HomeNalar PolitikHRS dan PKB Akan Bersatu?

HRS dan PKB Akan Bersatu?

Seruan HRS bagi pengikutnya untuk membantu pemerintah dalam menanggulangi bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini mendapat apresiasi, salah satunya dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Lantas, adakah ihwal tertentu yang dapat dimaknai di balik apresiasi itu?


PinterPolitik.com

Dalam sejumlah kesempatan sejak kepulangannya dari Arab Saudi, Habib Rizieq Shihab (HRS) dan Front Pembela Islam (FPI) jamak dicitrakan melakukan manuver yang cenderung keras, dan tak jarang dianggap kurang mengindahkan aturan dan ketertiban.

Itu pula yang kemudian menjadi alasan di balik eksistensi HRS saat ini di ruang tahanan Bareskrim Polri.

Namun, citra yang keras dan acapkali terkesan menantang pemerintah belakangan tak menemui relevansinya ketika sang Imam Besar menyerukan sesuatu yang sangat positif.

Disampaikan oleh kuasa hukumnya, Azis Yanuar, Habib Rizieq mengajak para pengikutnya untuk membantu pemerintah karena turut prihatin atas sejumlah bencana yang terjadi akhir-akhir ini di berbagai wilayah di tanah air.

Selain itu, HRS mengimbau agar bantuan bagi seluruh korban bencana dicurahkan tanpa memandang suku agama, ras, dan latar belakang lainnya. Sebuah pesan yang jika disimak secara kasat mata tampak sangat kontras dengan stigma yang telanjur melekat pada HRS maupun FPI – yang merupakan wadah pengikut HRS sebelum dibubarkan pemerintah – selama ini.

Pesan itu agaknya keliru jika dimaknai akibat HRS yang “melunak” karena jerat hukum yang sedang Ia hadapi saat ini. Mengingat FPI memang realitanya punya track record positif ketika kerap menjadi pionir dalam pertolongan bencana alam di Indonesia, bahkan sebelum intervensi lembaga pemerintah hadir.

Oleh karenanya, seruan itu kemudian mendapat apresiasi dari sejumlah kalangan. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, yang melalui politisinya di Komisi VIII DPR RI, Bukhori Yusuf, menyebut bahwa seruan itu menunjukkan sikap kenegarawanan dan kematangan berbangsa dari HRS.

Sementara Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gerindra, Habiburokhman, mengatakan bahwa seruan itu merupakan pesan dengan konteks persatuan. Karena meski kerap berbeda pendapat, HRS tak segan menyerukan sokongan kepada pemerintah.

Baca juga: FPI, Buah Kesalahan Soeharto?

Tak hanya PKS dan Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui Ketua DPP-nya Faisol Riza, turut bereaksi positif dan menyebut bahwa pesan kebaikan solidaritas itu sebaiknya didengarkan dan dijalankan oleh para pengikut HRS.

Jika PKS dan Gerindra memang cukup sering mengimpresikan sokongan positif pada HRS maupun FPI, sehingga apresiasinya kemudian menjadi sebuah kelumrahan. Makna berbeda agaknya eksis ketika apresiasi itu datang dari PKB.

Itulah yang kemudian menimbulkan pertanyaan tersendiri, bahwa apakah makna sesungguhnya di balik apresiasi tersebut?

HRS, FPI, dan Bencana Alam

Selain atmosfer yang tampak membawa kesejukan tersendiri, seruan HRS kepada para pendukungnya itu juga agaknya sekaligus mengingatkan inisiatif yang kerap dilakukan FPI kala terjadi bencana.

HRS bersama FPI-nya sejak lama memang dikenal cukup trengginas dalam berkontribusi di balik upaya penanggulangan bencana alam yang terjadi di berbagai wilayah Indonesia.

Baca juga :  Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Satu yang mungkin paling diingat ialah saat FPI disebut menjadi yang paling awal turun gunung berjibaku sebagai relawan kemanusiaan saat gempa dan tsunami Aceh tahun 2004 silam.

Tak hanya itu, FPI juga tercatat hadir dalam beberapa musibah seperti gempa di Sumatera Barat tahun 2009, tsunami Selat Sunda 2018, gempa dan tsunami Palu 2018, banjir DKI Jakarta pada 2019, hingga banjir bandang di Masamba, Luwu Utara pada Juli 2020 lalu.

Pasca gempa dan tsunami Palu dua tahun silam, Stephen Wright dalam When Disaster Hits, Indonesia’s Islamists are First to Help bahkan mengisahkan FPI seolah menjadi pemberi harapan dan solusi terbaik, ketika bantuan dari otoritas pemerintah belum atau tidak menjangkau sebagian korban terdampak.

Alexander J. Oliver dan Andrew Reeves dalam The Politics of Disaster menyiratkan bahwa penanggulangan bencana sesungguhnya dapat menjadi semacam keuntungan politik tersendiri, saat tindakan dalam penanggulangan bencana bermuara pada sentimen yang positif.

Meskipun Oliver dan Reeves menyoroti kapabilitas yang dimiliki penguasa, namun tampaknya hal itu juga memiliki relevansinya sendiri secara umum ketika hal yang sama bisa terkapitalisasi oleh pihak manapun, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Baca juga: Rizieq Selesai, Sandi Cari Kuda Baru?

