Rentetan kerumunan simpatisan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam beberapa waktu terakhir berbuntut panjang. Polri bahkan sampai mencopot dua Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) yakni Metro Jaya dan Jawa Barat akibat fenomena ini. Meski Korps Bhayangkara mengklaim pencopotan ini terkait dengan penegakan protokol kesehatan Covid-19, namun adakah manuver lain di baliknya?
“Pemerintah akan memberikan sanksi kepada aparat keamanan yang tidak mampu bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya protokol kesehatan COVID-19”, tegas Mahfud MD.Tak perlu waktu lama bagi ancaman Menko Polhukam tersebut untuk menjadi kenyataan. Ya, hanya selang beberapa jam setelah Mahfud melontarkan pernyataan itu, surat Telegram dari Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) bernomor ST 3222/XI/Kep/2020 terbit.
Melalui telegram tersebut, Kapolri Jenderal Idham Azis mencopot Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya, Irjen Nana Sudjana dan Kapolda Jawa Barat, Irjen Rudy Sufahriadi. Nana digantikan oleh Irjen Fadil Imran yang sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, sementara Rudy digantikan oleh Irjen Ahmad Dofiri yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Logistik Kapolri.
Tak dapat disangkal, pencopotan ini merupakan imbas dari rangkaian kerumunan massa simpatisan Habib Rizieq Shihab (HRS) di sejumlah wilayah, termasuk DKI Jakarta dan Jawa Barat dalam sepekan terakhir. Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Argo Yuwono menyebut bahwa keputusan ini diambil lantaran keduanya diangap gagal melaksanakan perintah untuk menegakkan protokol kesehatan Covid-19.
Titah Kapolri ini pun menuai beragam tanggapan. Sebagian memuji dan menilai keputusan ini merupakan bentuk ketegasan Polri dalam penegakkan protokol kesehatan, namun sebagian lain justru menyindir Kapolri Idham Azis yang dianggap kalah responsif dengan artis Nikita Mirzani yang sudah berkomentar terkait kerumunan bahkan sejak HRS baru tiba di Indonesia.
Kendati Polri sudah menjelaskan alasannya, namun pencopotan dua Kapolda yang bisa dibilang paling vital dalam waktu yang bersamaan ini tetaplah menarik untuk didalami. Apalagi disebut-sebut, Idham sempat dipanggil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelum menerbitkan telegram pencopotan dua Kapolda tersebut.
Lantas benarkah pencopotan ini hanyalah konsekuensi dari kegagalan keduanya dalam mencegah timbulnya kerumunan simpatisan HRS? Adakah maksud lain di balik manuver ini?
Lampu Kuning untuk HRS?
Konteks pemanggilan Idham oleh Presiden Jokowi sebelum pencopotan Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jawa Barat semakin menarik jika kita menilik lebih jauh lagi rekam jejak Fadil Imran yang didapuk menggantikan Nana Sudjana. Meski sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Jawa Timur, Fadil ternyata sudah sering berkiprah di Ibu Kota.
Ia tercatat pernah beberapa kali bertugas di Jakarta, baik di Polda Metro Jaya, maupun di Mabes Polri. Kariernya bahkan bisa dibilang cukup moncer karena berhasil menangani sejumlah perkara yang menyita perhatian publik, termasuk yang melibatkan HRS.
Pada tahun 2017, Fadil yang saat itu menjabat sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus (Diskrimsus) Polda Metro Jaya, merupakan salah satu pihak di balik penetapan tersangka terhadap HRS dan Firza Husein terkait unggahan obrolan mesum.
Meski akhirnya berakhir dengan penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), namun kasus inilah yang disebut membuat HRS bermukim di Arab Saudi untuk waktu yang cukup lama, hingga akhirnya kembali pada 10 November pekan lalu.
Selain kasus HRS, Fadil juga disebut-sebut menjadi pihak yang membongkar sindikat siber terorganisir Muslim Cyber Army (MCA) saat dirinya menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri pada 2018 silam.
Rekam jejak yang pernah bersinggungan dengan HRS dan kekuatan politik Islam tersebut disebut membuat penunjukan Fadil sebagai Kapolda Metro Jaya menjadi sangat relevan dengan kepentingan pemerintahan Jokowi. Hal ini mengingat pemerintah saat ini tengah dibayangi oleh kebangkitan kekuatan oposisi di bawah komando HRS.
Tom Power dalam tulisannya yang berjudul Jokowi’s Authoritarian Turn mengatakan bahwa politisasi lembaga hukum dan penegakan hukum seperti Polri bukanlah fenomena baru di Indonesia. Menurutnya, kompleksitas aturan dan tingginya angka kriminalitas, terutama kasus korupsi, telah memberikan celah bagi para penguasa untuk mengontrol dan memanipulasi bawahan politik mereka melalui ancaman hukum.
Upaya pemerintah untuk menggunakan perangkat hukum tersebut, menurut Tom, menjadi jauh lebih terbuka dan sistematis di bawah pemerintahan Jokowi.
