Perusahaan minuman berkarbonasi asal Amerika Serikat (AS), PepsiCo, baru saja memutuskan untuk berhenti menjual produk-produknya di Indonesia. Selain persoalan bisnis, apakah hengkangnya Pepsi ini berkaitan dengan persoalan-persoalan politik?
PinterPolitik.com
“It’s time for me to uhhh regulate” – 2Pac, penyanyi rap asal Amerika Serikat
Minuman berkarbonasi mungkin telah menjadi bagian dari konsumsi sebagian masyarakat Indonesia. Beberapa dari kita menyukainya. Beberapa juga menghindarinya.
Terlepas dari selera masing-masing individu, minuman berkarbonasi setidaknya memiliki pangsa pasar yang cukup besar di khalayak Indonesia. Berbagai merek juga mewarnai pasar minuman jenis ini. Salah satunya adalah PepsiCo.
Bagi sebagian besar generasi milenial, Pepsi juga meninggalkan jejak lain di luar produk minumannya. Memori akan permainan video Pepsiman turut menjadi kenangan yang membekas.
Namun, nama perusahaan minuman tersebut tampaknya akan menjadi sulit dijumpai di Indonesia. Pasalnya, PepsiCo telah sepakat untuk menghentikan kerja samanya dengan Indofood melalui anak perusahaan PT Anugerah Indofood Beverage Makmur (AIBM) – perusahaan yang ditunjuk untuk memproduksi, menjual, dan mendistribusikan produk-produk PepsiCo secara eksklusif di Indonesia.
It’s official now, PepsiCo brands (7Up, Mirinda, Mountain Dew, and of course, Pepsi) will no longer be sold in Indonesia as of 10 October as the company has ended its agreement with its Indonesian partner. No more Pepsi in KFC.
— Nuice Media (@nuicemedia) October 3, 2019
Keputusan untuk menghentikan kerja sama dengan perusahaan di bawah konglomerasi Salim Group tersebut – menurut pihak Indofood – disepakati karena alasan komersial. Minimnya keterangan alasan lebih lanjut pun membuat Kementerian Perindustrian ingin bertemu dengan pihak PepsiCo guna membantu persoalan-persoalan bisnis yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.
Meski begitu, kabar akan penyebab hengkangnya Pepsi dari Indonesia masih simpang siur. Pertanyaannya, apakah dinamika politik turut memengaruhi hengkangnya perusahaan minuman berkarbonasi tersebut? Lantas, bagaimana kebijakan pemerintah dapat berdampak pada suatu bisnis?
Aktivisme Konsumen
Salah satu dugaan penyebab hengkangnya Pepsi dari Indonesia adalah adanya ketidaksepakatan tertentu dengan Indofood dalam penggunaan bahan-bahan dari kelapa sawit dalam produk minumannya. Pasalnya, perusahaan minuman berkarbonasi asal Amerika Serikat (AS) tersebut menggunakan bahan-bahan sawit dalam produknya di Asia.
PepsiCo dikabarkan tidak sepakat dengan keputusan Indofood untuk tidak melanjutkan keanggotaannya dan sertifikasinya dari Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). IndoAgri – termasuk dalam konglomerat Salim Group seperti Indofood – memutuskan hanya mengandalkan standar kelapa sawit bersih versi pemerintah Indonesia, yakni Indonesia Sustainable Palm Oil System (ISPO) akibat penangguhan RSPO atas dugaan kelapa sawit bermasalah.
Akibat keputusan IndoAgri itu, sebagian masyarakat internasional pun mendorong berbagai perusahaan – seperti Nestlé dan PepsiCo – untuk memutus hubungan kerja sama mereka dengan IndoAgri dan Indofood.
Namun, mengapa perusahaan-perusahaan ini bersedia memutus hubungan kerja sama terkait polemik kelapa sawit? Apa signifikansi yang dimiliki oleh RSPO dan ISPO?
Persoalan sosial dan lingkungan akibat perkebunan kelapa sawit kerap menjadi berita yang menjadi perhatian masyarakat, terutama bagi khalayak Amerika dan Eropa. Keprihatinan ini dapat berujung pada aktivisme masyarakat dengan mengontrol produk yang dikonsumsinya sekaligus perusahaan produsen. Aktivisme ini dikenal sebagai aktivisme konsumen (consumer activism).
