HomeNalar PolitikHiruk-Pikuk Lingua Elite Memerangi Corona

Hiruk-Pikuk Lingua Elite Memerangi Corona

Belakangan ini masyarakat Indonesia disajikan serangkaian kualitas gestur, komunikasi, hingga kebijakan pejabat publik yang sangat jauh dari harapan. Lantas muncul pertanyaan apakah kualitas komunikasi seorang pejabat publik dapat terdegradasi dalam situasi kedaruratan tertentu seperti saat ini?


PinterPolitik.com

Sebuah kualitas komunikasi yang baik akan berpengaruh positif pada penerimaan, pemahaman, dan kepuasan akan informasi yang didapat oleh pendengarnya. Hal ini sangat relevan ketika kita berbicara mengenai komunikasi secara keseluruhan yang disampaikan oleh seorang pejabat publik atau elit dalam situasi tertentu, utamanya saat terjadi hal yang tak terduga seperti krisis atau keadaan darurat.

Dari situ dapat diambil kesimpulan secara jelas bagaimana kualitas komunikasi yang ditampilkan oleh seorang pejabat publik hingga penguasaan ketika terjadi situasi krisis atau darurat.

Sejak virus yang sangat menular, Covid-19, belum secara resmi ditemukan penderitanya di Indonesia, berbagai tindakan, komentar, dan pernyataan dari para elite di tanah air justru membuat masyarakat heran dan tidak puas terkait keseriusan pemerintah dalam antisipasi maupun langkah menanggulangi virus tersebut.

Mengutip mini paper Lokataru Foundation bertajuk “Setelah Corona Tiba, Lalu?”, paling tidak ada tiga dari banyak pernyataan maupun tindakan pejabat publik yang dinilai “nyeleneh” dan kontraproduktif sejak eskalasi persebaran Covid-19 mulai mengancam Indonesia hingga saat ini, di antaranya:

“Mengatakan bahwa virus Corona tak ditemukan di Indonesia berkat doa dan juga membantah hasil riset dari peneliti Harvard T.H. Chan School of Public Health yang memprediksi virus Corona seharusnya sudah masuk ke Indonesia.” Terawan Agus Putranto, Menteri Kesehatan pada 11 Februari 2020.

“Memberikan diskon hotel dan pesawat yang berlaku pada 1 Maret 2020 untuk memulihkan kembali sektor pariwisata.” Joko Widodo (Jokowi), Presiden RI pada 2 Maret 2020.

Lalu ada pula saling bantah antara juru bicara pemerintah untuk penanganan virus Corona, Achmad Yurianto dengan Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin pada 6 Maret 2020 lalu mengenai perlu tidaknya sertifikasi bebas virus Corona bagi WNA dan WNI yang memiliki riwayat perjalanan dari luar negeri.

Dan yang terbaru, dinobatkannya duta imunitas Corona oleh Menteri Kesehatan pada 14 Maret lalu kepada WNI yang selesai diobservasi dinilai tidak memiliki urgensi serta relevansinya sama sekali di situasi sekarang.

Lantas, hal apakah yang dapat dimaknai dari kurang baiknya komunikasi publik yang dipertontonkan oleh berbagai pejabat dan elite tersebut?

Antara Kegagapan dan Kegagalan

Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf Romawi dalam publikasinya yang berjudul The Five Cannon of Rethoric menjabarkan konsep dasar pengukuran keberhasilan retorika dan komunikasi publik yang di antaranya adalah: Invention (rumusan pembicaraan yang ingin disampaikan), Arrangement (penyusunan materi yang ingin disampaikan), Style (cara penyampaian narasi), Delivery (eksekusi penyampaian narasi), dan Memory (kemampuan menyimpan gagasan/narasi dalam ingatan dan mengungkapkan kembali pada waktunya).

Baca juga :  Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Kemudian dari lima indikator tersebut, terdapat dua poin yang dapat publik lihat dan rasakan secara nyata yaitu style dan delivery yang sekiranya tidak terlihat dari komunikasi para pejabat terkait virus Corona. Style dalam konsep Cicero ialah yang menyangkut gaya bahasa penyampaian pesan atau komunikasi. Pernyataan pejabat publik Indonesia selama ini terkait penanganan Covid-19 dinilai dan terkesan dibalut dengan gaya bahasa yang “menyepelekan” berbagai situasi yang nyatanya sekarang telah bertransformasi ke dalam keadaan darurat.