Made Supriatma dalam tulisannya di The East Asia Forum juga mengatakan hal senada. Menurutnya, di bawah kepemimpinan Jokowi, Polisi tak hanya bertindak sebagai aparat keamanan melainkan juga alat politik. Polisi secara aktif membangun kasus-kasus hukum terhadap lawan-lawan pemerintah, membungkam kritik dan menekan mereka yang mengancam kekuasaan presiden.
Dengan adanya kecenderungan tersebut, maka bisa saja penunjukan Fadil sebagai Kapolda Metro Jaya merupakan bentuk upaya pemenuhan kepentingan politik Jokowi seperti yang disebutkan Supriatma.
Apalagi, Fadil terbilang polisi yang cukup berani. Hal ini salah satunya terbukti dari langkah Polda Jawa Timur di bawah kepemimpinannya yang sempat membubarkan deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Surabaya beberapa waktu lalu. Padahal acara tersebut rencananya akan dihadiri oleh mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo.
Dengan memerhatikan rekam jejaknya itu, maka Fadil bisa dibilang menjadi kunci penting bagi Presiden Jokowi untuk membendung kekuatan oposisi. Ini juga bisa dimaknai sebagai “lampu kuning” bagi HRS maupun semua pihak yang memiliki garis politik sejalan dengannya.
Lalu jika memang benar penunjukan Fadil merupakan manuver politik, , lantas bagaimana dengan Nana Sudjana yang disebut-sebut sebagai salah satu calon kuat pengganti Idham. Adakah manuver lain di balik pencopotannya dari jabatan Kapolda Metro Jaya?
Perebutan Tahta TB-1?
Kendati Polri sendiri beralasan pencopotan ini dilakukan terkait penegakan protokol kesehatan, namun tak dapat disangkal rotasi besar-besaran di ujung masa jabatan Idham juga menimbulkan spekulasi lain terkait suksesor kursi Tri Brata (TB) 1.
Ketua Presidium Indonesia Police Watch (IPW) Neta S. Pane menilai pencopotan Nana Sudjana merupakan manuver persaingan dalam bursa calon Kapolri. Sebab, Ia merupakan salah satu dari tiga jenderal ‘Geng Solo’ yang disebut-sebut akan menjadi calon kuat pengganti Idham.
Geng Solo sendiri mengacu pada pejabat tinggi Polri yang pernah bertugas di Kota Solo, Jawa Tengah. Adagium itu muncul lantaran ada kecenderungan dari Presiden Jokowi untuk memilih kolega-koleganya yang dulu berdinas di sana.
Dicopotnya Nana Sudjana, praktis membuat kansnya untuk terpilih sebagai pengganti Idham semakin kecil. Sebab posisi yang Ia tinggalkan itu sebenarnya merupakan karpet merah untuk menjadi penguasa di Trunojoyo. Sementara terkait pencopotan Kapolda Jawa Barat, menurut Neta, Ia diikutsertakan karena dianggap membiarkan kerumunan massa dalam acara HRS di Jawa barat.
Asumsi yang menyebut bahwa pencopotan ini merupakan manuver dalam perebutan jabatan Kapolri juga semakin mendapat afirmasinya jika melihat alasan yang digunakan Polri untuk menanggalkan jabatan Kapolda Metro Jaya dari Nana. Sejumlah pihak menilai tidak tepat jika Idham menggunakan kerumunan HRS sebagai alasan untuk memutasi Nana.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun menyebut bahwa munculnya kerumunan simpatisan HRS beberapa waktu terakhir merupakan bentuk pelanggaran terhadap peraturan lokal atau daerah. Sehingga secara teknis, tanggung jawabnya berada di bawah Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP).
Pernyataan Refly ini pun sejalan dengan pernyataan Mahfud yang sempat menegaskan bahwa kerumunan yang terjadi belakangan ini merupakan tanggung jawab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sehingga di sisi lain, pencopotan dua Kapolda terkait kerumunan HRS memang bisa dibilang kurang tepat.
Namun terlepas dari segala spekulasi yang ada, pencopotan Nana faktanya membuat bursa calon Kapolri kini mengerucut ke dua nama, yakni Kabareskrim Komjen Listyo Sigit dan Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Lutfi. Lalu jika kita memasukkan faktor hierarki jabatan dan kepangkatan, maka kans Listyo Sigit bisa dibilang lebih besar dari Ahmad Lutfi.
Kendati begitu, sekelumit ulasan ini hanyalah analisis teoretis semata. Yang tahu pasti maksud sebenarnya dari rotasi besar-besaran yang tengah terjadi di tubuh Polri hanyalah pihak yang bersangkutan sendiri. Namun yang jelas, tak dapat dipungkiri bahwa pergantian personel dalam jabatan-jabatan strategis korps Bhayangkara tetap akan memiliki konsekuensi dalam dinamika sosial-politik ke depannya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.