Meski Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono dikritik atas kebijakan terbarunya membongkar trotoar di Jakarta Selatan, PDIP melakukan pembelaan dengan menyinggung pemerintahan sebelumnya di bawah Anies Baswedan. Namun, kritik itu seolah menggambarkan bahwa Heru Budi dan PDIP terkena “ranjau politik” yang telah dipasang oleh Anies. Benarkah demikian?
Gubernur “give away” berlawanan dengan Anies lagi. Begitu kira-kira bentuk salah satu kritikan di lini masa terhadap Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono akibat mengembalikan fungsi trotoar atau pedestrian sebagai jalan raya di kawasan Santa, Jakarta Selatan.
Namun, setelah viral dan “dihajar” habis warganet, Heru Budi justru mendapat apresiasi dan pembelaaan dari PDIP.
Pembelaan itu datang dari anggota Fraksi PDIP DPRD yang juga Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah. Tanpa basa-basi, Ida langsung mengomparasikan langkah Heru lebih baik dibandingkan pendahulunya Anies Baswedan.
Menurutnya, pembongkaran trotoar tepat karena pembangunan infrastruktur bagi pejalan kaki dan pesepeda di masa Anies itu dianggap hanya kebijakan yang mengada-ada dan harus ditata ulang.
Ida juga mengaku mendapat komplain dari masyarakat bahwa jalan di pertigaan Santa itu menjadi sempit serta berakibat kemacetan akibat pembangunan trotoar.
Sebelumnya, kritik akun Twitter komunitas pesepeda Bike2Work Indonesia terhadap kebijakan Heru Budi itu direspons masif oleh warganet yang juga tak sepakat dengan langkah sang Pj.
Beberapa komentar netizen yang kemungkinan tak hanya warga Jakarta itu pun cukup menarik.
Mulai dari ekspresi kerinduan terhadap kebijakan Anies yang dianggap peduli terhadap pejalan kaki dan pesepeda, hingga kritik terhadap wajah perpolitikan Indonesia yang diliputi iri hati dan berakibat pembangunan tak berkelanjutan.
Sebagai informasi, pembangunan trotoar dicanangkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Anies pada tahun 2019. Tercatat, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2019 sebesar Rp 473,7 miliar pun disepakati.
Untuk penggunaan dan eksekusinya, Dinas Bina Marga DKI Jakarta dimandatkan membangun trotoar dan infrastruktur pendukungnya di lima wilayah Ibu Kota. Rinciannya, Jakarta Pusat sebesar Rp75 miliar, Jakarta Selatan sebesar Rp100 miliar, Jakarta Utara sebesar Rp35 miliar, Jakarta Barat sebesar Rp25 miliar dan Jakarta Timur sebesar Rp25 miliar.
Bagi warga Jakarta, hasil penataan trotoar secara keseluruhan itu sendiri belum lama terlihat dan dirasakan.
Memang, di samping case spesifik seperti polemik konversi trotoar menjadi jalan raya, perubahan kebijakan oleh Heru Budi agaknya memiliki justifikasinya sendiri secara teknis.
Akan tetapi, reaksi mayoritas kalangan yang tampaknya berlawanan dengan kebijakan Heru, bahkan justru memantik simpati kepada Anies, tampaknya cukup menarik untuk dianalisis.
Dengan asumsi Heru Budi tentu mengetahui konsekuensi respons minor tersebut serta kemungkinan eksistensi respons positif impresi sosial-politik kepada Anies, mengapa DKI-1, plus PDIP, tampak teguh dengan kebijakan pembongkaran tersebut?
Alat PDIP Lucuti Anies?
Di permukaan, cukup mudah memang menebak bahwa langkah Heru Budi dan sokongan PDIP adalah salah satu kemungkinan bentuk antitesis Anies Baswedan.
Paling tidak, hal itu dikarenakan tiga dinamika politik kekinian. Pertama, penunjukan Heru Budi sebagai Pj Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) jamak dianggap untuk mengoreksi dan bahkan tak menyelesaikan janji Anies.
