Site icon PinterPolitik.com

Hendro Benar, Purnawirawan TNI Perlu Gabung Parpol

Hendro Benar, Purnawirawan TNI Perlu Gabung Parpol

Jenderal TNI (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono (Foto iNews.id)

Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn.) A.M. Hendropriyono mengajak purnawirawan TNI untuk bergabung ke partai politik. Kenapa Hendro menyerukan ajakan yang rentan dipersepsikan sebagai dwifungsi ABRI?


PinterPolitik.com

“Yang dicari adalah pemikiran di belakang sebuah ungkapan.” – F. Budi Hardiman

Dalam acara yang digelar Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) dengan tema Berjuang Dalam Partai Politik pada 25 Oktober 2022, mantan Kepada Badan Intelijen Negara (BIN) Jenderal TNI (Purn.) A.M. Hendropriyono memberi seruan menarik.

Menurutnya, purnawirawan TNI perlu bergabung ke partai politik (parpol). “Itulah perlunya purnawirawan berada di partai politik secepat mungkin, karena ini sudah mau main gitu di 2024,” ungkap Hendro.

Terlepas dari apa pun narasi yang digunakan Hendro untuk membungkus seruannya, ada satu pertanyaan menarik yang perlu diajukan. Apakah Hendro tidak memperhitungkan resistensi publik akibat trauma dwifungsi ABRI pada Orde Baru?

Seperti pernyataan dosen Filsafat Politik Universitas Indonesia (UI) Donny Gahral Adian, rezim Orde Baru telah membuat masyarakat mengalami “surplus kecurigaan” terhadap kekuasaan.

Dengan fakta acara itu dihadiri media, tentu berbagai narasi yang dikeluarkan ditujukan untuk umum. Bertolak dari itu, apa alasan yang mendasari Hendro mengeluarkan seruan yang berpotensi memantik sentimen minor semacam itu? 

Interpretasi Psikologis

Sebagai sosok yang dijuluki Guru Besar Intelijen, tentu sulit membayangkan Hendropriyono tidak memahami potensi sentimen minor atas seruannya. Oleh karenanya, mestilah terdapat alasan yang begitu mendasar, yang membuat Hendro menerabas ancaman resistensi yang mungkin.

Untuk memahami maksud dari seruan Hendro, langkah pertama dan terpenting yang harus dilakukan adalah menghilangkan prasangka. Filsuf Jerman Friedrich Schleiermacher menyebut alasan kita kerap salah mengartikan pesan yang disampaikan orang lain adalah, karena kita selalu menggunakan prasangka (Vorurteil).

Dalam bukunya Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai Derrida, F. Budi Hardiman menjelaskan, alasan Schleiermacher bertolak dari kesalahpahaman (Miβverstӓndis) karena kita kerap melupakan konteks ruang-waktu sang pemberi pesan. 

Dalam kacamata Schleiermacher, untuk memahami (Verstehen) maksud pemberi pesan, kita harus menghadirkan dunia mentalnya. Ini disebut dengan interpretasi psikologis. 

Namun, perlu digarisbawahi, interpretasi psikologis bukan bermaksud untuk meraba emosi atau perasaan sang pemberi pesan, melainkan menangkap, apa kira-kira yang dipikirkan ketika memberi pesan tersebut.

Pada kasus seruan Hendropriyono, sentimen minor tercipta, mungkin karena kita menggunakan sudut pandang sebagai seorang sipil yang membaca sejarah atau pernah merasakan secara langsung dwifungsi ABRI. 

Bertolak dari Schleiermacher, sentimen itu adalah buah dari prasangka karena tidak mencoba memahami isi pikiran Hendro.

Militer Berwatak Pretorian

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi, memberikan penjelasan penting yang membantu kita memahami pikiran Hendropriyono. Menurutnya, militer Indonesia adalah militer pretorian atau militer yang cenderung berpolitik. Militer Indonesia lahir dari kancah revolusi kemerdekaan, yang mana itu adalah peristiwa politik.

Dalam tulisannya Ilusi Super Hero, Fahmi menjelaskan bahwa sedari awal militer Indonesia seyogianya tidak memiliki nilai-nilai militer yang profesional, yang mana itu membuat TNI tidak dibekali pemahaman soal batasan-batasan posisi dan fungsinya. 

Poin itu yang mungkin menjadi faktor di balik dekatnya aktivitas militer dengan sipil. Terlebih, apabila melihat konsep Broad Front dari Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, ada gagasan bahwa terdapat partisipasi militer di luar persoalan pertahanan dan keamanan, yakni juga berupaya meningkatkan kesejahteraan negara secara keseluruhan. 

Terkait seruan Hendro, Fahmi melihatnya secara positif. “Secara normatif, itu adalah ajakan positif,” ungkapnya pada 12 November 2022.

Fahmi melihatnya secara positif karena dua alasan. Pertama, tentu soal watak pretorian. Bagi prajurit TNI, terlibat dalam politik adalah implementasi sifat kepejuangan dalam menyelamatkan dan membela negara.

Kedua, dalam pengamatannya, tidak sedikit purnawirawan TNI memposisikan dirinya seolah-olah lebih tinggi atau lebih istimewa dari warga negara yang lain. Ini membuatnya lebih salut pada purnawirawan yang mau berkecimpung di partai politik, atau bahkan ikut berkompetisi dalam pemilu.

Dengan demikian, mengacu pada watak pretorian, selain untuk menyalurkan hasrat politik, bergabung dengan partai politik membuat purnawirawan TNI yang sudah berstatus sipil terlibat dalam penyelenggaraan negara melalui instrumen yang sah berdasar konstitusi. 

Sebagai penutup, dengan cukup meyakinkan dapat dikatakan, seruan Hendropriyono adalah bentuk dari pemahamannya atas situasi psikologis atau dunia mental TNI. Sebagai seorang prajurit yang mengabdi selama 33 tahun, Hendro sangat memahami watak pretorian tersebut. (R53) 

Exit mobile version