Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Peran, manuver, serta konstruksi reputasi Sufmi Dasco Ahmad kian hari seolah kian membuatnya tampak begitu kuat secara politik. Lalu, mengapa itu bisa terjadi? Serta bagaimana peran Dasco dalam memengaruhi dinamika politik-pemerintahan dalam beberapa waktu ke depan?
Jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR RI sekaligus Ketua Harian Partai Gerindra menjadikan sosok Sufmi Dasco Ahmad tidak hanya sekadar administrator partai atau pejabat legislatif biasa, melainkan aktor kunci dalam orbit kekuasaan nasional.
Dalam beberapa dinamika prominen, termasuk yang teranyar yakni pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, Dasco seolah tampil bukan hanya sebagai pelaksana kebijakan, tetapi juga sebagai arsitek dari manuver politik internal dan eksternal Gerindra.
Namun demikian, seiring dengan meningkatnya visibilitas dan peran strategis Dasco, muncul pertanyaan penting. Apakah fenomena ini mencerminkan kekuatan struktural dan individual yang sejati, atau justru sebuah konstruksi citra tertentu? Dan ke manakah arah peran politik Dasco di masa mendatang?
Pondasi Dasco?
Ungkapan paling sederhana untuk menggambarkan pengaruh dan citra Dasco saat ini adalah garis tangan. Dasco dinilai sangat lihai “memainkan peran yang memang benar-benar dia bisa menangkan” di kancah dan kiprah politiknya.
Sebelum menjadi sosok legend dan seolah OP (over power) di DPR, riwayat Dasco tentu dapat dengan mudah ditelusuri. Namun, simpul serta fase relasinya dengan Fadli Zon dan Prabowo Subianto saat bersama-sama mendirikan Partai Gerindra menjadi ikatan mendalam di antara mereka dan peran yang dimainkan di kemudian hari.
Seiring berjalannya waktu dan hasil elektoral Pemilu dan Pilpres 2009, 2014, 2019, dan 2024, tren meningkatnya pengaruh Dasco tidak bisa dilepaskan dari dinamika patron-klien yang telah lama menjadi bagian integral dalam kultur social-politik Indonesia.
C. Scott dalam Patron-Client Politics and Political Change in Southeast Asia, menyebutkan bahwa kekuasaan dalam sistem politik tradisional di Asia Tenggara sering dibangun di atas relasi personal yang bersifat hierarkis, di mana seorang patron memberikan perlindungan dan sumber daya kepada klien sebagai imbalan atas loyalitas dan dukungan politik.
Dalam konteks ini, eksistensi akronim-akronim seperti kabinda (kader binaan Dasco) dan adidas (anak didikan Dasco) menjadi indikator dari sistem patron-klien kontemporer yang beroperasi dalam Partai Gerindra maupun lebih luas dalam sistem politik nasional.
Dasco kiranya menjadi pusat dari sebuah jejaring kaderisasi dan proteksi yang bukan hanya bertumpu pada kedekatan personal, tetapi juga pada akses terhadap sumber daya politik, hukum, dan logistik.
Dalam prosesnya, Dasco tampak memposisikan dirinya sebagai gatekeeper kekuasaan—peran yang mirip dengan konsep king’s hand dalam monarki modern, atau dalam bahasa Gramscian, seorang organic intellectual yang mengartikulasikan kehendak elite melalui jejaring dan struktur organisasi politik.
Lebih lanjut, kekuatan Dasco tidak bisa dilepaskan dari kemampuan memainkan politik hukum. Ia kerap tampil sebagai tokoh yang vokal dalam merespons isu-isu kebijakan dan legislasi nasional, bahkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan yurisprudensi dan interpretasi konstitusional.
Hal ini menempatkan dirinya bukan hanya sebagai politisi biasa, tetapi juga sebagai aktor hukum-politik yang strategis. Termasuk, probabilitas simbiosisnya dengan aparat penegak hukum itu sendiri.
Dalam ranah praktis dan rasional, Dasco boleh jadi menunjukkan kematangan dalam memahami pentingnya logistik politik dan ekonomi sebagai pondasi kekuasaan.
