Pada hari Selasa (23/1) kemarin, beredar broadcast undangan deklarasi pasangan AM Hendropriyono dan Luhut Binsar Panjaitan untuk Pemilu 2019. Selebaran daring itu segera dibantah oleh kedua belah pihak.
PinterPolitik.com
Hanya sehari beredar lewat Facebook dan Whatsapp, informasi tersebut langsung dikonfirmasi oleh Hendropriyono dan Luhut secara terpisah, sebagai kabar bohong atau hoaks. Luhut pribadi mengaku dirinya tidak pernah memiliki agenda politik lain di samping mendukung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepenuhnya. Sementara Hendropriyono mengaku dirinya cukup terkejut dan bisa memastikan bahwa pesan berantai itu adalah hoaks.
Dalam penyebaran hoaks yang terorganisir, cepat dan masif seperti ini, hampir bisa dipastikan ada engineer di belakangnya—seorang yang mampu menggerakkan ‘mesin’ untuk menyebarkan informasi. Tapi, sebelum masuk ke dalam pembahasan siapa yang menyebarkan dan mengapa hoaks ini disebar, sebenarnya menarik pula melihat pasangan yang dua-duanya mantan jagoan Kopassus ini.
Hendro adalah salah satu jagoan ABRI di era Orde Baru, yang sudah berkarir di Kopassus (dulu bernama Kopassandha) sejak awal. Dia sempat ditempatkan di Jakarta pada 1986, kemudian dipindahtugaskan ke Lampung, memimpin Korem 043 Garuda Hitam Lampung pada tahun 1988.
Hendropriyono disebut-sebut sebagai salah satu tangan anti-radikalisme milik Soeharto—di samping Ali Moertopo dan Yoga Soegomo sebagai otak intelijen anti-radikalisme. Pada tahun-tahun kebangkitan intelijen Indonesia tersebut, secara bersamaan rezim Orde Baru memang menghadapi ancaman yang cukup panas dari kelompok Islam radikal, antara lain kelompok Komando Jihad, Islam Jama’ah, dan Negara Islam Indonesia (NII) Fi’lah.
Salah satu kelompok Islam radikal yang tumbuh besar, ternyata adalah kelompok Warsidi yang berbasis di Desa Talangsari, Way Jepara, Lampung Timur. Warsidi dan beberapa pimpinan kelompoknya memiliki garis hubungan—baik darah maupun tidak—dengan pemimpin gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), SM Kartosoewirjo.
Fakta ini yang kemudian membuat Kopassus, yang dipimpin Hendropriyono terus mengintai mereka, dan pada akhirnya pecahlah Tragedi Talangsari 1989, yang menewaskan 27 orang dan menahan puluhan lainnya menjadi tahanan politik. Sukses Kopassus ini, nampaknya sudah dipersiapkan dari awal. Hendropriyono sepertinya memang ditempatkan di Lampung untuk mengantisipasi kebangkitan kelompok Warsidi.
Karir politik Hendropriyono kemudian dimulai pasca jatuhnya Orde Baru, dengan bergabung bersama Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) dan menduduki sejumlah posisi menteri, seperti Menteri Transmigrasi dan Menteri Tenaga Kerja. Karir intelijennya—keahliannya yang terasah sejak Orde Baru lewat buku dan praktik—dimulai pada zaman pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, dengan menjabat Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN).
Melalui jabatannya itu, Hendropriyono mendapatkan banyak penghargaan dan sukses menjadi ‘Bapak Intelijen Nasional’. Lewat jabatannya itu juga, Hendropriyono memiliki kedekatan dengan Megawati. Dan Hendro selalu ada di sisi Mega, dalam setiap keputusan politik Mega dan PDIP.
Berbeda dengan Hendro, Luhut Binsar Panjaitan adalah seorang politisi yang ‘lengkap’. Dia disebut-sebut memiliki kemampuan yang komplit, baik dengan modal jaringan politik yang besar dengan elit lintas partai, sebagai diplomat bisnis ke negara-negara Barat dengan modal kecakapan berbahasa Inggris, sampai dengan pengetahuan ekonomi dan kebijakan publiknya yang baik. (Baca juga: Jalan Politik Luhut Panjaitan)
Kiprahnya di partai politik pun mapan, dengan kuatnya sosok Luhut di internal Golkar. Hal ini terlihat dengan ‘keberaniannya’ mundur dari Golkar ketika dirinya memilih untuk mendukung Jokowi pada Pilpres 2014 ketika saat itu Golkar mendukung Prabowo Subianto, serta kesuksesannya membawa Golkar masuk ke dalam kubu pemerintah. Kiprah politiknya jelas jauh lebih mentereng ketimbang Hendropriyono, yang masih terseok-seok bersama PKPI dan terus tersandung masalah pelanggaran HAM.