Aktivisme dan gerakan sosial konsumen ini dapat terjadi dalam banyak isu, seperti isu buruh, isu keagamaan, isu sosial, hingga isu lingkungan. Dalam hal lingkungan, Peter Dauvergne dalam tulisannya yang berjudul Is the Power of Brand-Focused Activism Rising? menjelaskan bahwa aktivisme ini biasanya berfokus pada keberlanjutan (sustainability) rantai produksi merek berskala global.
Melalui sertifikasi ini, perusahaan akhirnya menyesuaikan dengan permintaan konsumen yang berbasis pada lingkungan. Hal ini terlihat dari bagaimana perusahaan-perusahaan mulai secara konsisten beralih pada kelapa sawit yang bersertifikasi RSPO sejak tahun 2010.
RSPO sendiri dinilai lebih diakui dalam pasar global dibandingkan ISPO. Sistem sertifikasi dari Indonesia itu bahkan dinilai menjadi salah satu skema sertifikasi terlemah dengan adanya kegagalan ISPO dalam memastikan keberlanjutan kelapa sawit dalam hal ketenagakerjaan.
Aktivisme konsumen dilakukan dengan kontrol masyarakat atas produk yang dikonsumsinya sekaligus perusahaan produsen Share on XNamun, RSPO beberapa tahun terakhir juga harus menghadapi backlash dari kalangan aktivis lingkungan. Pasalnya, sistem sertifikasi ini dianggap cenderung pro-perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya memberlakukan peraturan-peraturannya kepada perusahaan-perusahaan yang melanggar.
Lantas, apa penyebab lain di balik hengkangnya Pepsi dari Indonesia?
Nasionalisme Ekonomi
Bisa jadi, hengkangnya Pepsi dari Indonesia ini berkaitan dengan regulasi pemerintah. Setidaknya, asumsi itulah yang diungkapkan oleh Thomas Darmawan – ketua Komite Tetap Industri Pengolahan Makanan dan Protein Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia – yang menyatakan bahwa terdapat berbagai regulasi dan wacana kebijakan pajak yang turut memengaruhi keputusan PepsiCo untuk hengkang.
Salah satu regulasi yang dianggap Thomas memberatkan industri makanan dan minuman adalah UU Sumber Daya Air yang baru saja disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). UU tersebut dinilai dapat memberatkan dunia usaha dengan adanya upaya untuk mewajibkan perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan baku air untuk menyerahkan 10 persen keuntungannya pada pemerintah dengan dalih konservasi.
Belum lagi, pemerintah dan DPR memiliki wacana untuk menerapkan bea cukai terhadap produk-produk minuman berkarbonasi. Cukai sendiri dapat didefinisikan sebagai pungutan negara yang dibebankan pada produk-produk yang memiliki sifat konsumsinya perlu diatur, diawasi, serta dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup guna mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Regulasi-regulasi semacam ini sejalan dengan prinsip-prinsip nasionalisme ekonomi (economic nationalism). Ben Clift dan Cornelia Woll dalam tulisan mereka yang berjudul Economic Patriotism menjelaskan bahwa pemanfaatan kegiatan ekonomi dalam prinsip ini dinilai perlu diperuntukkan bagi kesejahteraan pihak-pihak yang berada di dalam wilayah kedaulatan suatu negara (territorial insiders).
Hal senada juga diungkapkan oleh Jeffrey D. Wilson dalam tulisannya yang berjudul Resource Nationalism vs Resource Liberalism yang menjelaskan bahwa nasionalisme sumber – seperti melalui UU Sumber Daya – dilakukan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan negara melalui regulasi dan kontrol atas sumber-sumber ekonomi negara.
Pemikiran nasionalisme ekonomi yang merkantilistik tersebut tentunya tidak sejalan dengan pemikiran ekonomi klasik yang cenderung percaya pada mekanisme pasar. Dengan adanya campur tangan pemerintah dan politik – termasuk kepentingan kelompok dan kelas – dalam ekonomi, mekanisme pasar dinilai tidak dapat bekerja.
James A. Caporaso dan David P. Levine dalam bukunya yang berjudul Theories of Political Economy menjelaskan bahwa pemikiran ekonomi klasik lebih menekankan pada laissez-faire yang menjalankan mekanisme pasar. Pasar dinilai dapat memperbaiki dirinya sendiri dengan sifatnya yang self-regulatory.
