Pemilihan Gubenur (Pilgub) Jawa Timur (Jatim) tinggal setahun lagi, akan tetapi peta politiknya mengalami perubahan. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) nampaknya akan mengusung Tri Rismarini (Risma) sebagai calon gubernur (cagub) Jatim. Ini bisa menjadi ancaman bagi kubu Nahdlatul Ulama ( NU). Maka, apa yang perlu dilakukan oleh kubu NU agar mampu menandingi Risma pada pilgub Jatim tahun depan?
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]T[/dropcap]anggal pengumuman pasangan calon (paslon) cagub-cawagub Jatim sudah ditentukan, 15 Oktober 2017. Namun PDIP, rupanya, masih butuh banyak masukan untuk mengusung pasangan calon (paslon) yang mantap. Terlebih kandidat yang ada sangat bersaing, terutama Khofifah dan Gus Ipul.
Secara khusus, DPP PDIP mengutus Sekertaris Jenderal (sekjen) Hasto Kristiyanto untuk menemui kadernya yang juga Wali Kota Surabaya, Risma. Pertemuan digelar di rumah dinas wali kota, Jalan Sedap Malam, Surabaya, Senin (9/10).
Spekulasi pun berkembang. Kemungkinan PDIP akan mengusung calonnya sendiri, sebagai ulangan dari pilgub Jatim 2013 lalu. Jika hal ini terjadi maka haluan politik PDIP pada Pilgub Jatim akan berubah. Dengan sendirinya, Gus Ipul akan kehilangan salah satu partai pengusungnya. Maka, perlu ada konsensus dalam kubu NU. Bila ingin menang, Gus Ipul dan Khofifah perlu bersatu.
Melihat alur politik Jatim yang dinamis, mungkinkah ini akan menjadi pertarungan politik antara NU dan PDIP?
NU Butuh Konsensus, Jika Ingin Menang
Para kiai sebenarnya telah lama mengimpikan kehadiran sosok Gubenur dari kalangan NU. Hal ini mengingat Jatim merupakan basis terbesar NU di Indonesia. Mencuatnya nama Gus Ipul dan Khofifah – yang merupakan kader NU – sebagai kandidat pilgub Jatim tahun depan seakan memberi angin segar bagi para kiai. Kedua sosok ini juga memiliki elektabilitas yang cukup tinggi di Jatim. Akan tetapi, hasrat tersebut kemungkinan akan sedikit terhalang lantaran Gus Ipul dan Khofifah memilih untuk maju ke pilgub secara terpisah.
Memang hingga saat ini antara Gus Ipul dan Khofifah masih belum menentukan calon pendamping untuk pilgub tahun depan. Namun, ketidakpastian dari PDIP untuk mengusung Gus Ipul tentu saja akan mempengaruhi langkahnya menuju pilgub nanti. Jika PDIP nanti beralih ke Risma, maka otomatis tersisa PKB yang menjadi pengusung Gus Ipul. Memang PKB tercatat sebagai pemilik kursi terbanyak di Jatim yakni 20 kursi dan ini telah memenuhi syarat minimal untuk maju dalam pilgub, namun ini belum menjadi modal yang kuat bagi Gus Ipul. Sebab, untuk mendulang suara yang banyak ia perlu melakukan kolaborasi dengan partai lain.
Sementara itu, dari kubu Khofifah sendiri saat ini telah diusung oleh Demokrat (13 kursi), Golkar (11 kursi), Nasdem (4 Kursi) dan PPP (5 kursi). Maka total kursi yang diperoleh adalah 33 kursi. Ini merupakan modal kuat bagi Khofifah. Walaupun demikian, manuver politik Khofifah ini justru bertentangan dengan keinginan dari para mayoritas kiai NU di Jatim. Tanpa dukungan para kiai, Khofifah dinilai akan kesulitan saat Pilgub. Para kiai NU bisa saja menggunakan pengaruhnya untuk menggagalkan Khofifah untuk berjaya pada pilgub tahun depan.