Keduanya saat ini memang sama-sama pendukung Jokowi, tapi dengan porsi yang berbeda-beda. Yang satu menjadi pejabat publik, dan yang satunya mungkin diam-diam memainkan kartu intelijen. Terlepas dari berbagai kontroversi yang pernah terjadi, keduanya tetap menjadi sosok kuat di internal TNI dan memiliki kekuatan politik besar di negara ini.
Apalagi, di tengah isu kebangkitan kekutan politik militer, terutama TNI AD, nama dua orang ini sebenarnya cukup seksi di telinga para pendukung politisi militer. Hal ini bisa dilihat dari dimasukkannya sejumlah pejabat militer ke pemerintahan Jokowi, dan juga dugaan ikut campur beberapa jenderal dalam konflik internal di salah satu partai pendukung pemerintah, Hanura. (Baca juga: Kisruh Hanura, OSO vs Para Jenderal)
Dan yang tentu harus digarisbawahi, kedua jenderal ini masuk dalam kelompok penentang Prabowo Subianto.
Siapa Untung Siapa Rugi dari Hoaks Ini
“Perlu saya tegaskan bahwa informasi tersebut sama sekali tidak benar dan merupakan fitnah yang keji.”
-Luhut Binsar Panjaitan-
Lantas, dengan kekuatan dua orang tersebut serta posisi politiknya yang setia kepada pemerintah sekarang, hoaks ini tentu saja bukanlah kaleng kosong. Boleh jadi oposisi merupakan pihak yang paling diuntungkan dari hoaks ini, dengan atau tanpa campur tangan langsung mereka dalam penyebarannya.
Kedua jenderal Jokowi tersebut memang tidak terlihat kelimpungan menyampaikan bantahan. Tetapi, tentu akan timbul persepsi-persepsi di tengah masyarakat. Pertama, publik bisa menilai adanya kebangkitan kekuatan politik TNI, utamanya faksi TNI yang saat ini tengah mendukung Jokowi.
Dengan diangkatnya nama dua orang ini, publik diingatkan kembali bahwa ada TNI di belakang pria kelahiran Solo itu. Skenario ini tentu menguntungkan bagi Jokowi.
Namun, oposisi yang menyerang pastinya tidak ingin keuntungan malah datang kepada Jokowi. Maka, skenario kedua dari hoaks ini adalah menciptakan persepsi adanya perpecahan di tubuh koalisi Jokowi. Publik bisa saja menilai, munculnya dua nama ini menandakan adanya ‘pengkhianatan’ kepada Jokowi yang sangat jelas ingin maju lagi di 2019.
Belum lagi, bisa saja ada pihak-pihak yang memanfaatkan pemberitaan ini untuk menjual nama kedua jenderal tersebut. Bila Luhut Panjaitan sudah punya elektabilitas, bisa jadi Hendropriyono juga akan punya elektabilitas ke depannya. Kalau begitu, pinangan dari parpol dan pembelotan jenderal-jenderal TNI lainnya dari Jokowi mungkin saja terjadi, bukan?
Lantas, siapa yang mungkin menyebarkan hoaks ini? Dugaan pertama dapat terkuak dari nama orang yang ‘memimpin’ di pesan berantai hoaks itu, yakni Kelrey atau yang diduga sebagai Abdullah Kelrey. Kelrey adalah ketua Komite Nasional Garda Nawacita (KNGN), komite yang terbentuk selepas Pemilu 2014 dan cukup eksis sampai saat ini. Bisa jadi, Kelret benar-benar pihak yang menginisiasi, karena belum ada bantahan darinya tentang ‘pencomotan’ namanya.
Sebagai organisasi, KNGN mengambil posisi berjarak dengan pemerintah, namun tidak juga dekat dengan oposisi. Dalam satu dan lain hal, mereka mengritik Jokowi, seperti dalam dugaan ‘perlindungan’ kepada Setya Novanto, maupun kebijakan reklamasi. Namun, di kesempatan lain mereka juga mengritik Prabowo, utamanya dalam Aksi Bela Islam. Mereka menilai elemen mahasiswa hanya sukses menjadi ‘domba’ dan isu pokok permasalahan pemerintahan Jokowi tidak tersampaikan dalam aksi massa sebesar itu.