Selajutnya delivery, yang menyangkut eksekusi atau penyampaian pesan yang meliputi suara, bahasa tubuh, serta komunikasi interpersonal yang ditafsirkan oleh sebagian besar publik. Eksekusi komunikasi pejabat publik tanah air terkait penanganan Covid-19 dinilai kerap tidak mengena dan menguasai substansi yang membuat publik secara jelas menyerap informasi dan menghadirkan rasa tenang.

Selain itu, apa yang sejauh ini ditunjukkan pemerintah melalui rendahnya kualitas pernyataan dan respon tersebut tidak hanya memperlihatkan kegagapan merespon situasi, namun juga menunjukkan kegagalan dalam penyampaian komunikasi kepada publik yang memuaskan terkait dengan Covid-19 di Indonesia. Ditambah lagi, di sisi yang sama dapat dinilai bahwa pemerintah tidak memiliki kecakapan atas penguasaan masalah dan koordinasi lintas sektoral atau antar lembaga yang lemah.

Konsekuensi atas berbagai pernyataan-pernyataan tersebut harus diakui baik secara langsung maupun tidak langsung juga mempengaruhi aspek psikologis masyarakat.

Salah satu yang telah terjadi ialah pembelian masif atau panic buying terhadap masker dan cairan disinfektan pada saat hampir bersamaan setelah Presiden Jokowi mengumumkan pertama kali kasus positif Covid-19 di Indonesia. Sebelumnya kelangkaan masker yang mengakibatkan harganya menjadi di luar akal sehat serta memicu tindak kriminalitas berupa penimbunan dan produksi ilegal masker sudah terjadi sejak awal Januari.

Refleksi dari Negeri Tetangga

Sebuah pidato yang mengagumkan menanggapi Covid-19 dihadirkan Menteri Kesehatan Singapura, Gan Kim Yong di depan parlemen Singapura bulan lalu. Dimulai dari penjelasan mengenai virus itu sendiri, bagaimana penularannya, hingga langkah-langkah preventif dan penanganan yang tepat, seluruhnya disampaikan lewat susunan kata yang sangat baik dan mudah dipahami.

Baca juga :  Megawati Tumbangkan Pengaruh Jokowi-Anies

Lalu ada pula pernyataan Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong yang pekan lalu menyampaikan progres penanganan Covid-19 di Singapura. Dalam kesempatan tersebut ia meyakinkan bahwa Singapura telah menempuh langkah-langkah strategis dalam menekan penyebaran Covid-19. Ia juga secara komprehensif menjelaskan kebijakan antisipatif di bidang perekonomian, hingga dukungan moril bagi seluruh rakyat Singapura dalam melewati pandemi yang sedang terjadi.

Jika dua pernyataan pejabat publik Singapura di atas ditelaah dengan konsep keberhasilan komunikasi publik Cicero, dapat dikatakan bahwa keseluruhan indikator tersebut diimplementasikan dengan sangat baik.

Pertama, implementasi konsep style dari dua tokoh itu berhasil dalam membawakan gaya bahasa yang tepat dalam penyampaian komunikasi yang elegan dan berwibawa sebagai pejabat publik. Kedua, konsep delivery atau penyampaian komunikasi dibawakan dengan gestur serta gerak tubuh yang tepat selaras dengan setiap kalimat dan tingkat emosional setiap konteks yang dibawakan.

Selain itu, intensitas komunikasi publik yang tepat dan tidak terlalu banyak sahut-menyahut antar elit membuat penanganan Covid-19 dari sisi komunikasi publiknya cukup berhasil mengelola psikis publik Singapura.

Penjelasan penyampaian komunikasi publik terkait Covid-19 yang ditunjukkan dua sampel negara di atas, terlihat bahwa terdapat jurang perbedaan kualitas yang signifikan. Lalu dari perbandingan tersebut kita dapat melihat pula dalam situasi darurat sekalipun, seyogyanya komunikasi publik tetap harus disajikan secara profesional dan sejelas-jelasnya.

Menakar perbandingan komunikasi publik untuk merefleksikannya di tanah air tentu bukan hal yang diharamkan demi peningkatan penanganan pandemi yang semakin mengkhawatirkan di Indonesia. Terkini, jumlah kasus positif telah mencapai angka 134.

Pejabat publik dengan kualitas komunikasi publik yang mumpuni tentu diharapkan di masa-masa darurat seperti saat ini. Belum terlambat bagi pemerintah menghadirkan perbaikan dan penyegaran dalam teknik public relation mereka demi terciptanya ketenangan masyarakat. Namun tentu tidak hanya dari sisi kualitas komunikasinya saja, melainkan juga penanganan Covid-19 secara komprehensif. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

More Stories

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?