Oleh karena itu, perlu ada konsensus dalam tubuh NU. Wacana menduetkan Gus Ipul dan Khofifah merupakan ide yang bagus. Hal ini turut diungkapkan oleh Rais Am (Ketua Umum) Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) Kiai Haji Ma’ruf Amin. “Iya, kalau mungkin itu (duet Khofifah-Gus Ipul) bagus sekali. Tentu keinginan (menduetkan) ada,” seperti yang dilansir oleh detik.com.
Sekarang kembali pada keputusan Gus Ipul dan Khofifah saja. Bila ingin nama NU berjaya di Jatim pada tahun depan, maka perlu dilakukan koalisi bersama. Akan tetapi, bila masing-masing ingin tetap berjalan sendiri niscaya akan menjadi blunder bagi NU. Ini akan menjadi keuntungan bagi lawan politik, terutama PDIP.
Upaya Menjegal PDIP?
Jatim yang sejak dahulu dikenal sebagai salah satu lumbung suara PDIP. Hal ini yang menyebabkan partai berlambang banteng ini bernafsu di Jatim karena mengingat di DKI Jakarta, Banten maupun Jawa Barat sudah gagal total. Akan tetapi, upaya ini belum tentu berjalan mulus karena berpotensi dijegal oleh kubu NU yang juga memiliki basis yang kuat di Jatim.
Hal ini sudah disadari oleh Megawati. Oleh karena itu, ia mengirim Sekertaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto untuk menemui Risma yang merupakan salah satu kader PDIP yang potensial di Jatim. Saat ini Risma masih tercatat sebagai walikota Surabaya yang telah banyak berjasa memajukan kota Surabaya sebagai salah satu kota yang maju dan mampu bersaing dengan Jakarta. Ia juga memiliki popularitas yang cukup baik di kalangan masyarakat Jatim. Ini menjadi modal berharga bagi PDIP.
Ada kemungkinan Risma akan diduetkan dengan Bupati Banyuwangi saat ini, Abdullah Azwar Anas. Sosok Anas juga memiliki segudang prestasi dalam masa jabatannya. Misalnya Banyuwangi menjadi kabupaten pertama dan satu-satunya di Indonesia yang meraih nilai A dalam Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB).
Anas yang tercatat sebagai salah satu tokoh muda NU di Banyuwangi nampaknya telah berhasil mencuri perhatian Megawati sebab ia juga cukup dikenal oleh masyarakat Jatim. Terlihat jelas saat kunjungan kerja ke Surabaya, Megawati hanya memilih berbicang dengan Risma dan Anas. Sementara itu, Gus Ipul hanya terlihat saat acara penyambutan di bandara, setelah itu tak terlihat lagi. Mungkinkah ini menjadi sinyal bahwa PDIP perlahan-perlahan menarik diri dari Gus Ipul dan beralih ke Anas?
Jika hal tersebut benar-benar terjadi, maka langit pilgub Jatim nanti akan berwarna hijau dan merah. Ini akan menjadi pertarungan sengit antara kubu NU dan kubu PDIP. Akan tetapi, agar bisa melaju mulus pada pilgub tahun depan, PDIP perlu mencari tambahan koalisi sebab jumlah kursinya hanya 19 kursi. Nampaknya partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) tertarik berkoalisi dengan PDIP. Hal ini telah dikemukan oleh Wasekjen DPP Hanura Yunianto Masteng Wahyudi. Hanura yang memiliki jumlah 2 kursi di DPRD Jatim disinyalir akan mampu melengkapi jumlah kursi PDIP.
Bila Hanura berhasil merapat ke kubu PDIP, maka otomatis PDIP akan menjadi lawan yang sepadan dengan NU. kubu NU perlu mengambil langkah pasti. Antara Gus Ipul maupun Khofifah perlu melakukan koalisi. Terserah siapa yang mau menjadi cagub atau cawagub. Jika dua kubu ini berhasil disatukan, maka akan menjadi ancaman terbesar bagi PDIP untuk mendulang suara di Jatim. Mungkinkah NU berhasil menjegal PDIP di Jatim ataukah malah gagal pada pilgub Jatim yang tinggal setahun lagi? Bagaimana menurut anda? (dari berbagai sumber-K-32)