioning Prabowo’s alliance with Islamists.

Akan tetapi, setelah Prabowo bergabung dengan pemerintahan, HRS dan pengikutnya – FPI maupun PA 212 – disebut merasa dikhianati dan menarik dukungan politik.

Kini, tersisa Anies Baswedan sebagai capres dengan elektabilitas mumpuni yang juga memiliki romansa dengan HRS, seperti yang terjadi di Pilgub DKI Jakarta 2017.

Kendati begitu, pemilih agaknya kian rasional terhadap dampak minor dari politik identitas. Narasi kontroversi dan konfrontatif kemungkinan akan jadi bumerang jika dimunculkan. Akibatnya, potensi dukungan HRS terhadap Anies justru akan kontraproduktif.

Jika itu terjadi, PDIP boleh jadi akan diuntungkan. Anies dan PDIP sendiri diketahui memiliki perbedaan visi, paling tidak itu terjadi sejak pemilihan DKI-1 lima tahun silam.

Selain berpotensi mengurangi simpati kepada Anies, sentimen negatif yang melekat pada mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) akibat disokong HRS, membuat parpol lain bisa saja berpikir ulang untuk meng-endorse­-nya di Pilpres 2024.

Ditambah, rekam jejak sokongan HRS dan pengikutnya di ajang pilpres selalu berbuah kekalahan bagi sang kandidat.

Probabilitas itu dapat dimaknai sebagai adopsi strategi kemiliteran asal Tiongkok, yakni meminjam tangan seseorang untuk membunuh atau menggunakan “kekuatan” musuh untuk mengalahkan dirinya sendiri.

Taktik itu sendiri digubah dalam naskah klasik Negeri Tirai Bambu berjudul Tiga Puluh Enam Strategi yang kerap diidentikkan dengan filosofi Sun Tzu.

Bagaimanapun, analisis dan kemungkinan-kemungkinan di atas masih sebatas interpretasi semata. Namun, manuver HRS beserta implikasinya terhadap dinamika politik ke depan tentu akan cukup menarik untuk dinantikan. (J61)

Exit mobile version