Melihat cukup tajamnya KNGN kepada dua kutub politik Indonesia saat ini, cukup sulit melacak siapa penyokong mereka. Tidak ada pertemuan-pertemuan dengan politisi-politisi partai yang bisa menyimpulkan siapa di belakang mereka, selain kesimpulan awal bahwa mereka adalah kelompok akademisi muda, yang berusaha untuk ‘netral sempurna’.
Lalu, bagaimana melacak pihak mana yang lebih besar di belakang KNGN, yang mungkin menjadi otak dari hoaks ini? Dugaannya, kelompok ini tidak terlalu menyukai Luhut yang berada di belakang Jokowi, terlihat dari kritik mereka terhadap manuver Luhut dalam kasus reklamasi. Dan siapa orang yang mungkin tak menyukai Luhut, sekaligus adalah oposisi Jokowi?
Yang jelas nama Hendropriyono muncul tiba-tiba ke permukaan, selepas Kongres PKPI dua hari lalu. Apakah ini berarti Hendro sedang berusaha mendongkrak namanya, atau memang ada kekuatan lain di luar kuasanya?
Teori Konspirasi: Tangan NSA?
“Fitnah yang viral begini pasti dibuat oleh institusi atau orang yang kuat. Terlalu hebat viralnya.”
-AM Hendropriyono-
Setidaknya, Hendropriyono sendiri berusaha membantah dan ingin melempar tuduhan ke pihak lain. Pihak yang menurutnya kuat dan hebat, cukup kapabel untuk menyebarkan hoaks sebesar ini. Lalu, bisakah kita melacak kemungkinan permainan intelijen dalam kasus ini, seperti keahlian Hendropriyono, Sang Bapak Intelijen Indonesia?
Bila membicarakan institusi intelijen, maka Hendropriyono erat disandingkan dengan Central Intelligence of America (CIA). Institusi intelijen AS tersebut yang mendidik Hendropriyono dan menyokong dirinya saat membentuk BIN di tahun 2001.
Namun, operasi CIA yang disinyalir selalu berada di kubu Jokowi—menurut beberapa sumber yang pernah berkecimpung di istana—melalui Hendro, belakangan ini diusik dengan kehadiran lembaga lain dari AS, National Security Agency (NSA). Penjelasan tentang perbedaan kepentingan lembaga-lembaga ini bisa dibaca di tulisan tentang intelijen Rusia. (Baca juga: Intelijen Rusia ‘Pembunuh’ Indonesia)
NSA diduga memiliki kepentingan yang berseberangan dengan CIA, dan NSA mungkin sudah bekerja sama dengan pihak Prabowo sebagai oposisi. Goncangan di Freeport, Timika, Papua, kemungkinan adalah arena pertarungan CIA-Jokowi dengan NSA-Prabowo—pendapat yang mungkin cenderung konspiratif, tetapi tidak menutup kemungkinan sedang benar-benar terjadi.
Setidaknya, NSA sudah cukup kebakaran jenggot sejak pembocoran yang dilakukan Edward Snowden, mantan agennya yang membelot menjadi intelijen Rusia. Snowden membocorkan hampir 90 operasi tertutup NSA, termasuk yang terjadi di Indonesia. Tak lama setelah pembocoran itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadapi kasus penyadapan dari intelijen Australia. Dan perlu diketahui, Australia memang menjadi salah satu ‘mata’ NSA di Asia Tenggara.
Belum lagi, kemampuan lembaga intelijen yang didirikan Harry S. Truman itu disebut-sebut begitu canggih secara teknologi. Ransomware ‘Wannacry’ yang menyerang Indonesia, disebut-sebut juga didalangi oleh NSA. Begitu pula dengan peretasan dan beredarnya foto-foto pribadi politisi, semuanya dapat dituduhkan kepada NSA.
Lalu, apakah pernah ada ‘bentrok’ langsung antara NSA dengan Hendro-Luhut? Skandal SMS hoaks Akbar Faizal yang menceritakan ‘konspirasi Luhut’ pun diduga didalangi oleh NSA. NSA bisa jadi sudah menargetkan serangan kepada Luhut sejak lama.
Kepada Hendro? Sangat mungkin, karena kiprah Hendro sebagai ‘Bapak Intelijen Indonesia’. (R17)