Sejak kepulangannya, eksistensi Habib Rizieq Shihab disambut antusiasme massa dalam jumlah besar yang belakangan menimbulkan polemik di tengah pandemi Covid-19. Lalu, mengapa fenomena kerumunan massa tersebut dapat terjadi semasif dan semilitan itu?
Serangkaian agenda yang dilakukan pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) sejak 10 November lalu, kini menimbulkan konsekuensi yang tampaknya cukup meluas. Kerumunan massa besar yang mengiringi agenda tersebut dan tak mengindahkan protokol kesehatan di tengah pandemi, membuat pemerintah pusat meradang.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, melayangkan ultimatum kepada kepala daerah dan aparat untuk menindak tegas pelanggaran berupa kerumunan selama pandemi Covid-19.
Tak sampai di situ, Mahfud juga mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan sanksi kepada aparat yang tidak mampu bertindak tegas dalam memastikan terlaksananya upaya tersebut.
Gak pake lama sejak ultimatum dari Medan Merdeka Barat itu, dua Kapolda plus dua Kapolres langsung dicopot dari jabatannya. Mereka adalah Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto, serta Kapolres Bogor AKBP Roland Ronaldy.
Selain itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan juga mendapatkan panggilan dari Polda Metro Jaya untuk mengklarifikasi adanya dugaan tindak pidana dalam penyelenggaraan acara keramaian di tengah pandemi Covid-19.
Dan kerumunan massa Habib Rizieq dalam jumlah masif yang tak terbendung tampaknya menjadi dalang dari melebarnya kasus, bahkan sampai ke jabatan para pejabat dan aparat.
Penjemputan di bandara, hingga sejumlah acara di Petamburan, Jakarta Pusat dan Megamendung, Bogor, Jawa Barat, memang menyuguhkan fenomena tersendiri dari gelombang massa yang seolah tak mempedulikan bahwa saat ini pandemi masih berlangsung dan terus mengancam.
Lalu, mengapa kiranya kerumunan massa dengan jumlah dan militansi yang tinggi ini dapat terjadi? Selain itu, fenomena apa yang sesungguhnya sedang terjadi?
“Syi’ar” Pasca Orba Tumbang
Aspek religiositas masyarakat kiranya tepat untuk menjelaskan kerumunan massa yang mengiringi sejumlah agenda pasca kembalinya Habib Rizieq ke Indonesia.
Akan tetapi dalam perkembangan dan penerapannya, aspek tersebut tampaknya tak melulu terkait dengan value atau nilai, yang mana religiositas erat kaitannya dengan konsistensi keyakinan dan perilaku seperti yang dijelaskan Edward Stevens dalam The Morals Game. Bahkan tendensi valleity – kebalikan dari value – agaknya juga mengambil porsi dalam aspek religiositas masyarakat di tanah air.
Di Indonesia, komersialisasi agama yang secara tidak langsung membentuk aspek religiositas masyarakat, salah satunya muncul seiring dengan penetrasi kapitalisme yang tak terhindarkan.
Dan penetrasi yang dianggap cukup nyata ialah yang berkenaan dengan simbol seperti gaya hidup yang sesuai dengan tuntunan syariat, salah satunya melalui cara berpakaian.
Hal tersebut merefleksikan bekerjanya teori reproduksi sosial yang dikemukakan Pierre Bourdie. Konteks habitus tergambar dari bagaimana wacana syi‘ar dioperasikan melalui beragam komunitas untuk menampilkan makna baru tentang busana dan pakaian syariat sebagai bagian praktik agama pada sebagian besar kelas masyarakat Indonesia.
M. Zainal Anwar dalam Formalisasi Syari’at Islam Di Indonesia: Pendekatan Pluralisme Politik dalam Kebijakan Publik, menyiratkan bahwa internalisasi yang terkait dengan syariat tersebut terkonstruksi secara berangsur-angsur dan mulai terlihat setidaknya pasca Orde Baru (Orba) tumbang.
Seperti yang diketahui, Soeharto menutup rapat diskursus syariat Islam melalui penerapan kebijakan asas tunggal bagi seluruh organisasi sosial politik, via Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Setelah Soeharto lengser, “perjuangan” memformalisasikan syariat Islam kian semarak, yang disadari atau tidak, beriringan dengan penetrasi kapitalisme di baliknya.
Kemudian dalam perkembangannya, simbol seperti pakaian muslim tidak cukup lagi hanya dipahami semata-mata sebagai ungkapan takwa. Akan tetapi, di sebagian kalangan masyarakat, ihwal tersebut sendiri tak ubahnya seperti pergeseran selera gaya hidup pada konteks mode pakaian atau fashion.
Kondisi semacam ini lantas melahirkan komersialisasi agama yang memunculkan fundamentalisme hedonis atau spiritual hedonism, yakni semacam spiritualitas untuk bersenang-senang.
Pada akhirnya sektor bisnis yang berputar di persoalan syariat, seperti garmen, tampaknya memang turut berperan dalam mengkonstruksi religiositas masyarakat Indonesia secara tidak langsung, terlepas dari value atau valleity, seperti yang dikemukakan Stevens.
Bukan Karena Ketokohan HRS?
Selain peran kapitalisme yang mungkin saja “menunggangi”, faktor kekinian yang relevan juga tampaknya turut membentuk konstruksi religiositas masyarakat Indonesia, dan bermuara pada gelombang massa HRS yang kini menimbulkan polemik meluas.