Dalam hal ini, keberhasilan Dasco bukan karena kemampuannya dalam berkampanye atau orasi, melainkan dalam mengelola dan mengorkestrasi sumber daya untuk menciptakan jejaring yang produktif dan loyal secara politik.
Namun, semua ini tentu tidak bisa terjadi tanpa adanya relasi simbiosis dengan pusat kekuasaan utama dalam partai, yang tak lain adalah Prabowo Subianto.
Di sinilah letak pentingnya memahami bahwa dalam sistem kekuasaan Gerindra yang kini menempatkan Prabowo sebagai pucuk pimpinan tertinggi Republik ini dan tetap menjadi nucleus dari segala dinamika.
Sebagai pendiri, pemilik legitimasi historis, dan kini Presiden RI, Prabowo berada di posisi yang tak tergantikan. Maka, segala kekuatan dan pengaruh Dasco, betapapun besar dan efektif, seharusnya tetap beroperasi dalam orbit Prabowo.
Pertanyaan menarik yang muncul kemudian adalah, dengan kapabilitas dan jejaring yang dimiliki, apakah Dasco dapat menjadi kingmaker di panggung depan di masa mendatang?
Dasco Tetap Butuh Konsolidasi?
Satu hal yang secara teori dapat mematahkan reputasi kekuatan Dasco saat ini adalah sirkulasi elite. Menurut Gaetano Mosca dan Vilfredo Pareto, sirkulasi elite adalah keniscayaan dalam sistem politik.
Elite baru akan selalu muncul menggantikan elite lama, tetapi yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman, teknologi kekuasaan, dan struktur masyarakat.
Selain skenario tergantikan sepenuhnya, Dasco, dalam pengertian ini, tak menutup kemungkinan sedang mempersiapkan dirinya untuk masuk dalam kategori perennial elite, yakni seseorang yang terus relevan melampaui satu rezim pemerintahan.
Namun, menjadi kingmaker, baik di belakang maupun depan layar, bukan tanpa risiko. Jejaring yang besar juga bisa menjadi beban. Dalam sistem politik yang sarat intrik dan kompetisi internal, loyalitas bisa dengan cepat berubah menjadi ancaman.
Apalagi, jika Dasco mulai dianggap terlalu besar oleh pihak-pihak lain di internal partai maupun oleh Prabowo sendiri. Politik, pada akhirnya, adalah ruang kontestasi kuasa yang penuh jebakan.
Relasi Dasco dengan figur-figur penting yang saat ini berada dalam satu aliansi seperti Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo), Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, Puan Maharani, maupun Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) kiranya akan menjadi ujian nyata dari kapasitas adaptif dan kalkulatifnya.
Dalam politik pasca-Prabowo, konfigurasi kekuasaan sangat mungkin berubah drastis, dan mereka yang gagal membaca arah angin bisa terdepak dalam waktu singkat.
Satu tantangan besar yang akan dihadapi Dasco adalah bagaimana ia menavigasi peran ganda, sebagai legislatif, kader partai, sekaligus kepercayaan presiden.
Sangat mendasar, dalam teori trias politica yang dikemukakan oleh Montesquieu, pemisahan kekuasaan adalah prinsip dasar demokrasi agar kekuasaan tidak terkonsentrasi pada satu tangan.
Namun, dalam praktik politik Indonesia, batas-batas antara eksekutif, legislatif, dan partai kerap kabur. Fenomena double hatting seperti yang kini seolah Tengah dimainkan Dasco bisa berujung pada konflik kepentingan dengan dampak politik yang rumit.
Oleh karena itu, masa depan politik Dasco tidak hanya ditentukan oleh kekuatannya membangun jaringan dan lobi, tetapi juga oleh kemampuannya menjaga kredibilitas institusional dan integritas hukum.
Jika ia gagal menjaga keseimbangan peran, maka bukan tidak mungkin kekuatan yang dibangunnya selama ini justru akan menjadi bumerang.
Akan tetapi, penjelasan di atas masih merupakan interpretasi semata. Yang jelas, sejauh mana Dasco mengelola pengaruh, kekuatan, dan reputasi dirinya di hadapan aktor lain, termasuk di mata rakyat dan konstituennya akan sangat menentukan. (J61)