Kedua, PDIP – parpol asal Presiden Jokowi – memang diketahui telah “memblokir diri” dari relasi dengan Anies jelang Pemilu dan Pilpres 2024. Menariknya, muncul predikat dan kesan labelling “antitesis” oleh PDIP kepada Anies.
“Bergabung dengan koalisi yang tidak mengusung antitesa Pak Jokowi. Sehingga kami jelas berbeda dengan Nasdem, Demokrat, PKS yang telah mengusung Anies Baswedan,” begitu kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto pada 23 Februari 2023 lalu.
Ketiga, masih berkorelasi dengan poin pertama dan kedua, PDIP boleh jadi menjadikan koreksi kebijakan Anies untuk tujuan tertentu bagi langkah politiknya ke depan.
Sebagaimana dijelaskan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti Trubus Rahardiansyah, perubahan arah kebijakan dari satu gubernur ke gubernur lain sebenarnya hal lumrah. Akan tetapi, tendensi politis tetap tidak bisa dilepaskan dari perubahan itu.
Jika benar demikian, PDIP – secara tidak langsung, dengan pembelaannya terhadap Heru Budi – kemungkinan tengah menerapkan taktik politik yang disebutkan oleh filsuf Italia Niccolo Machiavelli dalam bukunya Il Principe atau Sang Penguasa.
Dalam pembahasan mengenai “Kerajaan-kerajaan Campuran”, Machiavelli mengungkap cara merebut atau mempertahankan kekuasaan yang cukup sadis.
Menurutnya, penguasa baru yang berhasil menduduki daerah-daerah jajahan dan berharap mempertahankan kekuasaannya, maka sang penguasa baru harus mengganti segala hal yang berkaitan dengan penguasa lama, termasuk memusnahkan semua keturunan penguasa lama.
Kendati teks tersebut ditulis Machiavelli pada tahun 1513, di mana pemerintahan masih berbentuk kerajaan. Pernyataan-pernyataan Machiavelli nyatanya masih berlaku dan ditemukan relevansinya sampai saat ini – dan mungkin sampai seterusnya.
Setidaknya, terdapat tiga hal relevan dari postulat Machiavelli dalam perpolitikan saat ini. Selain mengganti kebijakan penguasa lama, strategi “bersih-bersih kursi” atau mengganti orang-orang penguasa lama kerap dilakukan oleh penguasa baru, dan menempatkan orang kepercayaan agar dapat memegang kendali ataupun mengintervensi kebijakan.
Tujuan dari praktik itu tak lain agar penguasa baru tidak terjebak atau mendapatkan intervensi berlebih, atau setidaknya terkesan serupa dengan penguasa sebelumnya, terlebih jika mereka memiliki visi dan ambisi politik yang kontras.
Menariknya, tiga hal relevan itu tampaknya relate dengan manuver kebijakan Heru Budi dan pembelaan PDIP, bahkan sejak awal penunjukannya sebagai Pj. Gubernur.
Sayangnya, tujuan merengkuh “kekuasaan absolut” sebagaimana disiratkan Machiavelli tak terjadi dalam konteks Heru dan PDIP, khususnya jika benar ditujukan terhadap kebijakan dan kesan politik Anies.
Intrik terakhir mengenai pembongkaran trotoar di Jakarta Selatan yang ramai dibicarakan kiranya justru kontraproduktif karena memberikan impresi negatif bagi “kekuasaan”.
Apalagi, terdapat respons minor lain dari langkah mengganti kebijakan Anies baru-baru ini yang juga ramai dibicarakan di media sosial, yakni logo serta slogan baru Jakarta.
Oleh karena itu, interpretasi menarik lain mengemuka selain probabilitas bumerang dari manuver untuk tampil berbeda dari Anies tadi. Apakah itu?
Ranjau Politik Buatan Anies?