Shelley E. Taylor dalam Health Psychology memuat temuan bahwa religiositas sangat membantu individu ketika mereka harus berhadapan dan mengatasi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan, seperti bencana alam hingga krisis.
Dalam hal ini, religiositas berperan dan digunakan sebagai coping strategy untuk bertahan serta kemudian dapat keluar dari kondisi sulit tersebut secara psikologis.
Seperti yang telah diketahui, dampak turunan pandemi Covid-19 telah merenggut jutaan pekerjaan dan mendegradasi kemampuan ekonomi sebagian besar kalangan masyarakat.
Jika mengacu pada apa yang dikemukakan Taylor, situasi yang dapat dikatakan menjadi sebuah krisis tersendiri ini kemungkinan memang memunculkan atau meningkatkan tingkat religiositas masyarakat sebagai mekanisme psikologis untuk bertahan.
Riset yang dilakukan Pew Research Center yang bertajuk “The Global God Divide” edisi 2020 pun tampaknya mendukung postulat tersebut. Survei mengenai tingkat religiositas rata-rata masyarakat berdasarkan tingkat ekonomi, pendidikan, dan usia, menempatkan Indonesia di urutan teratas.
Survei di 34 negara – baik Eropa, Asia, Afrika, hingga Timur Tengah – sampai pada kesimpulan bahwa semakin rendah tingkat ekonomi, semakin tinggi tingkat religiositas rata-rata masyarakat di suatu negara.
Selain itu pada konteks Indonesia saat ini, “ketidakberdayaan” terhadap pemerintah yang sejumlah kebijakannya acapkali dianggap tak memihak rakyat dan bahkan cenderung kontroversial juga mungkin saja menambah derajat religiositas itu.
Artinya, terdapat kemungkinan bahwa “histeria” berupa kerumunan massa dalam jumlah masif dan militan dalam serangkaian agenda Habib Rizieq, tak semata-mata dikarenakan daya tarik personal maupun ketokohan sang Imam Besar seperti yang sebelumnya dikemukakan pengamat Intelijen, Stanislaus Riyanta. Melainkan terdapat akumulasi faktor psikologis dan ekonomi yang mendasarinya.
Lantas, apakah terkuaknya hal tersebut mengindikasikan bahwa sosok Habib Rizieq sesungguhnya tak terlalu signifikan dalam tatanan sosial politik tanah air seperti yang selama ini mungkin dibayangkan?
Tak Se-berpengaruh yang Dibayangkan?
Secara kasat mata, kerumunan massa yang berujung polemik pencopotan dua Kapolda, Kapolres, hingga pemanggilan Gubernur DKI Jakarta oleh Polda Metro Jaya, tampak mengimpresikan betapa berpengaruhnya sosok Habib Rizieq Shihab. Namun, benarkah demikian?
Jika melihat pola dan karakteristik antusiasme dan gelombang massa secara lebih komprehensif, termasuk aspek religiositas yang telah dijelaskan di atas plus bagaimana derajat ketokohan Habib Rizieq kini, tampaknya tidak demikian. Paling tidak sejumlah analis politik tanah air mendukung presumsi ini.
Yang pertama datang dari pengamat politik dan Direktur IndoStrategi Research and Consulting, Arif Nurul Imam yang menyebut bahwa figur dan ketokohan Habib Rizieq masih ada, namun sudah tidak besar dan kekuatannya dianggap terus meluntur.
Selain itu, “ketenaran” dan daya pikat Habib Rizieq dianggap hanya berada pada episentrum dengan skala yang tidak sebesar yang mungkin selama ini jamak dibayangkan publik.
Fenomena kerumunan massa seperti di Bandara, Petamburan, hingga Megamendung agaknya tidak akan terjadi di wilayah lain yang memiliki karakteristik berbeda. Pengamat masalah keislaman dan pemerhati politik komunitas Arab di Indonesia, Ahmad Syarif Syechbubakr dalam sebuah kesempatan menyiratkan hal ini.
Ahmad Syarif mengatakan bahwa memang tak bisa dipungkiri Habib Rizieq dan Front Pembela Islam (FPI) cukup populer di Jakarta, Banten, Jawa Barat, dan Sumatera. Akan tetapi jika bergeser sedikit ke wilayah Jawa Tengah misalnya, ihwal dinilai akan berbeda.
Jawa Tengah dan Jawa Timur disebut Ahmad Syarif dikuasai oleh kiai, ulama, dan habaib yang berafiliasi ke Nahdlatul Ulama (NU). Dan secara nasional, NU dan Muhammadiyah – termasuk para tokohnya – masih terlalu kuat pengaruhnya dibandingkan organisasi Islam manapun. Pengaruh yang dikatakan Syarif juga erat dengan konteks elektoral.
Mengacu pada presumsi tersebut, pemerintah semestinya lebih komprehensif dan cermat dalam bereaksi dan merespons kasus pelanggaran protokol kesehatan akibat kerumunan massa Habib Rizieq agar tak dicap berlebihan dan malah dapat berbuntut panjang.
Pendekatan keras di situasi psikologis yang sulit seperti ini agaknya justru akan menimbulkan impresi dan reaksi balik yang kontraproduktif dan mungkin saja tidak diharapkan. Komprehensivitas dan kecermatan respons pemerintah itulah yang sesungguhnya diharapkan. (J61)
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.