Hal itu misalnya dapat dilihat di ranah politik lokal, dari bagaimana PKS menjadi partai politik (parpol) yang kerap hadir pula sebagai entitas yang membantu penanggulangan bencana.

Hampir serupa dengan FPI, PKS juga kerap mengambil peran sebagai parpol terdepan dalam beberapa bencana yang terjadi di Indonesia melalui pengiriman relawan serta pendirian posko-posko darurat.

Meski tentu alasan utamanya ialah kemanusiaan, PKS bukan tidak mungkin secara tak langsung memperoleh keuntungan politik tersendiri dari segi citra.

Dalam Setting Agenda or Responding to Voters? Political Parties, Voters, and Issue Attention, Heike Klüver menjabarkan riding wave theory, yang menjelaskan bahwa parpol merespons atau menarik perhatian pemilih dengan menyoroti sebanyak mungkin isu atau kebijakan yang menonjol di benak para masyarakat.

Khusus pada konteks bagaimana apresiasi diberikan PKB pada seruan HRS yang telah dijelaskan sebelumnya, mungkin saja partai besutan Muhaimin Iskandar itu juga ingin memperoleh benefit tertentu, terutama dari segi mengkapitalisasi sejumlah isu sekaligus.

Saat seruan HRS bagi para pengikutnya berhembus untuk membantu pemerintah dalam penanggulangan bencana, kecenderungan akan sebuah impresi moderat dan cukup progresif seketika menyeruak. Apalagi FPI punya reputasi cukup baik dalam hal merespons kebencanaan.

Signifikansi aspek itulah yang bisa saja hendak dikapitalisasi semaksimal mungkin oleh PKB melalui apresiasinya terhadap seruan HRS, sebagai parpol Islam yang selama ini juga dikenal moderat, plus di tengah momentum urgensi penanganan bencana alam di Indonesia.

Lalu kemudian, apakah kemungkinan itu dapat membuka peluang lain yang lebih jauh, utamanya bagi terwujudnya sinergi HRS dengan PKB?

Baca juga :  Megawati and The Queen’s Gambit

Tunggu “Comeback” Habib Rizieq?

Tak hanya kapitalisasi itu, apresiasi PKB terhadap seruan HRS mungkin bertujuan pula untuk mengingatkan kembali bahwa ada pintu yang telah terbuka bagi para eks FPI untuk merapat dan memoderasi paradigmanya. Yang tentu muaranya ialah harapan merengkuh dukungan elektoral, tak terkecuali dari sang Imam Besar.

Karena saat FPI dibubarkan pemerintah, PKB seolah menjadi parpol pertama yang bersedia menampung para mantan simpatisan pengikut HRS. Ketika itu, Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB, Maman Imanulhaq, mengatakan PKB bersedia memfasilitasi para eks anggota FPI untuk belajar merumuskan kembali dakwahnya.

Baca juga: Jokowi, Rizieq, dan Politisasi Covid-19?

Bagaimanapun, Habib Rizieq dan FPI sendiri tampaknya sejak awal telah memiliki benang merah dengan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam yang secara terbuka mendukung PKB.

Korelasi hubungan konstruktif bagi ketiganya dapat terlihat saat sama-sama bersinergi dan memiliki kesepahaman dalam kasus Ahok pada 2016 silam. Saat itu, HRS bahu-membahu dengan Ma’ruf Amin yang masih menjabat Rais Aam PBNU.

Secara ideologis sendiri, HRS dan FPI dinilai memiliki porsi irisan yang cukup seirama dengan NU. Dalam sebuah tulisan berjudul NU dan FPI dalam Tiga Matra, M. Kholid Syeirazi secara lebih spesifik menjabarkan benang merah antara FPI dan NU.

Secara ‘amaliyyah ubûdiyyah atau akar tradisi, NU dan FPI memiliki kesamaan dan bukanlah penganut Islam puritan. HRS dan FPI juga “akur” dengan NU dalam hal fikrah dîniyyah atau pemikiran keagamaan.

NU juga dikenal sangat menghormati para habib. Ketua Umum (Ketum) PBNU Said Aqil Siradj sendiri sempat mengutarakan ihwal yang sama, termasuk kepada Habib Rizieq Shihab.

Tinggal memang secara politik, keduanya tampak masih belum menemukan ritme yang selaras. Kendati demikian, HRS sendiri sempat berujar bahwa FPI adalah “anak” NU yang bandel, yang kemungkinan besar mengindikasikan bahwa nafas HRS, FPI, dan NU, tak menutup kemungkinan pula PKB, pada hakikatnya seirama.

Dan apresiasi dalam merespons seruan HRS bisa jadi merupakan investasi politik tersendiri bagi PKB yang dilakukan secara gradual, ketika HRS mungkin dapat memoderasi paradigmanya secara konsisten dan mendapatkan kembali signifikansinya di kemudian hari.

Meski begitu, serangkaian analisa di atas masih sebatas probabilitas semata. Yang jelas, keberadaan HRS di balik jeruji besi saat ini jelas menghambat manuvernya dan masih belum diketahui pula kapan dirinya bisa bebas.

Dinamika politik tanah air yang begitu kompleks namun sangat cair memang membuka semua kemungkinan untuk terjadi. Lantas, mungkinkah HRS dan PKB akan berada dalam satu barisan di kemudian hari? (J61)

Baca juga: Mungkinkah Ba’asyir Gantikan HRS?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?