Terhambatnya mekanisme pasar ini bisa saja terlihat dari hengkangnya perusahaan-perusahaan asing dari Indonesia akibat rumitnya regulasi yang dibutuhkan. Hal ini terlihat dari keputusan perusahaan ponsel pintar OnePlus asal Tiongkok untuk hengkang dari Indonesia pada tahun 2016 lalu. Keputusan hengkang itu didasarkan pada adanya regulasi pemerintah yang baru terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) yang memang cenderung nasionalistik.
Lantas, bagaimana dengan Pepsi yang akhirnya juga memutuskan untuk hengkang?
Hengkangnya Pepsi dari Indonesia bisa jadi berkaitan dengan meningkatnya regulasi pemerintah terhadap industri makanan dan minuman. Namun, hengkangnya Pepsi ini menimbulkan pertanyaan lain. Mengapa pemerintah kini perlu meningkatkan regulasi atas pasarnya? Apa alasan di balik regulasi-regulasi tersebut?
Kebutuhan Fiskal Sri Mulyani?
Adanya peningkatan regulasi dari pemerintah ini bisa jadi berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan fiskal pemerintah. Pasalnya, di tengah kebijakan-kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang reformatif, keadaan fiskal pemerintah dinilai juga perlu disesuaikan.
Situasi ini pernah digambarkan oleh Robert J. Shiller dalam tulisannya di New York Times. Shiller menggunakan istilah pengetatan ikat pinggang (belt-tightening) guna menggambarkan situasi pemerintah yang melakukan penghematan fiskal (fiscal austerity) akibat penggunaan pendapatan negara yang berlebihan.
Setidaknya, situasi semacam ini pernah terjadi pada tahun 2017 lalu. Anggaran pemerintah pada tahun tersebut dinilai dihantui oleh ketidakpastian ekonomi. Studi milik Siwage Dharma Negara di ISEAS-Yusof Ishak Institute menyebutkan bahwa kondisi ini setidaknya disebabkan oleh beberapa hal, yakni program-program prioritas nasional seperti infrastruktur dan bantuan sosial dan target pendapatan pajak yang tidak terpenuhi.
Akibatnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani harus melakukan beberapa upaya penghematan fiskal guna mendukung jalannya kebijakan-kebijakan pemerintah. Beberapa upaya penghematan fiskal ini dilakukan dengan meningkatkan pendapatan pajak.
Salah satu upaya yang dilakukan oleh Menkeu adalah rencana penerapan amnesti pajak (tax amnesty) jilid II. Selain itu, upaya peningkatan pendapatan pajak ini bisa jadi tengah dilakukan melalui pemberlakuan regulasi-regulasi yang mendorong pendapatan pemerintah.
Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya, pemberlakuan regulasi-regulasi pasar seperti UU Sumber Daya Air bisa saja malah menghambat mekanisme pasar. Dari sini, hengkangnya Pepsi dari Indonesia bisa saja turut menjadi dampak dari kebijakan fiskal pemerintah.
Kebijakan fiskal semacam ini bisa jadi akan tetap dilaksanakan oleh pemerintah – mengingat Presiden Jokowi sendiri berjanji akan tetap melanjutkan kebijakan-kebijakan reformatifnya seperti pembangunan infrastruktur dan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Meski begitu, pemerintah kini mulai beralih pada investasi guna memenuhi target pertumbuhan ekonomi.
Uniknya, adanya regulasi pasar boleh jadi malah menghambat masuknya investasi. Bukan tidak mungkin kedua kebijakan ini saling kontradiktif. Belum lagi, rumitnya birokrasi investasi turut menurunkan minat perusahaan-perusahaan asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Terlepas dari ada tidaknya tantangan bagi investasi tersebut, pemerintah tampaknya tetap ingin memberlakukan kebijakan-kebijakan yang berupaya mengkontrol pasar dan ekonomi. Mungkin, seperti lirik rapper 2Pac, pemerintah tetap merasa ini waktu yang tepat untuk meregulasi pasar di tengah-tengah ketidakpastian ekonomi, baik domestik maupun global. (A43)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.