Menilai sebuah kebijakan tentu membutuhkan pertimbangan komprehensif. Akan tetapi, warisan kebijakan progresif yang sulit diubah begitu saja oleh lawan politik maupun penerusnya untuk mendiskreditkan sang pendahulu kiranya memberikan keuntungan tersendiri.
Itu bahkan terlepas dari apakah kebijakan tersebut benar-benar progresif tanpa residu atau implikasi apapun bagi aspek lainnya.
Bill Taylor dalam publikasinya yang berjudul Political Booby Traps menganalogikan “ranjau” politik dalam jalannya sebuah pemerintahan.
Secara harfiah, booby traps sendiri merupakan sinonim dari ranjau yang memiliki makna benda yang tampaknya tidak berbahaya berisi alat peledak tersembunyi dan dirancang untuk membunuh atau melukai siapa pun yang menyentuhnya.
Taylor menyiratkan terdapat sejumlah kebijakan terdahulu (terutama yang digagas oleh rival politik) yang apabila direspons atau diubah justru akan memantik respons minor dari khalayak, termasuk konstituen.
Dalam case trotoar yang dibongkar dan dikembalikan Heru menjadi jalan raya, kebijakan Anies sebelumnya yang seolah berpihak kepada pejalan kaki memang bisa saja mengabaikan dampak lain berupa kemacetan yang dirasa semakin rumit di kemudian hari.
Kendati memiliki argumen pendukung bahwa prioritas tata kota modern bukan lah berpihak kepada pengendara kendaraan bermotor, solusi yang dieksekusi Anies tampak meninggalkan dilema tersendiri dengan realitas Jakarta saat ini.
Tak lain, penduduk yang beraktivitas di Jakarta masih sangat bergantung pada kendaraan bermotor (pribadi maupun umum) untuk mobilitas sehari-hari.
Akan tetapi, pergantian kebijakan yang terkesan destruktif itu seolah menutupi penilaian dan kemungkinan lain di balik penataan trotoar oleh Anies.
Selain reaksi dari masing-masing individu, kesan negatif pun tak lepas dari kontribusi framing media dengan opsi penggunaan kata kerja yang memang “terbatas” untuk mengekspresikan kebijakan trotoar Heru.
Dalam jurnal berjudul Media Framing vs Framing by Politician, Isep Parid Yahya menjelaskan interaksi tekstual yang tidak signifikan dengan berbagi sejumlah kecil kata kunci yang sangat berpengaruh terhadap impresi tertentu.
Framing di media, baik yang natural maupun dibuat sedemikian rupa, bahkan dapat terjadi dalam teks berita yang berisi kata-kata tertentu, frase stok, gambaran stereotip, sumber informasi, dan kalimat yang mendukung penilaian.
Robert M. Entman dalam Framing: Toward Clarification of a Fractured Paradigm mengatakan bahwa, melalui teks, framing media bekerja dengan membuat bit informasi lebih menonjol melalui penempatan atau pengulangan, atau dengan mengasosiasikan dengan simbol dan fungsi struktur tertentu.
Meskipun lumrah untuk dilakukan, kebijakan Heru soal trotoar yang sebenarnya bisa di bingkai dengan kata “mengubah” atau “menata ulang” diterjemahkan secara bebas, baik oleh individu, kelompok/komunitas, maupun media.
Penggunaan frasa yang cenderung meninggalkan makna destruktif seperti “pembongkaran” hingga “penggusuran” akhirnya membuat kebijakan Heru menjadi bumerang bagi impresinya, termasuk secara tidak langsung bagi PDIP yang lantang membela.
Namun, penjelasan di atas masih sebatas penafsiran integral yang memasukkan variabel dan kemungkinan bertendensi politis sebagaimana juga disinggung Trubus sebelumnya.
Yang pasti, selain harus memprioritaskan keberlanjutan kebijakan, penataan tata kota yang berkelanjutan dan dinamis sesuai hambatan serta tantangan perkotaan kiranya tetap harus didukung. (J61)